medcom.id, Jakarta: Negara bertanggungjawab mencatat kelahiran setiap warganya. Pemerintah mesti jemput bola untuk mencatat kelahiran seorang anak.
"Melalui judicial review kemarin, stelsel aktif sudah dikembalikan kepada pemerintah. Sehingga sudah menjadi kewajiban negara untuk mengakui kewarganegaraan anak. Begitu lahir langsung diberikan akta," kata Komisioner KPAI, Rita Pranawati di kantor KPAI, Jakarta, Jumat (28/11/2014).
Menurut Rita, sebelumnya stelsel aktif diserahkan kepada penduduk untuk mengurus pencatatan kelahiran anak sehingga membebani masyarakat.
Beban itu, kata Rita, antara lain penduduk Indonesia yang kebanyakan berdomisili di desa, sementara kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil berlokasi di pusat kota. Kondisi ini membuat warga malas mengurus akta.
Selain pengurusan akta yang tidak gratis, warga juga mesti mengeluarkan ongkos karena jarak yang jauh. Akhirnya orang tua membiarkan anaknya lahir tanpa tercatat negara.
"Saat ini tak ada alasan lagi bagi negara untuk tidak mencatatkan kelahiran anak untuk identitas," katanya.
Namun, persoalan akte kelahiran juga diakui Rita masih menghadapi benturan-benturan lain. Seperti belum maksimalnya pemahaman stelsel aktif dari pemerintah daerah, sehingga masyarakat masih direpotkan untuk mengurus hal-hal yang berkaitan dengan pencatatan kelahiran anak.
Selain itu, belum adanya unit pelaksana teknis (UPT) minimal di kecamatan masih menyulitkan masyarakat mengurus akta kelahiran karena persoalan jarak. Parahnya, akta kelahiran palsu justru beredar bebas sebagai akibat dari pelaksanaan UU Adminduk Nomor 12 Tahun 2006 bahwa anak yang terlambat membuat akte harus melalui pengadilan.
medcom.id, Jakarta: Negara bertanggungjawab mencatat kelahiran setiap warganya. Pemerintah mesti jemput bola untuk mencatat kelahiran seorang anak.
"Melalui judicial review kemarin, stelsel aktif sudah dikembalikan kepada pemerintah. Sehingga sudah menjadi kewajiban negara untuk mengakui kewarganegaraan anak. Begitu lahir langsung diberikan akta," kata Komisioner KPAI, Rita Pranawati di kantor KPAI, Jakarta, Jumat (28/11/2014).
Menurut Rita, sebelumnya stelsel aktif diserahkan kepada penduduk untuk mengurus pencatatan kelahiran anak sehingga membebani masyarakat.
Beban itu, kata Rita, antara lain penduduk Indonesia yang kebanyakan berdomisili di desa, sementara kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil berlokasi di pusat kota. Kondisi ini membuat warga malas mengurus akta.
Selain pengurusan akta yang tidak gratis, warga juga mesti mengeluarkan ongkos karena jarak yang jauh. Akhirnya orang tua membiarkan anaknya lahir tanpa tercatat negara.
"Saat ini tak ada alasan lagi bagi negara untuk tidak mencatatkan kelahiran anak untuk identitas," katanya.
Namun, persoalan akte kelahiran juga diakui Rita masih menghadapi benturan-benturan lain. Seperti belum maksimalnya pemahaman stelsel aktif dari pemerintah daerah, sehingga masyarakat masih direpotkan untuk mengurus hal-hal yang berkaitan dengan pencatatan kelahiran anak.
Selain itu, belum adanya unit pelaksana teknis (UPT) minimal di kecamatan masih menyulitkan masyarakat mengurus akta kelahiran karena persoalan jarak. Parahnya, akta kelahiran palsu justru beredar bebas sebagai akibat dari pelaksanaan UU Adminduk Nomor 12 Tahun 2006 bahwa anak yang terlambat membuat akte harus melalui pengadilan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(KRI)