Presiden Joko Widodo. (tangkapan layar)
Presiden Joko Widodo. (tangkapan layar)

Cawe-cawe Jokowi Sesat Pikir dan Picu Persepsi Negatif

M Rodhi Aulia • 08 Juni 2023 08:13
Jakarta: Sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Pilpres 2024 yang cawe-cawe menimbulkan persepsi negatif. Dari 16 ribu percakapan di media sosial, lebih dari 2/3 menyatakan Jokowi harus netral.
 
Hal itu sebagaimana data yang diungkap Rektor Universitas Paramadina Didik J Rachbini. Ia juga menyoroti alasan Jokowi melakukan cawe-cawe untuk kepentingan bangsa dan negara. 
 
"Itu fallacy of composition (sesat pikir)," kata Didik J Rachbini dalam Program Crosschek Medcom.id dengan judul video "PEDE APPROVAL RATING TINGGI, JOKOWI BAWA MUNDUR DEMOKRASI?" yang diunggah di kanal YouTube Medcom.id, Minggu, 4 Juni 2023.

Sesat pikir pun ditunjukkan sejumlah pendukungnya bahwa cawe-cawe Jokowi adalah langkah yang benar. Di samping itu, hingga menjelang masa jabatannya berakhir di periode kedua, Jokowi masih memelihara relawan.
 
Baca juga: KSP Jelaskan Maksud Jokowi Soal Riak-Riak Mengganggu di Pemilu 2024
 
Dalam struktur demokrasi, kata Didik J Rachbini, tidak ada unsur relawan. Secara gamblang Didik J Rachbini menyebut relawan yang dipelihara Jokowi merupakan hama demokrasi. 
 
Cawe-cawe Jokowi dianggap berbahaya lantaran kapasitasnya masih aktif sebagai Presiden. Jokowi memiliki sumber daya yang luar biasa dan jika disalahgunakan akan fatal untuk kehidupan berdemokrasi.
 
"Beliau sebaiknya berdiri sebagai kepala negara mengayomi semua. Itu sebenarnya fatsun politik yang benar. Tetapi Presiden Jokowi ingin menunjukkan kepada publik bahwa ia memiliki fatsun yang bagus, padahal campur tangan itu merusak," terang Didik J Rachbini.
 
Pengamat Politik Ray Rangkuti mengatakan sikap terus terang Jokowi untuk cawe-cawe dapat menjadi dasar untuk pelaporan ke Bawaslu. Sebab, langkah-langkah Jokowi di mana pun dan kapan pun sangat sulit dilepaskan dengan fasilitas dan anggaran negara.
 
"Fasilitas negara bukan hanya benda, misalnya pesawat, rumah dan mobil. Bukan hanya itu. Tapi fasilitas negara itu bisa juga termasuk wibawa presiden," ujarnya.
 
Ray Rangkuti mencontohkan jika Jokowi bertemu dengan salah satu kandidat. Pertemuan itu dinilai tidak bisa dibaca dalam konteks profesional.
 
"Apa yang kita sebut pertemuan profesional itu? Ya, pertemuan presiden dengan menteri. Pertemuan presiden dengan kepala daerah. Itu layak. Tapi kalau susah menjelaskan itu profesional dan intensitasnya tinggi, itu bisa dibilang menggunakan fasilitas negara demi pemenangan kandidat tertentu," beber Ray Rangkuti.
 
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
 
 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DHI)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan