medcom.id, Jakarta: Anggota DPR Heri Gunawan menilai tiga pidato Presiden Joko Widodo dalam sidang tahunan bersama MPR, DPD, dan DPR tak ada yang spesial. Sebab lebih banyak kata, dibandingkan karya nyata dalam pidatonya.
"Tidak ada yang spesial dari pidato presiden. Justru banyak yang paradoks," kata Heri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (14/8/2015).
Heri mencontohkan, dalam pidatonya Presiden Jokowi bicara soal kemandirian ekonomi. Namun, faktanya, pemerintah justru menggantungkan kelangsungan ekonomi nasional kepada asing melalui utang luar negeri.
"Saat ini, debt service ratio kita sudah di atas 50 persen. Itu berbahaya dan mengancam kedaulatan fiskal kita. Lebih dari setengah penerimaan ekspor hanya habis untuk bayar utang luar negeri," beber politikus Gerindra ini.
Presiden, lanjut Heri, juga bicara soal ekonomi kreatif sebagai tulang punggung perekonomian nasional, tapi kenyatannya, dukungan terhadap perkembangan ekonomi ini masih kurang maksimal.
"Sebagai misal, pemerintah belum memberi saluran pembiayaan yang lebar bagi tumbuhnya start-up," ujar Heri.
Heri juga menyoroti janji Jokowi terkait kemerdekaan 17 Agustus 1945. Namun disaat yang bersamaan pemerintah (Pertamina dan PLN) justru akan menaikkan harga BBM dan TDL menjelang Hari Kemerdekaan.
Lebih dari itu, rencana sewa-ulang pembangkit-pembangkit PLN oleh Tiongkok, justru makin menjerumuskan listrik nasional untuk tidak pernah merdeka 100%.
Belum lagi soal revolusi mental yang digadang-gadang oleh Jokowi, sudah setahun pemerintah berjalan, Heri menilai progres revolusi mental belum kelihatan.
"Masih ada saja, lingkaran birokrat yang terlibat dalam inefisiensi. Sebagai misal, kasus dwelling time yang diduga melibatkan 18 kementerian dan lembaga. Berikutnya, impor gula, dan lain-lain yang juga melibatkan oknum-oknum di pemerintahan sendiri," tukasnya.
medcom.id, Jakarta: Anggota DPR Heri Gunawan menilai tiga pidato Presiden Joko Widodo dalam sidang tahunan bersama MPR, DPD, dan DPR tak ada yang spesial. Sebab lebih banyak kata, dibandingkan karya nyata dalam pidatonya.
"Tidak ada yang spesial dari pidato presiden. Justru banyak yang paradoks," kata Heri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (14/8/2015).
Heri mencontohkan, dalam pidatonya Presiden Jokowi bicara soal kemandirian ekonomi. Namun, faktanya, pemerintah justru menggantungkan kelangsungan ekonomi nasional kepada asing melalui utang luar negeri.
"Saat ini, debt service ratio kita sudah di atas 50 persen. Itu berbahaya dan mengancam kedaulatan fiskal kita. Lebih dari setengah penerimaan ekspor hanya habis untuk bayar utang luar negeri," beber politikus Gerindra ini.
Presiden, lanjut Heri, juga bicara soal ekonomi kreatif sebagai tulang punggung perekonomian nasional, tapi kenyatannya, dukungan terhadap perkembangan ekonomi ini masih kurang maksimal.
"Sebagai misal, pemerintah belum memberi saluran pembiayaan yang lebar bagi tumbuhnya start-up," ujar Heri.
Heri juga menyoroti janji Jokowi terkait kemerdekaan 17 Agustus 1945. Namun disaat yang bersamaan pemerintah (Pertamina dan PLN) justru akan menaikkan harga BBM dan TDL menjelang Hari Kemerdekaan.
Lebih dari itu, rencana sewa-ulang pembangkit-pembangkit PLN oleh Tiongkok, justru makin menjerumuskan listrik nasional untuk tidak pernah merdeka 100%.
Belum lagi soal revolusi mental yang digadang-gadang oleh Jokowi, sudah setahun pemerintah berjalan, Heri menilai progres revolusi mental belum kelihatan.
"Masih ada saja, lingkaran birokrat yang terlibat dalam inefisiensi. Sebagai misal, kasus dwelling time yang diduga melibatkan 18 kementerian dan lembaga. Berikutnya, impor gula, dan lain-lain yang juga melibatkan oknum-oknum di pemerintahan sendiri," tukasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(YDH)