Jakarta: Peretasan menggunakan ransomware di pusat data nasional sementara (PDNS) 2 dinilai terjadi karena pemerintah tidak bisa membedakan anggaran proyek infrastruktur digital dengan sistem kemananan. Pendanaan mestinya dipisahkan.
“Sistem proyek dengan security (keamanannya) kan sesuatu yang berbeda, proyek itu adalah pas ada proyek bagaimana caranya supaya kamu menang, usahakan semaksimal mungkin, pas sudah menang, oke, lakukan proyek itu selesai, tinggal,” kata Pakar IT Alfons Tanujaya dalam acara Crosscheck by Medcom.id dengan tema ‘Negara Kelenger Diserang Hacker’ pada Minggu, 30 Juni 2024.
Alfons menjelaskan kontraktor hanya akan menyelesaikan infrastruktur jika ditugaskan membangun proyek sesuai dengan jangka waktu dalam kontrak kerja. Sedangkan, keamanan bersifat seumur hidup.
“Kalau security itu seperti kita menikah, itu komitmen seumur hidup. Kamu mengelola suatu data, ada proyek, data tertentu, lalu, kamu harus live kan ke internet. Sekali kamu live kan ke internet artinya kamu paparkan siapa pun bisa akses jadi itu terancam,” ucap Alfons.
Kontraktor pun dinilai tidak akan mau dibayar sekali tapi disuruh kerja mengamankan data selamanya. Pembuatan infrastruktur digital disebut cuma mengadakan alat, bukan mengelolanya.
“Tapi, kalau proyeknya sudah selesai ditinggal, uangnya sudah dapat kan? Sudah selesai, gitu loh,” ujar Alfons.
Dana pengamanan data nasional dinilai wajib disediakan pemerintah. Sebab, kata Alfons, serangan di internet terus berkembang dan menjadi ancaman jika berkas negara ditaruh di dunia maya.
“Nah, software yang kamu pasang di internet itu harus selalu di-update karena celah keamanan baru selalu muncul. Nah, itu artinya komitmen seumur hidup,” kata Alfons.
Menurut Alfons, serangan sangat mungkin terjadi jika pemerintah tidak menganggarkan dana untuk pengamanan sistem. Kelalaian itu dinilai fatal.
“Nah yang ini ditinggal ya enggak heran kalau sering kena retas ya begitu kasusnya,” tutur Alfons.
Jakarta:
Peretasan menggunakan ransomware di pusat data nasional sementara (PDNS) 2 dinilai terjadi karena pemerintah tidak bisa membedakan anggaran proyek infrastruktur digital dengan sistem kemananan. Pendanaan mestinya dipisahkan.
“Sistem proyek dengan
security (keamanannya) kan sesuatu yang berbeda, proyek itu adalah pas ada proyek bagaimana caranya supaya kamu menang, usahakan semaksimal mungkin, pas sudah menang, oke, lakukan proyek itu selesai, tinggal,” kata Pakar IT Alfons Tanujaya dalam acara Crosscheck by Medcom.id dengan tema ‘Negara Kelenger
Diserang Hacker’ pada Minggu, 30 Juni 2024.
Alfons menjelaskan kontraktor hanya akan menyelesaikan infrastruktur jika ditugaskan membangun proyek sesuai dengan jangka waktu dalam kontrak kerja. Sedangkan, keamanan bersifat seumur hidup.
“Kalau
security itu seperti kita menikah, itu komitmen seumur hidup. Kamu mengelola suatu data, ada proyek, data tertentu, lalu, kamu harus live kan ke internet. Sekali kamu live kan ke internet artinya kamu paparkan siapa pun bisa akses jadi itu terancam,” ucap Alfons.
Kontraktor pun dinilai tidak akan mau dibayar sekali tapi disuruh kerja mengamankan data selamanya. Pembuatan infrastruktur digital disebut cuma mengadakan alat, bukan mengelolanya.
“Tapi, kalau proyeknya sudah selesai ditinggal, uangnya sudah dapat kan? Sudah selesai, gitu loh,” ujar Alfons.
Dana pengamanan data nasional dinilai wajib disediakan pemerintah. Sebab, kata Alfons, serangan di internet terus berkembang dan menjadi ancaman jika berkas negara ditaruh di dunia maya.
“Nah, software yang kamu pasang di internet itu harus selalu di-update karena celah keamanan baru selalu muncul. Nah, itu artinya komitmen seumur hidup,” kata Alfons.
Menurut Alfons, serangan sangat mungkin terjadi jika pemerintah tidak menganggarkan dana untuk pengamanan sistem. Kelalaian itu dinilai fatal.
“Nah yang ini ditinggal ya enggak heran kalau sering kena retas ya begitu kasusnya,” tutur Alfons.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADN)