Jakarta: Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menekankan pandemi membuat masyarakat membutuhkan pikiran dan energi positif untuk bertahan dan saling mendukung. Alhasil, insan pers dituntut menyebarkan informasi komprehensif dan mengabaikan sensasi.
“Dibutuhkan ruang publik dan pemberitaan media yang kondusif yang memotivasi masyarakat tanpa harus menanggalkan independensi dan objektifitas yang dimiliki” ujar Mahfud MD dalam diskusi daring bersama Dewan Pers, pemimpin redaksi (pemred) media, dan asosiasi pers, Rabu, 4 Agustus 2021.
Menurut dia, pembeda media sosial yang menjadi tempat berkembangnya hoaks dan media mainstream ialah pada standar mutu konten. Hal ini meliputi aspek akurasi maupun etik atau moral yang disebarkan.
“Proses yang berjenjang di ruang redaksi, dari reporter, ke redaktur, dan hingga pemred, adalah jaminan kualitas dan akurasi sehingga beritanya bisa dipertanggungjawabkan,” tegas mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini.
Baca: Mahfud Dorong Kolaborasi ASEAN dalam Pemulihan Pascapandemi
Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh sependapat dengan pernyataan Mahfud. Nuh mengatakan ada hal yang belum selesai dalam problem pers, yaitu meningkatkan kualitas dan profesionalitas jurnalis serta kemerdekaan pers.
"Oleh sebab itu, pertemuan terakhir dengan Menko Polhukam beberapa bulan lalu, saya kira sangat menarik untuk kita gagas dan tindak lanjuti. Ada pelatihan-pelatihan bersama antara Kemenko Polhukam dengan Dewan Pers," ujar Muhammad Nuh.
Ketua Forum Pemred Kemal Gani menyadari perilaku sebagian media yang jurnalisnya kerap menulis judul tidak sesuai dengan isi berita, terutama media abal-abal. Ia mengajak pemerintah dan asosiasi pers bersama-sama membangun ekosistem media nasional yang sehat.
"Kami bersama Dewan Pers dan asosiasi-aaosiasi media yang tergabung dalam Task Force Media Sustainability menyadari hal ini, karena itu salah satu concern kita adalah media abal-abal," ujar pendiri The London School of Public Relations (LSPR) tersebut.
Dia menyebut jumlah media mainstream yang sudah diverifikasi tidak sampai 1.000. Sementara itu, media abal-abal mencapai 800 ribuan.
Dalam forum yang diikuti lebih 50 wartawan dari berbagai generasi ini, berbagai usulan dilontarkan peserta diskusi. Fokus diskusi untuk menghindari praktik jurnalisme yang tidak berhati-hati dan berempati di era pandemi.
Jurnalis senior Bambang Harymurti mengusulkan Dewan Pers mengaudit media-media nasional. Dewan Pers disebut perlu memberi peringkat khusus tentang kualitas jurnalistik tiap media.
“Misalnya nanti diberi tanda hijau, kuning, atau merah, yang memandakan kualitas berita-berita medianya agar publik sejak awal tahu akan berurusan dengan media jenis apa” ujar mantan Pemred Majalah Tempo tersebut.
Jakarta: Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam)
Mahfud MD menekankan pandemi membuat masyarakat membutuhkan pikiran dan energi positif untuk bertahan dan saling mendukung. Alhasil, insan
pers dituntut menyebarkan informasi komprehensif dan mengabaikan sensasi.
“Dibutuhkan ruang publik dan pemberitaan media yang kondusif yang memotivasi masyarakat tanpa harus menanggalkan independensi dan objektifitas yang dimiliki” ujar Mahfud MD dalam diskusi daring bersama Dewan Pers, pemimpin redaksi (pemred) media, dan asosiasi pers, Rabu, 4 Agustus 2021.
Menurut dia, pembeda media sosial yang menjadi tempat berkembangnya hoaks dan media
mainstream ialah pada standar mutu konten. Hal ini meliputi aspek akurasi maupun etik atau moral yang disebarkan.
“Proses yang berjenjang di ruang redaksi, dari reporter, ke redaktur, dan hingga pemred, adalah jaminan kualitas dan akurasi sehingga beritanya bisa dipertanggungjawabkan,” tegas mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini.
Baca:
Mahfud Dorong Kolaborasi ASEAN dalam Pemulihan Pascapandemi
Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh sependapat dengan pernyataan Mahfud. Nuh mengatakan ada hal yang belum selesai dalam problem pers, yaitu meningkatkan kualitas dan profesionalitas jurnalis serta kemerdekaan pers.
"Oleh sebab itu, pertemuan terakhir dengan Menko Polhukam beberapa bulan lalu, saya kira sangat menarik untuk kita gagas dan tindak lanjuti. Ada pelatihan-pelatihan bersama antara Kemenko Polhukam dengan Dewan Pers," ujar Muhammad Nuh.
Ketua Forum Pemred Kemal Gani menyadari perilaku sebagian media yang jurnalisnya kerap menulis judul tidak sesuai dengan isi berita, terutama media abal-abal. Ia mengajak pemerintah dan asosiasi pers bersama-sama membangun ekosistem media nasional yang sehat.
"Kami bersama Dewan Pers dan asosiasi-aaosiasi media yang tergabung dalam
Task Force Media Sustainability menyadari hal ini, karena itu salah satu
concern kita adalah media abal-abal," ujar pendiri The London School of Public Relations (LSPR) tersebut.
Dia menyebut jumlah media
mainstream yang sudah diverifikasi tidak sampai 1.000. Sementara itu, media abal-abal mencapai 800 ribuan.
Dalam forum yang diikuti lebih 50 wartawan dari berbagai generasi ini, berbagai usulan dilontarkan peserta diskusi. Fokus diskusi untuk menghindari praktik jurnalisme yang tidak berhati-hati dan berempati di era pandemi.
Jurnalis senior Bambang Harymurti mengusulkan Dewan Pers mengaudit media-media nasional. Dewan Pers disebut perlu memberi peringkat khusus tentang kualitas jurnalistik tiap media.
“Misalnya nanti diberi tanda hijau, kuning, atau merah, yang memandakan kualitas berita-berita medianya agar publik sejak awal tahu akan berurusan dengan media jenis apa” ujar mantan Pemred Majalah Tempo tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)