Ilustrasi. Foto: Medcom.id
Ilustrasi. Foto: Medcom.id

Usulan Penundaan Pemilu Dinilai Wujud Pembangkangan Konstitusi

M Rodhi Aulia • 28 Februari 2022 12:48
Jakarta: Belakangan ini muncul usulan penundaan Pemilu yang sedianya akan dilaksanakan pada tahun 2024. Usulan ini dinilai wujud pembangkangan konstitusi.
 
"Usulan penundaan Pemilu merupakan Constitution Disobedience atau pembangkangan terhadap konstitusi," kata Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Muslim Indonesia Fahri Bachmid, Senin, 28 Februari 2022.
 
Menurut Fahri, penundaan Pemilu dapat dilakukan dalam kondisi tertentu. Misalnya, secara objektif negara dalam kondisi terancam akibat pemberontakan, kerusuhan, bencana alam, atau gangguan keamanan lainnya yang berdampak holistik.

Namun, lanjut Fahri, dirinya tidak melihat kondisi objektif tersebut. Fahri berharap setiap diskursus yang dilontarkan setiap warga negara harus disertai dengan suatu tanggung jawab serta standar moral tinggi untuk kepentingan kemaslahatan yang jauh lebih besar untuk bangsa dan negara. 
 
Lagi pula, penundaan Pemilu ini tidak hanya berdampak pada masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Tapi juga jabatan lainnya yang sedianya dapat ditetapkan pada tahun 2024 berdasarkan hasil Pemilu.
 
"Sebagai sebuah negara hukum, kita wajib menjunjung tinggi konstitusi dan hukum positif yang berlaku. Bahwa pelembagaan Pemilu telah didesain sedemikian rupa dalam kesisteman UUD 1945, agar prinsip kedaulatan rakyat secara esensial dapat disalurkan secara “fixed term” demi tercipta suatu tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang aman, damai, serta tertib demi mencapai tujuan negara yang sesungguhnya,” tegas Fahri.
 
Fahri menambahkan, pemilihan presiden dan wakil presiden, secara limitatif dan definitif juga telah diatur dalam ketentuan norma pasal 7 UUD 1945. Pasal 7 mengatur secara “expressis verbis” bahwa “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.
 
Kemudian pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) yang secara terang mengatur bahwa “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali” dan ketentuan berikutnya mengatur bahwa “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan wakil presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.
 
Berdasarkan rumusan konstitusi itu, lanjut Fahri, maka UUD 1945 telah mengatur secara restriksi tentang siklus pelaksanaan Pemilu di Indonesia setiap lima tahun sekali. Hal ini sebagai perwujudan hak asasi politik warga negara untuk memilih para wakil rakyat yang duduk di DPR, DPD dan DPRD, serta memilih Presiden dan Wakil Presiden.
 
“Alasan penundaan Pemilu yang selama ini dilontarkan oleh pengusung ide ini sama sekali tidak berangkat dari dasar dan analisis yang konstruktif," sesal Fahri.
 
Kemudian gagasan penundaan berdasarkan deskripsi keadaan ekonomi bukan termasuk alasan yang dapat dimaklumi untuk dilakukan amendemen. Asumsi ini, tegas Fahri, dapat dikesampingkan, karena secara empirik Indonesia sangat sukses melaksanakan Pilkada di tengah pendemi pada tahun 2020 lalu. 
 
Sebelumnya, usulan penundaan Pemilu 2024 muncul dari sejumlah tokoh. Di antaranya Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar. Dia mengusulkan pesta demokrasi 2024 ditunda selama setahun atau dua tahun.
 
Usulan itu berlandaskan pertimbangan perbaikan ekonomi Indonesia yang dilanda pandemi covid-19. Momentum perbaikan tersebut ada pada 2022-2023.
 
 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DHI)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan