medcom.id, Jakarta: Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta akan memutuskan kisruh dualisme kepemimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) lusa, Kamis 8 Juni 2017. Ketua LSM Kode Inisiatif Veri Junaidi mengatakan, PTUN harus berani mengambil keputusan sumpah yang dilakukan MA melanggar hukum. Sebagai lembaga yang memproduksi hukum, seharusnya MA tahu sumpah tersebut melanggar UU MD3 pasal 260 tahun 2017.
"Kami meminta PTUN tak ciut memutuskan. PTUN harus independen, merdeka, dan segera membatalkan proses pelantikan yang dilakukan MA," kata Veri di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Selasa, 6 Juni 2017.
Hal senada juga disampaikan Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Khairul Fahmi. Ia mengatakan, PTUN menghadapi tantangan besar mengenai kekuasaan kehakiman.
"PTUN berhadapan dengan atasannya sendiri. Meski begitu, PTUN tidak boleh diintervensi oleh siapa pun," ucap dia.
Fahmi menuturkan, perkara ini bisa menjadi kesempatan baik bagi PTUN untuk mengembalikan marwah Mahkamah Agung. Ia menilai, marwah MA tercoreng oleh Wakil Ketua MA bidang Non Judisial Suhadi sendiri.
"Dia melantik ketua DPD padahal tidak memiliki wewenang dan melanggar hukum. Ini tantangan PTUN apakah akan mengukuhkan kesalahan MA atau mengembalikan marwah MA," pungkasnya.
Seperti diketahui, dalam putusan sela sidang gugatan Mahkamah Agung terkait kepemimpinan DPD, MA selaku termohon mendapat perintah untuk memfasilitasi Oesman Sapta Odang dalam persidangan. Namun PTUN sebagai lembaga peradilan harus bisa menjamin independensi kepada publik.
Sidang gugatan pada DPD telah melewati agenda kesimpulan dari kubu GKR Hemas dan MA. Kedua pihak optimistis memenangkan perkara ini. Ketua Majelis Hakim Udjang Abdullah menjadwalkan putusan pada Kamis 8 Juni.
Gonjang-ganjing di DPD bermula saat MA mengeluarkan putusan atas perkara uji materi peraturan DPD RI Nomor 1 Tahun 2016 tentang Tata Tertib (Tatib) terhadap UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan. MA mengabulkan gugatan para pemohon dan mencabut peraturan tersebut.
Peraturan DPD RI Nomor 1 Tahun 2016 salah satu poinnya adalah pemotongan masa jabatan pimpinan DPD, dari lima tahun menjadi 2,5 tahun. Oleh karena MA mengabulkan gugatan, maka masa jabatan pimpinan DPD menjadi lima tahun.
Dalam sidang paripurna DPD yang digelar 4 April, seharusnya Sekjen DPD membacakan putusan MA soal masa jabatan pimpinan DPD menjadi lima tahun. Namun karena tak dibacakan, akhirnya DPD memilih pimpinan baru sesuai hasil kesepakatan rapat paripurna sebelumnya.
OSO terpilih menjadi Ketua DPD RI secara aklamasi. Kubu Hemas menilai jabatan OSO sebagai Ketua DPD ilegal karena tidak menaati aturan hukum dan tata tertib.
Menurut Hemas, kubunya sudah melaksanakan apa yang diminta MA dalam menjalankan Tata Tertib DPD RI Nomor 1 Tahun 2014 terkait penambahan masa jabatan pimpinan menjadi lima tahun. Ujungnya pihak GKR Hemas memperkarakan tindakan MA ke PTUN meminta pengadilan membatalkan sumpah OSO dan kawan-kawan oleh Wakil Ketua sekaligus Pelaksana Harian (Plh) Ketua MA Suwardi.
medcom.id, Jakarta: Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta akan memutuskan kisruh dualisme kepemimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) lusa, Kamis 8 Juni 2017. Ketua LSM Kode Inisiatif Veri Junaidi mengatakan, PTUN harus berani mengambil keputusan sumpah yang dilakukan MA melanggar hukum. Sebagai lembaga yang memproduksi hukum, seharusnya MA tahu sumpah tersebut melanggar UU MD3 pasal 260 tahun 2017.
"Kami meminta PTUN tak ciut memutuskan. PTUN harus independen, merdeka, dan segera membatalkan proses pelantikan yang dilakukan MA," kata Veri di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Selasa, 6 Juni 2017.
Hal senada juga disampaikan Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Khairul Fahmi. Ia mengatakan, PTUN menghadapi tantangan besar mengenai kekuasaan kehakiman.
"PTUN berhadapan dengan atasannya sendiri. Meski begitu, PTUN tidak boleh diintervensi oleh siapa pun," ucap dia.
Fahmi menuturkan, perkara ini bisa menjadi kesempatan baik bagi PTUN untuk mengembalikan marwah Mahkamah Agung. Ia menilai, marwah MA tercoreng oleh Wakil Ketua MA bidang Non Judisial Suhadi sendiri.
"Dia melantik ketua DPD padahal tidak memiliki wewenang dan melanggar hukum. Ini tantangan PTUN apakah akan mengukuhkan kesalahan MA atau mengembalikan marwah MA," pungkasnya.
Seperti diketahui, dalam putusan sela sidang gugatan Mahkamah Agung terkait kepemimpinan DPD, MA selaku termohon mendapat perintah untuk memfasilitasi Oesman Sapta Odang dalam persidangan. Namun PTUN sebagai lembaga peradilan harus bisa menjamin independensi kepada publik.
Sidang gugatan pada DPD telah melewati agenda kesimpulan dari kubu GKR Hemas dan MA. Kedua pihak optimistis memenangkan perkara ini. Ketua Majelis Hakim Udjang Abdullah menjadwalkan putusan pada Kamis 8 Juni.
Gonjang-ganjing di DPD bermula saat MA mengeluarkan putusan atas perkara uji materi peraturan DPD RI Nomor 1 Tahun 2016 tentang Tata Tertib (Tatib) terhadap UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan. MA mengabulkan gugatan para pemohon dan mencabut peraturan tersebut.
Peraturan DPD RI Nomor 1 Tahun 2016 salah satu poinnya adalah pemotongan masa jabatan pimpinan DPD, dari lima tahun menjadi 2,5 tahun. Oleh karena MA mengabulkan gugatan, maka masa jabatan pimpinan DPD menjadi lima tahun.
Dalam sidang paripurna DPD yang digelar 4 April, seharusnya Sekjen DPD membacakan putusan MA soal masa jabatan pimpinan DPD menjadi lima tahun. Namun karena tak dibacakan, akhirnya DPD memilih pimpinan baru sesuai hasil kesepakatan rapat paripurna sebelumnya.
OSO terpilih menjadi Ketua DPD RI secara aklamasi. Kubu Hemas menilai jabatan OSO sebagai Ketua DPD ilegal karena tidak menaati aturan hukum dan tata tertib.
Menurut Hemas, kubunya sudah melaksanakan apa yang diminta MA dalam menjalankan Tata Tertib DPD RI Nomor 1 Tahun 2014 terkait penambahan masa jabatan pimpinan menjadi lima tahun. Ujungnya pihak GKR Hemas memperkarakan tindakan MA ke PTUN meminta pengadilan membatalkan sumpah OSO dan kawan-kawan oleh Wakil Ketua sekaligus Pelaksana Harian (Plh) Ketua MA Suwardi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OJE)