medcom.id, Jakarta: Dewan Perwakilan Daerah (DPD) masih terbelah. Sebagian anggota, ternyata, masih tak mengakui kepemimpinan Oesman Sapta Odang (OSO).
Situasi itu memantik resah OSO. Dia pun me-warning mereka yang tak sejalan dengannya. Caranya, OSO menahan dana reses siapa pun yang tak mau mengakui kepemimpinannya.
"Kita tak akan tanda tangan, lalu kata Sekjen DPD, kita juga tak bisa memberikan (dana reses) karena pimpinan tidak membolehkan," kata Pimpinan Komite II DPD Anna Latuconsina kepada Media Indonesia, Selasa 9 Mei 2017.
Anna menyebut ada sekitar 35 anggota DPD yang tidak mau menandatangani surat pernyataan itu. Kendati dana reses tidak cair, Anna mengaku, dirinya dan anggota DPD lainnya yang tidak menandatangani surat pernyataan itu tetap turun menemui konstituen. Mereka pun menggunakan dana pribadi dalam menyerap aspirasi dan melakukan rapat bersama konstituennya.
"Kita jalan ke konstituen, penyerapan aspirasi, rapat-rapat biasa, tapi kita belum diberikan dana reses," ungkapnya.
Anna menilai langkah pimpinan DPD itu telah melanggar aturan. Pasalnya, masalah anggaran merupakan kewenangan Sekjen DPD. Namun, penahanan dana reses oleh Sekjen pun atas perintah pimpinan DPD.
"Pak OSO ingin mendapatkan legitimasi dengan memperoleh tanda tangan, kemudian mengintimidasi kita dengan menahan keuangan anggota," ucapnya.
Anna pun mengaku akan mengambil langkah hukum terkait penahanan dana reses ini. Namun, ia belum bisa menjelaskan lebih lanjut. "Dalam waktu dekat kita akan melakukan langkah-langkah hukum. Itu kan hak yang melekat ke anggota," katanya.
Secara terpisah, Peneliti Formappi Lucius Karus menyebut penahanan dana reses anggota DPD karena tak mengakui kepemimpinan OSO semakin memperlihatkan wajah premanisme pimpinan baru hasil paripurna 'ilegal'.
Perintah itu, sambungnya, sekaligus membuktikan kelompok OSO sendiri tidak yakin akan legitimasi kepemimpinannya. Sehingga mereka harus menggunakan sikap pemaksaan demi mendapatkan persetujuan dan dukungan anggota DPD terhadap kepemimpinan OSO.
"Nampak sekali bagaimana wibawa OSO sebagai Ketua DPD dilecehkan begitu saja oleh anggotanya. Dan oleh karenanya OSO harus menggunakan "intimidasi administratif" untuk mendapatkan dukungan sebagai Ketua DPD," katanya.
Ia pun menilai OSO memanfaatkan betul Sekretariat Jenderal DPD yang sejak awal berhasil "diintimidasi" atau "dijinakkan". Sekretariat dimanfaatkan untuk memberikan legitimasi terhadap kepemimpinan OSO yang dinilai "ilegal" oleh sebagian anggota.
"Sekretariat Jenderal patut diduga melakukan persekongkolan jahat sehingga menjadi tidak profesional dalam melayani semua anggota DPD secara adil. Layak ditelusuri nanti bentuk persekongkolan jahat tersebut, apakah sudah mengarah pada penyimpangan-penyimpangan penggunaan anggaran negara," kata dia.
medcom.id, Jakarta: Dewan Perwakilan Daerah (DPD) masih terbelah. Sebagian anggota, ternyata, masih tak mengakui kepemimpinan Oesman Sapta Odang (OSO).
Situasi itu memantik resah OSO. Dia pun me-
warning mereka yang tak sejalan dengannya. Caranya, OSO menahan dana reses siapa pun yang tak mau mengakui kepemimpinannya.
"Kita tak akan tanda tangan, lalu kata Sekjen DPD, kita juga tak bisa memberikan (dana reses) karena pimpinan tidak membolehkan," kata Pimpinan Komite II DPD Anna Latuconsina kepada Media Indonesia, Selasa 9 Mei 2017.
Anna menyebut ada sekitar 35 anggota DPD yang tidak mau menandatangani surat pernyataan itu. Kendati dana reses tidak cair, Anna mengaku, dirinya dan anggota DPD lainnya yang tidak menandatangani surat pernyataan itu tetap turun menemui konstituen. Mereka pun menggunakan dana pribadi dalam menyerap aspirasi dan melakukan rapat bersama konstituennya.
"Kita jalan ke konstituen, penyerapan aspirasi, rapat-rapat biasa, tapi kita belum diberikan dana reses," ungkapnya.
Anna menilai langkah pimpinan DPD itu telah melanggar aturan. Pasalnya, masalah anggaran merupakan kewenangan Sekjen DPD. Namun, penahanan dana reses oleh Sekjen pun atas perintah pimpinan DPD.
"Pak OSO ingin mendapatkan legitimasi dengan memperoleh tanda tangan, kemudian mengintimidasi kita dengan menahan keuangan anggota," ucapnya.
Anna pun mengaku akan mengambil langkah hukum terkait penahanan dana reses ini. Namun, ia belum bisa menjelaskan lebih lanjut. "Dalam waktu dekat kita akan melakukan langkah-langkah hukum. Itu kan hak yang melekat ke anggota," katanya.
Secara terpisah, Peneliti Formappi Lucius Karus menyebut penahanan dana reses anggota DPD karena tak mengakui kepemimpinan OSO semakin memperlihatkan wajah premanisme pimpinan baru hasil paripurna 'ilegal'.
Perintah itu, sambungnya, sekaligus membuktikan kelompok OSO sendiri tidak yakin akan legitimasi kepemimpinannya. Sehingga mereka harus menggunakan sikap pemaksaan demi mendapatkan persetujuan dan dukungan anggota DPD terhadap kepemimpinan OSO.
"Nampak sekali bagaimana wibawa OSO sebagai Ketua DPD dilecehkan begitu saja oleh anggotanya. Dan oleh karenanya OSO harus menggunakan "intimidasi administratif" untuk mendapatkan dukungan sebagai Ketua DPD," katanya.
Ia pun menilai OSO memanfaatkan betul Sekretariat Jenderal DPD yang sejak awal berhasil "diintimidasi" atau "dijinakkan". Sekretariat dimanfaatkan untuk memberikan legitimasi terhadap kepemimpinan OSO yang dinilai "ilegal" oleh sebagian anggota.
"Sekretariat Jenderal patut diduga melakukan persekongkolan jahat sehingga menjadi tidak profesional dalam melayani semua anggota DPD secara adil. Layak ditelusuri nanti bentuk persekongkolan jahat tersebut, apakah sudah mengarah pada penyimpangan-penyimpangan penggunaan anggaran negara," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MBM)