medcom.id, Jakarta: Laporan Sementara Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai tak bertujuan membenahi Lembaga Antirasywah. Pansus terkesan mencari-cari kesalahan KPK.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Miko S. Ginting menuturkan, pendapat pansus soal Wadah Pegawai dapat mengintervensi pimpinan KPK tak beralasan. Keberadaan Wadah Pegawai KPK memiliki dasar legitimasi kuat sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen dan Sumber Daya Manusia KPK.
"Pasal 16 PP tersebut juga mengamanatkan Wadah Pegawai KPK untuk memiliki Dewan Pertimbangan Pegawai yang bertugas memberikan rekomendasi kepada pimpinan KPK mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan kepegawaian," kata Miko kepada Metrotvnews.com, Kamis 28 September 2017.
Menurut dia, fungsi penyampaian rekomendasi kepada pimpinan KPK bukan merupakan bentuk melampaui kewenangan. Hal itu telah dimandatkan PP untuk dilaksanakan Wadah Pegawai KPK.
Miko menduga, melalui laporan sementara pansus, DPR berusaha mendelegitimasi keberadaan Wadah Pegawai KPK. Apalagi, beberapa waktu lalu, Wadah Pegawai KPK mengajukan permohonan pengujian Pasal 79 ayat (3) Undang-undang MD3 terkait keabsahan KPK sebagai objek pelaksanaan hak angket DPR ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Apabila MK mengabulkan permohonan itu, Pansus Hak Angket DPR Terhadap KPK otomatis akan kehilangan legitimasinya," jelas dia.
KPK, kata dia, optimal menjalankan fungsi koordinasi dan supervisi. Pada Laporan Tahunan KPK 2016, khusus supervisi dan koordinasi pada bidang penegakan hukum KPK telah menerima 661 Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari Kejaksaan dan 255 dari Kepolisian.
Dalam konteks itu, KPK juga telah berkoordinasi terhadap penanganan 163 perkara dan supervisi terhadap 201 perkara. Angka yang sebenarnya jauh melampaui target KPK.
Sementara itu, dalam laporannya, pansus menganggap KPK gagal menjalankan fungsi supervisi dan koordinasi. KPK dinilai acap kali mengabaikan nota kesepahaman antara Polri dan Kejaksaan sehingga langkah yang diambil tidak sesuai kesepakatan bersama.
Di mata Miko, DPR seharusnya mendukung usaha mengoptimalkan penegakan hukum terutama dalam bidang korupsi ini. Salah satunya, mendorong upaya pembersihan di Kepolisian dan Kejaksaan.
DPR, terang dia, bila berniat menguatkam kerja pemberantasan korupsi bisa saja menjalankan pansus untuk mengevaluasi kinerja Kepolisian dan Kejaksaan. Terlebih, kedua lembaga itu berada di bawah kekuasaan eksekutif.
Miko menduga upaya praperadilan yang diajukan Ketua DPR Setya Novanto berkaitan dengan rekomendasi pansus kelak. Apabila permohonan praperadilan Setya Novanto diterima, Pansus Hak Angket KPK bakal mendapat angin segar.
"Terlebih, pada persidangan praperadilan pada Selasa 26 September 2017 lalu, penasehat hukum Setya Novanto membawa bukti-bukti yang diperoleh dari Pansus Hak Angket KPK. Untuk itu, upaya praperadilan Setya Novanto harus menjadi perhatian bersama secara serius, " papar dia.
Dia menuturkan, jalannya Pansus Hak Angket terhadap KPK tidak dapat dilepaskan dari rangkaian upaya memperlemah KPK. Tanpa melalui hak angket sekali pun, DPR tetap bisa mengawasi kinerja KPK.
Miko mengingatkan beberapa tahun lalu DPR periode 2009-2014 berusaha menghambat pembangunan gedung baru KPK dengan kekuasaan atas fungsi anggaran yang mereka miliki. Kali ini, bersamaan berjalannya kasus megakorupsi KTP elektronik yang melibatkan Ketua DPR, Pansus Angket KPK gencar menjalankan tugasnya dan berhasil memperpanjang masa kerja.
"Maka, sulit bagi publik untuk menganggap bahwa kedua peristiwa itu tidak saling terkait," jelas dia.
PSHK menekankan, pembentukan Pansus Angket KPK sejak awal telah bermasalah. KPK sebagai lembaga independen yang terlepas dari tiga cabang kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) bukan objek pelaksanaan hak angket DPR.
"Perlu dipahami bahwa hak angket, hak interpelasi, dan hak menyatakan pendapat merupakan tiga hak DPR yang dilaksanakan khusus dalam rangka fungsi pengawasan DPR terhadap pemerintah sebagai pemegang kekuasaan eksekutif," jelas dia.
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan fungsi pengawasan, UU MD3 telah menyediakan mekanisme-mekanisme pengawasan biasa yang dapat dilakukan oleh DPR, yaitu rapat dengar pendapat (RDP), rapat kerja (Raker), serta rapat konsultasi.
"Dengan demikian, apabila proses pembentukannya saja sudah bermasalah, maka perpanjangan masa kerja Pansus Hak Angket DPR Terhadap KPK tentu tidak dapat dibenarkan," papar Miko.
PSHK meminta publik terus mendesak DPR menjalankan fungsi pengawasan sebagaimana mestinya. Wakil rakyat diminta tidak memanfaatkan hak kelembagaan demi melindungi oknum anggota DPR yang terjerat kasus yang ditangani KPK.
" Pada akhirnya, selain itu, Presiden Joko Widodo harus mengupayakan langkah-langkah tegas dan konkret untuk melawan usaha pelemahan KPK, sebagaimana janjinya dalam Nawacita untuk terus menguatkan KPK dan upaya pemberantasan korupsi," ucap dia.
medcom.id, Jakarta: Laporan Sementara Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai tak bertujuan membenahi Lembaga Antirasywah. Pansus terkesan mencari-cari kesalahan KPK.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Miko S. Ginting menuturkan, pendapat pansus soal Wadah Pegawai dapat mengintervensi pimpinan KPK tak beralasan. Keberadaan Wadah Pegawai KPK memiliki dasar legitimasi kuat sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen dan Sumber Daya Manusia KPK.
"Pasal 16 PP tersebut juga mengamanatkan Wadah Pegawai KPK untuk memiliki Dewan Pertimbangan Pegawai yang bertugas memberikan rekomendasi kepada pimpinan KPK mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan kepegawaian," kata Miko kepada
Metrotvnews.com, Kamis 28 September 2017.
Menurut dia, fungsi penyampaian rekomendasi kepada pimpinan KPK bukan merupakan bentuk melampaui kewenangan. Hal itu telah dimandatkan PP untuk dilaksanakan Wadah Pegawai KPK.
Miko menduga, melalui laporan sementara pansus, DPR berusaha mendelegitimasi keberadaan Wadah Pegawai KPK. Apalagi, beberapa waktu lalu, Wadah Pegawai KPK mengajukan permohonan pengujian Pasal 79 ayat (3) Undang-undang MD3 terkait keabsahan KPK sebagai objek pelaksanaan hak angket DPR ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Apabila MK mengabulkan permohonan itu, Pansus Hak Angket DPR Terhadap KPK otomatis akan kehilangan legitimasinya," jelas dia.
KPK, kata dia, optimal menjalankan fungsi koordinasi dan supervisi. Pada Laporan Tahunan KPK 2016, khusus supervisi dan koordinasi pada bidang penegakan hukum KPK telah menerima 661 Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari Kejaksaan dan 255 dari Kepolisian.
Dalam konteks itu, KPK juga telah berkoordinasi terhadap penanganan 163 perkara dan supervisi terhadap 201 perkara. Angka yang sebenarnya jauh melampaui target KPK.
Sementara itu, dalam laporannya, pansus menganggap KPK gagal menjalankan fungsi supervisi dan koordinasi. KPK dinilai acap kali mengabaikan nota kesepahaman antara Polri dan Kejaksaan sehingga langkah yang diambil tidak sesuai kesepakatan bersama.
Di mata Miko, DPR seharusnya mendukung usaha mengoptimalkan penegakan hukum terutama dalam bidang korupsi ini. Salah satunya, mendorong upaya pembersihan di Kepolisian dan Kejaksaan.
DPR, terang dia, bila berniat menguatkam kerja pemberantasan korupsi bisa saja menjalankan pansus untuk mengevaluasi kinerja Kepolisian dan Kejaksaan. Terlebih, kedua lembaga itu berada di bawah kekuasaan eksekutif.
Miko menduga upaya praperadilan yang diajukan Ketua DPR Setya Novanto berkaitan dengan rekomendasi pansus kelak. Apabila permohonan praperadilan Setya Novanto diterima, Pansus Hak Angket KPK bakal mendapat angin segar.
"Terlebih, pada persidangan praperadilan pada Selasa 26 September 2017 lalu, penasehat hukum Setya Novanto membawa bukti-bukti yang diperoleh dari Pansus Hak Angket KPK. Untuk itu, upaya praperadilan Setya Novanto harus menjadi perhatian bersama secara serius, " papar dia.
Dia menuturkan, jalannya Pansus Hak Angket terhadap KPK tidak dapat dilepaskan dari rangkaian upaya memperlemah KPK. Tanpa melalui hak angket sekali pun, DPR tetap bisa mengawasi kinerja KPK.
Miko mengingatkan beberapa tahun lalu DPR periode 2009-2014 berusaha menghambat pembangunan gedung baru KPK dengan kekuasaan atas fungsi anggaran yang mereka miliki. Kali ini, bersamaan berjalannya kasus megakorupsi KTP elektronik yang melibatkan Ketua DPR, Pansus Angket KPK gencar menjalankan tugasnya dan berhasil memperpanjang masa kerja.
"Maka, sulit bagi publik untuk menganggap bahwa kedua peristiwa itu tidak saling terkait," jelas dia.
PSHK menekankan, pembentukan Pansus Angket KPK sejak awal telah bermasalah. KPK sebagai lembaga independen yang terlepas dari tiga cabang kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) bukan objek pelaksanaan hak angket DPR.
"Perlu dipahami bahwa hak angket, hak interpelasi, dan hak menyatakan pendapat merupakan tiga hak DPR yang dilaksanakan khusus dalam rangka fungsi pengawasan DPR terhadap pemerintah sebagai pemegang kekuasaan eksekutif," jelas dia.
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan fungsi pengawasan, UU MD3 telah menyediakan mekanisme-mekanisme pengawasan biasa yang dapat dilakukan oleh DPR, yaitu rapat dengar pendapat (RDP), rapat kerja (Raker), serta rapat konsultasi.
"Dengan demikian, apabila proses pembentukannya saja sudah bermasalah, maka perpanjangan masa kerja Pansus Hak Angket DPR Terhadap KPK tentu tidak dapat dibenarkan," papar Miko.
PSHK meminta publik terus mendesak DPR menjalankan fungsi pengawasan sebagaimana mestinya. Wakil rakyat diminta tidak memanfaatkan hak kelembagaan demi melindungi oknum anggota DPR yang terjerat kasus yang ditangani KPK.
" Pada akhirnya, selain itu, Presiden Joko Widodo harus mengupayakan langkah-langkah tegas dan konkret untuk melawan usaha pelemahan KPK, sebagaimana janjinya dalam Nawacita untuk terus menguatkan KPK dan upaya pemberantasan korupsi," ucap dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OJE)