Fahri Hamzah (tengah) menjawab pertanyaan wartawan usai mengikuti sidang lanjutan gugatan perdata Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah terhadap Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (23/5). MI/ BARY FATHAHILAH.
Fahri Hamzah (tengah) menjawab pertanyaan wartawan usai mengikuti sidang lanjutan gugatan perdata Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah terhadap Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (23/5). MI/ BARY FATHAHILAH.

Jawaban Panjang DPP PKS agar Fahri Hamzah Puas

M Rodhi Aulia • 22 Juni 2016 04:03
medcom.id, Jakarta: Partai Keadilan Sejahtera menjawab semua tuduhan yang dialamatkan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah poin per poin. Gugatan Fahri pun dinilai salah alamat.
 
PKS menegaskan pernyataan Fahri Hamzah yang menggugat personal kader PKS di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, tidak benar. Fahri dinilai menggugat PKS sebagai lembaga atau institusi. Indikasi ini terlihat lantaran Fahri menggunakan alamat semua petinggi dengan alamat Kantor DPP PKS, Jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan. 
 
"Jadi bukan seperti kabar angin yang berembus di luar. Yang menyatakan bahwa gugatan Fahri Hamzah ditujukan kepada pribadi. Kalau gugatan pribadi, alamat yang dipakai seharusnya bukan Kantor DPP PKS, tapi alamat rumah masing-masing tergugat," kata Ketua DPP PKS bidang Polhukam Al Muzammil Yusuf di Kantor DPP PKS, Selasa (21/6/2016).

Wakil Ketua Komisi II DPR ini mengatakan para tergugat itu sejatinya menjalankan tugas sesuai jabatannya masing-masing. Bukan bertindak sewenang-wenang atas nama pribadi. Mereka adalah Ketua BPDO PKS Abdul Muiz Saadih, Ketua dan Anggota Majelis Tahkim PKS Hidayat Nur Wahid dan Surahman Hidayat, serta Presiden PKS Mohamad Sohibul Iman.
 
Poin kedua, PKS membantah pemecatan Fahri dilakukan tiba-tiba. Al Muzammil mengatakan, PKS sudah melakukan berbagai pendekatan persuasif kepada Fahri, setidaknya sejak 1 September 2015. Namun, hingga tujuh bulan setelahnya, Fahri sama sekali tidak memiliki itikad baik untuk memenuhi komitmen dan kesepakatan antara Fahri dengan petinggi PKS.
 
Persisnya hingga putusan Majelis Tahkim jatuh pada 11 Maret 2016 dan per 1 April 2016, DPP mengeluarkan SK pemecatan Fahri dari seluruh jenjang keanggotaan. Dia dilepaskan sebagai kader PKS, anggota DPR dan wakil ketua DPR.
 
"Awal mulanya Fahri dirotasi saja. Posisinya sebagai wakil ketua DPR diganti dengan kader lain. Fahri setuju saat itu. Dia minta waktu. Pas datang waktunya, dia membangkang," ucap dia.
 
Alasan rotasi itu lantaran Fahri dengan posisinya yang strategis tidak mencerminkan visi dan misi kepengurusan PKS yang baru. Untuk pertama kalinya, Fahri dipanggil ke DPP oleh Ketua Majelis Syuro era Salim Segaf Al Jufrie.
 
Fahri dipanggil khusus dengan kapasitasnya sebagai pejabat publik yaitu wakil ketua DPR. Salim ingin Fahri menyuarakan visi dan misi kepengurusan baru PKS. Sebelumnya, Fahri memang sering bertandang ke DPP tapi hanya sekadar silaturahmi biasa.
 
"Rotasi itu biasa. Setya Novanto saja, biasa saja diganti dengan Ade Komarudin sebagai Ketua DPR," kata Al Muzammil.
 
Menurut Al Muzammil, PKS telah memberi apresiasi kepada Fahri karena mendapatkan perolehan suara terbanyak dari 40 Anggota DPR Fraksi PKS yang lolos ke Senayan. Akan tetapi apresiasi, itu dicabut karena pembangkangan Fahri.
 
"Fahri itu tidak akan lolos ke DPR kalau tidak dibantu dengan suara partai. (Jadi ada simbiosis mutualisme)," ujar dia.
 
Al Muzammil menegaskan hingga saat ini, pintu mediasi dengan Fahri sudah tertutup rapat. Tidak ada pintu tobat secara kekeluargaan karena Fahri sudah memilih jalur pengadilan dan PKS siap meladeni keinginan tersebut.
 
"Pada mediasi pertama itu, Fahri dan kuasa hukumnya sudah langsung menyatakan secara tegas bahwa tidak perlu mediasi lagi karena tergugat ingin mencari siapa yang benar dan siapa yang salah dalam hal ini," ucap Al Muzammil.
 
Salah satu petinggi PKS yang jadi tergugat Abdi Sumaithi pun mengikuti keinginan Fahri. Abdi dan PKS dengan terpaksa mengikuti kemauan Fahri.
 
Poin ketiga, adalah ketidakhadiran tergugat atau petinggi PKS selama proses persidangan, belakangan ini. Al Muzammil mengatakan dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2016 Pasal 6 membolehkan principal tergugat tidak hadir dengan alasan tertentu seperti sedang di luar negeri atau ada tugas negara, bahkan tugas kantor sekalipun.
 
Sebagai tergugat, PKS selama ini dapat membuktikan perjalanan dinas sehingga principal tidak hadir dalam persidangan. PKS membantah tidak beritikad baik meladeni gugatan Fahri.
 
Poin keempat, bahwa benar Fahri menggugat PKS lebih dari setengah triliun rupiah. Jumlah itu benar-benar tercantum dalam berkas yang diajukan Fahri ke Pengadilan Jakarta Selatan.
 
Rinciannya adalah Rp1,65 juta untuk pendaftaran panjar perkara, Rp1 miliar untuk membayar jasa pengacara, Rp100 juta untuk biaya administrasi dan Rp500 miliar untuk kerugian immateriil yang dirasakan Fahri. Total semuanya Rp501.101.650.000.
 
Sebaliknya, PKS menggugat balik Fahri dengan ganti rugi sebesar Rp600 ribu. Rinciannya Rp100 ribu terkait kerugian materiil dan Rp500 ribu kerugian immateriil.
 
Poin kelima, Al Muzammil melihat kejanggalan putusan sela atau provisi yang terburu-buru. Padahal gugatan yang diajukan Fahri itu adalah gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) biasa dan bukan gugatan sengketa partai politik.
 
"Artinya, penanganan kasus ini ini sama dengan penanganan kasus PMH lainnya yang digugat warga biasa. Tidak ada kekhususan kasus ini dibanding dengan kasus PMH lainnya," ucap dia.
 
Menurut Al Muzammil, kasus PMH biasanya diproses di tingkat PN dengan durasi sekira 6 bulan hingga satu tahun. Akan tetapi Majelis Hakim PN Jakarta Selatan malah membacakan putusan provisi dengan waktu yang sangat berdekatan dengan agenda sidang sebelumnya. Padahal jawaban DPP PKS belum diserahkan.
 
"Ada apa ini? Mirisnya banyak orang dan media yang menganggap bahwa dalam gugatan ini Fahri sudah menang mutlak. Apakah putusan provisi ini hanya strategi menguatkan posisi Fahri di kursi wakil ketua DPR supaya tidak tergantikan," ucap dia.
 
Akibat dari ketergesaan itu, Majelis Hakim PN Jakarta Selatan sampai salah membuat salinan putusan. Majelis Hakim menyatakan tergugat adalah DPP PAN, namun atas nama Abdul Muiz Saadih dkk, yang notabene petinggi PKS.
 
Poin keenam, jika memenangkan perkara, PKS mendesak Majelis Hakim PN Jakarta Selatan untuk memerintahkan Fahri meminta maaf kepada semua pimpinan, kader dan konstituen PKS. Permintaan maaf itu harus disampaikan Fahri melalui media massa di 34 provinsi.
 
Menurut kuasa hukum DPP PKS Zainudin Paru, kasus Fahri ini telah melukai nilai-nilai persaudaraan di internal PKS dan telah melecehkan wibawa partai di muka publik. Seharusnya, kata Zainudin, di kepengurusan yang baru terbentuk ini, DPP PKS dapat menjalankan program strategis nasional.
 
Poin ketujuh, tambah Zainudin, keberadaan Majelis Tahkim yang dianggap Fahri adalah ilegal, itu tidak benar. Sebab, Majelis Tahkim ini telah terbentuk pada 1 Februari 2016 dan telah diterima Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM pada 9 Februari.
 
Artinya, susunan kepengurusan Majelis Tahkim tidak sama dengan susunan kepengurusan DPP. Majelis Tahkim cukup disampaikan saja tanpa adanya pengesahan dari Menkumham karena sifatnya Majelis Tahkim dan sejenisnya hanya pemberitahuan saja.
 
Hal itu sesuai dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik Pasal 32. Sementara kalau susunan kepengurusan DPP yang harus didaftarkan dan ditetapkan Menkumham itu berdasarkan UU yang sama, pasal 23.
 
Zainudin mengingatkan Fahri untuk menghargai dan menghormati Majelis Tahkim. "Karena mereka adalah pimpinan partai yang dihormati dan dipercaya baik oleh kader PKS maupun publik. Mereka memiliki rekam jejak yang bisa dipercaya. Bukan kelas gadungan sebagaimana dituduhkan Fahri," ucap dia.
 
Poin terakhir, kata Zainudin, Fahri tidak dapat mempertahankan argumennya bahwa jabatan wakil ketua DPR adalah milik publik bukan milik partai. Zainudin menegaskan, argumen Fahri itu melanggar tata tertib DPR dan UU MD3.
 
Tata Tertib DPR 2014 itu tercantum jelas di dalam Pasal 28 ayat (1) huruf a dan b. Sementara UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 diatur di dalam Pasal 84 ayat (3) dan (4), Pasal 87 ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf e dan g, serta Pasal 87 ayat (4).
 
"Oleh karena itu, tim hukum PKS menilai bahwa penggantian jabatan pimpinan DPR merupakan hak prerogatif partai politik pengusungnya. Dan tindakan Fahri terhadap perintah ketua majelis syuro PKS bukan hanya melanggar AD/ART PKS, tapi juga melanggar UU MD3 dan Tatib DPR 2014," pungkas Zainudin.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan