Jakarta: Pengaturan hak untuk dilupakan melalui penghapusan data informasi atau the right to be forgotten (RTBF) ada di Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP). Namun, pengaturan dianggap masih memiliki kelemahan.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Ade Wahyudin menyoroti klausul informasi yang tidak relevan dalam pengaturan RTBF dalam Pasal 26 ayat (3) UU ITE. Klausul tersebut dianggap masih sangat luas. Dikhawatirkan penghapusan tersebut masuk ke ranah ekspresi dan pers.
"Sehingga kami melihat potensi pasal 26 ini potensi menciderai lebih banyak daripada manfaatnya. Itu persoalan informasi tidak relevan," kata Ade dalam diskusi virtual Merumuskan Ulang The Right to be Forgotten Sinkronisasi UU PDP dan UU ITE, Senin, 27 Februari 2023.
Permasalahan lain ketentuan RTBF pada UU ITE yaitu mekanisme penghapusan data melalui putusan pengadilan yang dianggap tak memenuhi unsur keadilan. Sebab, permohonan penetapan bersifat gugatan voluntair atau satu pihak.
"Ketika diajukan, kemudian tidak melibatkan pengendali data dan ruang melakukan untuk pembelaan itu tidak ada. Sehingga ruang ini sangat menciderai proses yang fair dalam proses hukum kita," ungkap dia.
Pengaturan RTBF di UU PDP diakui lebih baik dibandingkan dengan UU ITE. Sebab, ketentuan penghapusan data lebih dipersempit untuk data pribadi, bukan informasi.
Berdasarkan Pasal 43 ayat (1) UU PDP, diatur syarat penghapusan data. Yakni, data pribadi yang tidak diperlukan lagi, ditarik datanya oleh subjek data, permintaan subjek data, dan data yang diperoleh melalui perbuatan melawan hukum.
"Memang sangat terbatas, hanya spesifik pada ini (syarat penghapusan data berdasarkan Pasal 43 ayat (1) UU PDP," ujar dia.
Meski sudah ada pembatasan, pengaturan RTBF pada UU PDP masih memiliki kelemahan, yakni Pasal 15 UU PDP. Pengecualian penghapusan data untuk kepentingan umum hanya sebatas jalanya pemerintahan.
Hal-hal lain yang dianggap kepentingan umum tidak dimasukan ke dalam pengecualian tak dimasukan ke dalam ketentuan tersebut. Terutama kebebasan ekspresi dan informasi umum lainnya.
"Apakah kegiatan pers masuk ke dalam kepentingan umum dalam pasal 15 itu? Kalau kita lihat agak susah nariknya," kata dia.
Dia pun mencontohkan kerja pemantau pemilu yang melihat rekam jejak calon anggota legislatif. Informasi tersebut berpotensi dihapus karena tidak masuk ke dalam pengecualian yang diatur Pasal 15 UU PDP.
"Di sana lah tantangan barunya bagaimana UU PDP ini seharusnya tidak memberangus kebebasan berekspresi dan keterbukaan informasi yang kita miliki," ujar dia.
Jakarta: Pengaturan hak untuk dilupakan melalui
penghapusan data informasi atau
the right to be forgotten (RTBF) ada di Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang
Perlindungan Data Pribadi (PDP). Namun, pengaturan dianggap masih memiliki kelemahan.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Ade Wahyudin menyoroti klausul informasi yang tidak relevan dalam pengaturan RTBF dalam Pasal 26 ayat (3) UU ITE. Klausul tersebut dianggap masih sangat luas. Dikhawatirkan penghapusan tersebut masuk ke ranah ekspresi dan pers.
"Sehingga kami melihat potensi pasal 26 ini potensi menciderai lebih banyak daripada manfaatnya. Itu persoalan informasi tidak relevan," kata Ade dalam diskusi virtual Merumuskan Ulang
The Right to be Forgotten Sinkronisasi UU PDP dan UU ITE, Senin, 27 Februari 2023.
Permasalahan lain ketentuan RTBF pada UU ITE yaitu mekanisme penghapusan data melalui putusan pengadilan yang dianggap tak memenuhi unsur keadilan. Sebab, permohonan penetapan bersifat gugatan voluntair atau satu pihak.
"Ketika diajukan, kemudian tidak melibatkan pengendali data dan ruang melakukan untuk pembelaan itu tidak ada. Sehingga ruang ini sangat menciderai proses yang fair dalam proses hukum kita," ungkap dia.
Pengaturan RTBF di UU PDP diakui lebih baik dibandingkan dengan UU ITE. Sebab, ketentuan penghapusan data lebih dipersempit untuk data pribadi, bukan informasi.
Berdasarkan Pasal 43 ayat (1) UU PDP, diatur syarat penghapusan data. Yakni, data pribadi yang tidak diperlukan lagi, ditarik datanya oleh subjek data, permintaan subjek data, dan data yang diperoleh melalui perbuatan melawan hukum.
"Memang sangat terbatas, hanya spesifik pada ini (syarat penghapusan data berdasarkan Pasal 43 ayat (1) UU PDP," ujar dia.
Meski sudah ada pembatasan, pengaturan RTBF pada UU PDP masih memiliki kelemahan, yakni Pasal 15 UU PDP. Pengecualian penghapusan data untuk kepentingan umum hanya sebatas jalanya pemerintahan.
Hal-hal lain yang dianggap kepentingan umum tidak dimasukan ke dalam pengecualian tak dimasukan ke dalam ketentuan tersebut. Terutama kebebasan ekspresi dan informasi umum lainnya.
"Apakah kegiatan pers masuk ke dalam kepentingan umum dalam pasal 15 itu? Kalau kita lihat agak susah nariknya," kata dia.
Dia pun mencontohkan kerja pemantau pemilu yang melihat rekam jejak calon anggota legislatif. Informasi tersebut berpotensi dihapus karena tidak masuk ke dalam pengecualian yang diatur Pasal 15 UU PDP.
"Di sana lah tantangan barunya bagaimana UU PDP ini seharusnya tidak memberangus kebebasan berekspresi dan keterbukaan informasi yang kita miliki," ujar dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(LDS)