Aksi Simbolik Gulita Kemanusiaan di Taman Demokrasi, Jumat 22 September 2017. Foto: MI/Chris
Aksi Simbolik Gulita Kemanusiaan di Taman Demokrasi, Jumat 22 September 2017. Foto: MI/Chris

Gulita Kemanusiaan di Depan Istana

Media Indonesia • 23 September 2017 10:35
medcom.id, Jakarta: Mengenakan jubah hitam hingga selutut, puluhan orang tampak berbaris rapi di depan Taman Demokrasi, kawasan Monumen Nasional, Jakarta, kemarin. Tak seperti aksi unjuk rasa biasanya, tak ada orasi. Selama hampir sejam, peserta aksi hanya berdiri diam.
 
Di barisan depan, banner bertuliskan 'Gulita Kemanusiaan' dibentangkan. Mayoritas peserta aksi juga tampak mengangkat poster bertagar 'gulita' di atas kepala.
 
Ditemui seusai aksi unjuk rasa, koordinator Program Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Julius Ibrani mengatakan mayoritas peserta aksi merupakan warga Manggarai yang tempat tinggal mereka tergusur karena perluasan jalur kereta. Namun, aksi itu bukan sekadar kritik pada pelanggaran HAM yang terjadi saat ini saja.

"Sebenarnya ini sudah di titik nadir. Kalau kita bicara soal kemanusiaan, pelanggaran hak asasi itu terjadi sejak dulu dan seolah-olah tidak ada keadilan sama sekali. Kondisinya kemanusiaan itu seolah sudah gelap gulita seperti ini," ujar Julius.
 
Julius mengakui memang sengaja menggelar aksi pada September. Peristiwa-peristiwa dan tragedi pelanggaran HAM kerap terjadi pada September.
 
Terlebih, dalam sejumlah kasus, pemerintah belum mampu mengungkap para pelanggar HAM dan memberikan keadilan bagi para korban.
 
"Tragedi-tragedi, peristiwa-peristiwa yang ada kaitannya dengan pelanggaran kemanusiaan itu banyak terjadi di September, mulai kasus (pembunuhan) Munir, kasus Talangsari, dan macam-macam. Terakhir, LBH Jakarta dan YLBHI diserang (massa) atas tuduhan komunisme," imbuhnya.
 
Aksi 'hitam dan diam' itu juga secara khusus mengkritik lemahnya komitmen pemerintah dalam mengungkap kebenaran Tragedi 1965.
 
Terlebih, Menko Polhukam Wiranto yang ditunjuk Presiden Joko Widodo untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu malah enggan membicarakannya.
 
"Kalau sampai Pak Wiranto bilang enggak usah dibahas, lihat dong kondisinya sekarang. Orang teriak tuduh sana sini, berantem, jatuh korban. Yang terjadi malah konflik horizontal terus-menerus. Masak negara mau mendiamkan itu."
 
Tak jauh dari aksi diam tersebut, tepatnya di Istana Negara yang jaraknya hanya selemparan batu dari Taman Demokrasi, Wiranto memang meminta publik tidak terbelenggu pada kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
 
"Untuk apa kita terbelenggu dengan masa lalu, tatkala banyak problem masa kini yang kita perlu diselesaikan ke depan," ujarnya.
 
Lebih jauh, Wiranto mengatakan, pemerintah ingin agar kasus pelanggaran HAM masa lalu diselesaikan. Hanya, opsi penyelesaiannya via jalur nonyudisial.
 
"Penyelesaian secara yudisial sudah tak mungkin lagi. Salah kalau kita lewat pengadilan selalu. Apalagi peristiwa (pelanggaran HAM) ini terjadinya di masa lalu," ujarnya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan