Jakarta: Bagi seorang prajurit TNI, berjuang untuk kemerdekaan negeri adalah harga mati. Perkaranya, banyak yang merasa bahwa perjuangan fisik lebih mengena. Stereotip bahwa prajurit harus kuat, disiplin, pantang menyerah, kerap disematkan pada kekuatan fisik semata.
Anggapan itu memudar saat berkenalan dengan Brigadir Jenderal (Purn) Makmur Supriyatno, 63. Sebagai mantan prajurit TNI, tubuhnya tak sekekar prajurit aktif. Badannya sedikit kisut. Sesekali terbatuk.
"Maaf, saya agak kurang sehat," kata dia membuka perkuliahan, hampir setahun lalu.
Saat itu dia dipercaya mengampu mata kuliah Sistem Pertahanan Negara di Universitas Pertahanan (Unhan). Kondisi kesehatannya berbanding terbalik dengan pikirannya. Kuliah yang berlangsung selama dua jam itu—tentu dengan diselingi batuk yang tertahan—tak terasa.
"Di masa damai, tugas TNI selain efektif, juga harus efisien. Prajurit harus berbaur dengan masyarakat. Jenderal Soedirman pernah mengajarkan ini saat menggelorakan perang gerilya," kata dia mengakhiri perkuliahan.
Pengalaman mengajar Nano, sapaan Makmur, ini tentu menjadi bekal berharga untuk program pemerintah yang menggandeng TNI dalam membangun pendidikan karakter bagi siswa. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yakin pembekalan karakter dan akademis yang kuat akan menangkal siswa dari bahaya radikalisme, narkoba, bahkan efek negatif media sosial.
Kemendikbud bekerja sama dengan TNI untuk mengajarkan asistensi pendidikan Pancasila dan Bela Negara sejak Maret 2018. Direktur Pembinaan SMP Kemendikbud Supriano mengatakan, sebagai awal, TNI membantu asistensi pendidikan ini di tiga kota, yakni Ambon, Maluku, dan Medan.
“Dengan Asistensi dan Bela Negara ini anak-anak akan memiliki bekal kuat, akademis, dan karakter yang bagus. Inilah anak-anak yang akan mampu bersaing di Abad 21,” kata Supriano.
Menciptakan prajurit pemikir
Asistensi terhadap pendidikan karakter tak akan optimal jika TNI sendiri tak memiliki prajurit pemikir. Butuh usaha lebih bagi seorang prajurit bisa bersalin rupa menjadi akademisi. Cerita Nano di awal tulisan bisa menginspirasi. Untuk soal kedisplinan dalam persoalan ilmu pertahanan, dia tak gentar diadu dengan prajurit yang lebih muda. Empat tahun lalu dia masih sanggup menyelesaikan buku babon berjudul Tentang Ilmu Pertahanan.
Tak berlebihan disebut 'babon' karena hingga kini buku tersebut masih menjadi pengantar ilmu pertahanan bagi mahasiswa di Unhan. Di Indonesia, buku ini yang pertama kali mengelompokkan akar-akar ilmu pertahanan.
"Perjuangan saya meluangkan waktu saban pagi untuk menulis terbayar," ujarnya kepada Medcom.id, belum lama ini.
Butuh lima tahun baginya berjuang di jalan sunyi untuk bisa menyelesaikan penulisan. Inspirasinya menulis adalah momen perkuliahan bersama mahasiswa di Program Studi Manajemen Pertahanan Unhan. Saat itu dia mengampu mata kuliah Ilmu dan Seni tentang Perang.
Brigjen Makmur Supriyatno (kanan). Foto: Facebook
Pergulatan mengajar ia teruskan dengan melahap buku-buku pertahanan dalam dan luar negeri. Dari buku putih pertahanan hingga geopolitik. Dari pemikir pertahanan klasik Sun Tzu, Morris Janowitz, hingga Jenderal Soedirman. Dan jadilah karya yang bahkan dipuji oleh Presiden Keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono.
"Niat saya membuat buku ini sederhana, hanya ingin menyajikan peta ilmu pertahanan bagi prajurit atau warga sipil yang tertarik mempelajarinya. Sederhananya, bila ingin mengenal dunia membacalah. Apabila ingin dikenal dunia menulislah," kata Nano yang hingga kini sudah menulis belasan buku mengenai ilmu pertahanan.
Perjuangan saya meluangkan waktu saban pagi untuk menulis terbayar
Makmur Supriyatno
Jalan Nano juga ditempuh prajurit lain, yakni Laksamana Muda Amarulla Octavian. Dia masih aktif sebagai prajurit dan saat ini menjabat sebagai komandan di Sekolah Komando TNI Angkatan Laut (Seskoal).
Octavian bisa dibilang sebagai prajurit komplet. Cakap secara fisik dan brilian dalam pemikiran. Disiplinnya ditempa saat dipercaya sebagai ajudan presiden saat Susilo Bambang Yudhoyono menjabat. Segala kebutuhan presiden harus bisa dia sediakan dalam waktu yang tepat.
Kariernya berlanjut di Komando Armada RI Kawasan Barat (Koarmabar)—saat ini bernama Komando Armada I. Octavian menjadi orang nomor dua di sana, yakni sebagai kepala staf Koarmabar.
"Di hari-hari tertentu saya mewajibkan prajurit saya bercakap menggunakan bahasa Inggris. Bahasa Inggris penting karena prajurit TNI AL kerap bertemu dengan prajurit-prajurit lain. Bahasa adalah modal kita untuk bergaul dan meningkatkan ilmu pengetahuan," kata Octavian mengenang saat menjadi kepala staf.
Pergulatannya dengan pemikiran bermula saat dia bertekad meneruskan pendidikan doktoral di Universitas Indonesia (UI). "Pilihan yang menantang karena saat itu saya masih sebagai ajudannya Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono)," katanya yang saat itu masih berpangkat kolonel.
Waktu libur ia maksimalkan untuk kuliah di Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI. Kerja kerasnya membuahkan hasil. Dia menjadi mahasiswa tercepat yang menyelesaikan disertasi. Bahkan, disertasinya lantas dibukukan dengan judul Militer dan Globalisasi: Studi Sosiologi Militer dalam Konteks Globalisasi dan Kontribusinya bagi Transformasi TNI.
"Buku ini saya desain untuk mengantisipasi berbagai prediksi dan dinamika perkembangan keamanan, baik di tingkat nasional maupun global, melalui pendekatan sosiologi," katanya.
Laksda Amarulla Octavian saat memberi materi di forum internasional. Foto: Istimwa
Buku ini mencoba membuka pertanyaan bagaimana prajurit TNI bersikap menghadapi globalisasi. Karena, kata dia, globalisasi dan keamanan adalah dua isu yang berkelindan. "Ketika persoalan globalisasi mewujud dalam berbagai bentuk dan kadar yang mengancam keamanan nasional, institusi militer mestinya menjadi garda terdepan untuk meresponnya."
"Tanpa transformasi institusional, mustahil bagi militer untuk secara cepat merespon ancaman keamanan nasional," kata dia.
Buku ini juga ia dedikasikan untuk mendorong para pemikir militer lain, khususnya di Indonesia, untuk lebih berperan mengeksplorasi gagasan dan ide untuk mengembangkan institusi TNI.
Pena juga senjata
Tiga tahun berselang, ia menulis buku Bajak Laut: Antara Aden dan Malaka. Buku yang ia buat bersama sosiolog Bayu A Yulianto ini mendedah mengenai transformasi perompak di Nusantara. Studinya menyoroti perompakan yang terjadi di Selat Malaka yang, hingga saat ia menjadi kepala staf Koarmabar, masih sesekali beraksi membajak kapal.
"Selain harus piawai memegang pistol, seorang prajurit TNI juga harus bisa menggerakkan pena," kata Octavian mencoba menggambarkan sosok prajurit modern TNI.
Sosok prajurit modern juga tampak pada mantan Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana (Purn) Marsetio. Suatu hari dia mengenang masa saat masih menjadi prajurit.
"Tugas prajurit TNI itu mengikuti semua perintah komandan, tak perlu terlalu suntuk membaca buku," demikian Marsetio mengenang perintah komandannya.
Bukannya surut dengan gertakan komandan, dia justru termotivasi untuk menjadi prajurit yang 'berisi'. Peraih Adhi Makayasa di Akademi TNI Angkatan Laut (AAL) pada 1981 ini terus menorehkan prestasi baik dalam penugasan maupun akademik.
Dalam penugasan, dia dipercaya menjadi komandan kapal frigate KRI Ahmad Yani (FFG-351). Lalu ia ditugasi untuk menjadi kepala staf Gugus Tempur Laut Komando Armada RI Kawasan Timur, sekarang bernama Armada II. Dan puncak karier tertingginya adalah saat diangkat menjadi kepala staf TNI Angkatan Laut pada 2012 hingga 2014.
Tugas prajurit TNI itu mengikuti semua perintah komandan, tak perlu terlalu suntuk membaca buku
Marsetio
Sebagai prajurit pemikir, Marsetio juga mendapat tempat. Bukunya yang berjudul Sea Power Indonesia memperlihatkan bagaimana dia menguasai gambar besar kekuatan laut di Indonesia. Baginya, institusi TNI AL yang ideal adalah yang bisa mengejawantahkan pengertian Sea Power berdasarkan konteks keindonesiaan.
Bukunya terinspirasi oleh pemikiran Geoffrey Till dalam Sea Power: A Guide for the Twenty-First Century yang pertama kali terbit pada 2003. Ia juga melahap dan mencerna teori klasik pertahanan laut macam Alfred Thayer Mahan dan Julian Stafford Corbett, hingga para pemikir strategis seperti Cheng Ho, Sultan Agung, Soekarno, dan yang terbaru Hasjim Djalal serta Sadao Asada.
Marsetio merekomendasikan TNI AL untuk membangun visi maritim yang bersinergi dengan agraria dan visi dirgantara dalam bingkai negara kepulauan. "Indonesia jangan lagi dimanjakan oleh posisi strategisnya yang berada di antara dua benua dan dua samudra," kata dia.
Sejumlah pekerjaan rumah yang kelak harus dihadapi TNI AL antara lain penyiapan sumber daya prajurit, logistik, dan pembangunan alat utama sistem senjata (alutsista). "Militer Indonesia juga harus setara dengan mitranya di kawasan dan di dunia."
Secara eksternal, kata dia, Indonesia juga harus sudah mulai menyiapkan gagasan pelibatan regional melalui operasi dan latihan bersama serta pertukaran pemikiran intelektual. "Konsep ini yang saya sebut sebagai Sea Power Indonesia," katanya.
Pemikir pertahanan Andi Widjajanto memuji kerangka berpikir Marsetio. Dalam kata pengantar buku Sea Power Indonesia, Andi menyebut rekomendasi Marsetio melambangkan lompatan paradigma yang mengarah pada revolusi di bidang militer (revolution in military affairs/RMA).
RMA meletakkan teknologi sebagai determinan utama dari proses evolusi kapabilitas pertahanan. "Namun, Marsetio menawarkan satu determinan baru yang bersifat lebih fundamental, yakni paradigma dan visi ideologis bangsa," kata mantan Sekretaris Kabinet RI di awal-awal kepemimpinan Presiden Joko Widodo itu.
Keluar dari tempurung
Pemerhati masalah pertahanan Susaningtyas Kertopati mengatakan masih sedikit prajurit TNI yang mendedikasikan diri untuk berjuang di ranah intelektual. "Terkadang prajurit TNI terbentur waktu dan tak mau berusaha untuk keluar dari dalam tempurung," kata Nuning, sapaan dia, saat ditanya mengenai masih sedikitnya prajurit pemikir.
Selain yang sudah diulas di atas, prajurit pemikir TNI masih sangat sedikit jika dibandingkan jumlahnya yang mencapai 369.389 orang (sensus 2007). Beberapa di antaranya adalah Susilo Bambang Yudhoyono, mantan Panglima TNI Moeldoko, mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Syamsul Maarif, mantan Rektor Universitas Pertahanan Syarifuddin Tippe dan I Wayan Midhio. Ada pula Abdul Rivai Ras, Yanif Dwi Kuntjoro, Syaiful Anwar, Johanes Suryo Prabowo, Chappy Hakim, dan sejumlah nama lain.
Nuning berharap prajurit TNI di masa mendatang tak hanya cakap secara taktikal, tapi juga intelektual. Apalagi perkembangan teknologi sangat cepat. "Tanpa modernisasi, mustahil TNI akan bisa beradaptasi menghadapi tantangan global," katanya.
Perjuangan TNI saat ini tak hanya mengangkat senjata, tapi bagaimana meningkatkan kualitas sumber daya manusia. TNI butuh banyak prajurit pemikir modern yang tak hanya piawai menangkal ancaman pertahanan masa kini, namun juga jauh di masa mendatang. Agar generasi muda bisa belajar banyak dari mereka.
Jakarta: Bagi seorang prajurit TNI, berjuang untuk kemerdekaan negeri adalah harga mati. Perkaranya, banyak yang merasa bahwa perjuangan fisik lebih mengena. Stereotip bahwa prajurit harus kuat, disiplin, pantang menyerah, kerap disematkan pada kekuatan fisik semata.
Anggapan itu memudar saat berkenalan dengan Brigadir Jenderal (Purn) Makmur Supriyatno, 63. Sebagai mantan prajurit TNI, tubuhnya tak sekekar prajurit aktif. Badannya sedikit kisut. Sesekali terbatuk.
"Maaf, saya agak kurang sehat," kata dia membuka perkuliahan, hampir setahun lalu.
Saat itu dia dipercaya mengampu mata kuliah Sistem Pertahanan Negara di Universitas Pertahanan (Unhan). Kondisi kesehatannya berbanding terbalik dengan pikirannya. Kuliah yang berlangsung selama dua jam itu—tentu dengan diselingi batuk yang tertahan—tak terasa.
"Di masa damai, tugas TNI selain efektif, juga harus efisien. Prajurit harus berbaur dengan masyarakat. Jenderal Soedirman pernah mengajarkan ini saat menggelorakan perang gerilya," kata dia mengakhiri perkuliahan.
Pengalaman mengajar Nano, sapaan Makmur, ini tentu menjadi bekal berharga untuk program pemerintah yang menggandeng TNI dalam membangun pendidikan karakter bagi siswa. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yakin pembekalan karakter dan akademis yang kuat akan menangkal siswa dari bahaya radikalisme, narkoba, bahkan efek negatif media sosial.
Kemendikbud bekerja sama dengan TNI untuk mengajarkan asistensi pendidikan Pancasila dan Bela Negara sejak Maret 2018. Direktur Pembinaan SMP Kemendikbud Supriano mengatakan, sebagai awal, TNI membantu asistensi pendidikan ini di tiga kota, yakni Ambon, Maluku, dan Medan.
“Dengan Asistensi dan Bela Negara ini anak-anak akan memiliki bekal kuat, akademis, dan karakter yang bagus. Inilah anak-anak yang akan mampu bersaing di Abad 21,” kata Supriano.
Menciptakan prajurit pemikir
Asistensi terhadap pendidikan karakter tak akan optimal jika TNI sendiri tak memiliki prajurit pemikir. Butuh usaha lebih bagi seorang prajurit bisa bersalin rupa menjadi akademisi. Cerita Nano di awal tulisan bisa menginspirasi. Untuk soal kedisplinan dalam persoalan ilmu pertahanan, dia tak gentar diadu dengan prajurit yang lebih muda. Empat tahun lalu dia masih sanggup menyelesaikan buku babon berjudul
Tentang Ilmu Pertahanan.
Tak berlebihan disebut 'babon' karena hingga kini buku tersebut masih menjadi pengantar ilmu pertahanan bagi mahasiswa di Unhan. Di Indonesia, buku ini yang pertama kali mengelompokkan akar-akar ilmu pertahanan.
"Perjuangan saya meluangkan waktu saban pagi untuk menulis terbayar," ujarnya kepada
Medcom.id, belum lama ini.
Butuh lima tahun baginya berjuang di jalan sunyi untuk bisa menyelesaikan penulisan. Inspirasinya menulis adalah momen perkuliahan bersama mahasiswa di Program Studi Manajemen Pertahanan Unhan. Saat itu dia mengampu mata kuliah Ilmu dan Seni tentang Perang.
Brigjen Makmur Supriyatno (kanan). Foto: Facebook
Pergulatan mengajar ia teruskan dengan melahap buku-buku pertahanan dalam dan luar negeri. Dari buku putih pertahanan hingga geopolitik. Dari pemikir pertahanan klasik Sun Tzu, Morris Janowitz, hingga Jenderal Soedirman. Dan jadilah karya yang bahkan dipuji oleh Presiden Keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono.
"Niat saya membuat buku ini sederhana, hanya ingin menyajikan peta ilmu pertahanan bagi prajurit atau warga sipil yang tertarik mempelajarinya. Sederhananya, bila ingin mengenal dunia membacalah. Apabila ingin dikenal dunia menulislah," kata Nano yang hingga kini sudah menulis belasan buku mengenai ilmu pertahanan.
Perjuangan saya meluangkan waktu saban pagi untuk menulis terbayar
Makmur Supriyatno
Jalan Nano juga ditempuh prajurit lain, yakni Laksamana Muda Amarulla Octavian. Dia masih aktif sebagai prajurit dan saat ini menjabat sebagai komandan di Sekolah Komando TNI Angkatan Laut (Seskoal).
Octavian bisa dibilang sebagai prajurit komplet. Cakap secara fisik dan brilian dalam pemikiran. Disiplinnya ditempa saat dipercaya sebagai ajudan presiden saat Susilo Bambang Yudhoyono menjabat. Segala kebutuhan presiden harus bisa dia sediakan dalam waktu yang tepat.
Kariernya berlanjut di Komando Armada RI Kawasan Barat (Koarmabar)—saat ini bernama Komando Armada I. Octavian menjadi orang nomor dua di sana, yakni sebagai kepala staf Koarmabar.
"Di hari-hari tertentu saya mewajibkan prajurit saya bercakap menggunakan bahasa Inggris. Bahasa Inggris penting karena prajurit TNI AL kerap bertemu dengan prajurit-prajurit lain. Bahasa adalah modal kita untuk bergaul dan meningkatkan ilmu pengetahuan," kata Octavian mengenang saat menjadi kepala staf.
Pergulatannya dengan pemikiran bermula saat dia bertekad meneruskan pendidikan doktoral di Universitas Indonesia (UI). "Pilihan yang menantang karena saat itu saya masih sebagai ajudannya Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono)," katanya yang saat itu masih berpangkat kolonel.
Waktu libur ia maksimalkan untuk kuliah di Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI. Kerja kerasnya membuahkan hasil. Dia menjadi mahasiswa tercepat yang menyelesaikan disertasi. Bahkan, disertasinya lantas dibukukan dengan judul
Militer dan Globalisasi: Studi Sosiologi Militer dalam Konteks Globalisasi dan Kontribusinya bagi Transformasi TNI.
"Buku ini saya desain untuk mengantisipasi berbagai prediksi dan dinamika perkembangan keamanan, baik di tingkat nasional maupun global, melalui pendekatan sosiologi," katanya.
Laksda Amarulla Octavian saat memberi materi di forum internasional. Foto: Istimwa
Buku ini mencoba membuka pertanyaan bagaimana prajurit TNI bersikap menghadapi globalisasi. Karena, kata dia, globalisasi dan keamanan adalah dua isu yang berkelindan. "Ketika persoalan globalisasi mewujud dalam berbagai bentuk dan kadar yang mengancam keamanan nasional, institusi militer mestinya menjadi garda terdepan untuk meresponnya."
"Tanpa transformasi institusional, mustahil bagi militer untuk secara cepat merespon ancaman keamanan nasional," kata dia.
Buku ini juga ia dedikasikan untuk mendorong para pemikir militer lain, khususnya di Indonesia, untuk lebih berperan mengeksplorasi gagasan dan ide untuk mengembangkan institusi TNI.
Pena juga senjata
Tiga tahun berselang, ia menulis buku
Bajak Laut: Antara Aden dan Malaka. Buku yang ia buat bersama sosiolog Bayu A Yulianto ini mendedah mengenai transformasi perompak di Nusantara. Studinya menyoroti perompakan yang terjadi di Selat Malaka yang, hingga saat ia menjadi kepala staf Koarmabar, masih sesekali beraksi membajak kapal.
"Selain harus piawai memegang pistol, seorang prajurit TNI juga harus bisa menggerakkan pena," kata Octavian mencoba menggambarkan sosok prajurit modern TNI.
Sosok prajurit modern juga tampak pada mantan Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana (Purn) Marsetio. Suatu hari dia mengenang masa saat masih menjadi prajurit.
"Tugas prajurit TNI itu mengikuti semua perintah komandan, tak perlu terlalu suntuk membaca buku," demikian Marsetio mengenang perintah komandannya.
Bukannya surut dengan gertakan komandan, dia justru termotivasi untuk menjadi prajurit yang 'berisi'. Peraih Adhi Makayasa di Akademi TNI Angkatan Laut (AAL) pada 1981 ini terus menorehkan prestasi baik dalam penugasan maupun akademik.
Dalam penugasan, dia dipercaya menjadi komandan kapal frigate KRI Ahmad Yani (FFG-351). Lalu ia ditugasi untuk menjadi kepala staf Gugus Tempur Laut Komando Armada RI Kawasan Timur, sekarang bernama Armada II. Dan puncak karier tertingginya adalah saat diangkat menjadi kepala staf TNI Angkatan Laut pada 2012 hingga 2014.
Tugas prajurit TNI itu mengikuti semua perintah komandan, tak perlu terlalu suntuk membaca buku
Marsetio
Sebagai prajurit pemikir, Marsetio juga mendapat tempat. Bukunya yang berjudul
Sea Power Indonesia memperlihatkan bagaimana dia menguasai gambar besar kekuatan laut di Indonesia. Baginya, institusi TNI AL yang ideal adalah yang bisa mengejawantahkan pengertian Sea Power berdasarkan konteks keindonesiaan.
Bukunya terinspirasi oleh pemikiran Geoffrey Till dalam
Sea Power: A Guide for the Twenty-First Century yang pertama kali terbit pada 2003. Ia juga melahap dan mencerna teori klasik pertahanan laut macam Alfred Thayer Mahan dan Julian Stafford Corbett, hingga para pemikir strategis seperti Cheng Ho, Sultan Agung, Soekarno, dan yang terbaru Hasjim Djalal serta Sadao Asada.
.jpg)
Marsetio merekomendasikan TNI AL untuk membangun visi maritim yang bersinergi dengan agraria dan visi dirgantara dalam bingkai negara kepulauan. "Indonesia jangan lagi dimanjakan oleh posisi strategisnya yang berada di antara dua benua dan dua samudra," kata dia.
Sejumlah pekerjaan rumah yang kelak harus dihadapi TNI AL antara lain penyiapan sumber daya prajurit, logistik, dan pembangunan alat utama sistem senjata (alutsista). "Militer Indonesia juga harus setara dengan mitranya di kawasan dan di dunia."
Secara eksternal, kata dia, Indonesia juga harus sudah mulai menyiapkan gagasan pelibatan regional melalui operasi dan latihan bersama serta pertukaran pemikiran intelektual. "Konsep ini yang saya sebut sebagai Sea Power Indonesia," katanya.
Pemikir pertahanan Andi Widjajanto memuji kerangka berpikir Marsetio. Dalam kata pengantar buku
Sea Power Indonesia, Andi menyebut rekomendasi Marsetio melambangkan lompatan paradigma yang mengarah pada revolusi di bidang militer (
revolution in military affairs/RMA).
RMA meletakkan teknologi sebagai determinan utama dari proses evolusi kapabilitas pertahanan. "Namun, Marsetio menawarkan satu determinan baru yang bersifat lebih fundamental, yakni paradigma dan visi ideologis bangsa," kata mantan Sekretaris Kabinet RI di awal-awal kepemimpinan Presiden Joko Widodo itu.
Keluar dari tempurung
Pemerhati masalah pertahanan Susaningtyas Kertopati mengatakan masih sedikit prajurit TNI yang mendedikasikan diri untuk berjuang di ranah intelektual. "Terkadang prajurit TNI terbentur waktu dan tak mau berusaha untuk keluar dari dalam tempurung," kata Nuning, sapaan dia, saat ditanya mengenai masih sedikitnya prajurit pemikir.
Selain yang sudah diulas di atas, prajurit pemikir TNI masih sangat sedikit jika dibandingkan jumlahnya yang mencapai 369.389 orang (sensus 2007). Beberapa di antaranya adalah Susilo Bambang Yudhoyono, mantan Panglima TNI Moeldoko, mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Syamsul Maarif, mantan Rektor Universitas Pertahanan Syarifuddin Tippe dan I Wayan Midhio. Ada pula Abdul Rivai Ras, Yanif Dwi Kuntjoro, Syaiful Anwar, Johanes Suryo Prabowo, Chappy Hakim, dan sejumlah nama lain.
Nuning berharap prajurit TNI di masa mendatang tak hanya cakap secara taktikal, tapi juga intelektual. Apalagi perkembangan teknologi sangat cepat. "Tanpa modernisasi, mustahil TNI akan bisa beradaptasi menghadapi tantangan global," katanya.
Perjuangan TNI saat ini tak hanya mengangkat senjata, tapi bagaimana meningkatkan kualitas sumber daya manusia. TNI butuh banyak prajurit pemikir modern yang tak hanya piawai menangkal ancaman pertahanan masa kini, namun juga jauh di masa mendatang. Agar generasi muda bisa belajar banyak dari mereka.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)