Jakarta: Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) unggul dalam hukum acara pidana sendiri. Namun, hukum acara ini bisa diterapkan terhadap 10 jenis kekerasan seksual yang tak diatur secara eksplisit dalam RUU TPKS.
"Jadi jenis-jenis kekerasan yang tidak termaktub di dalam TPKS ini secara eksplisit, dia bisa merujuk ke sini (hukum acara RUU TPKS)," kata Ketua Panja RUU TPKS Willy Aditya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 6 April 2022.
Wakil Ketua Fraksi Partai NasDem itu menyampaikan 10 jenis kekerasan seksual tidak diatur secara eksplisit dalam RUU TPKS karena pengaturannya sudah ada di aturan perundang-undangan lain. Dia tak ingin satu ketentuan diatur dalam dua aturan.
"Karena akan terjadi overlapping," kata dia.
Kesepuluh jenis kekerasan seksual yang tak diatur secara rinci dalam RUU TPKS, yaitu perkosaan; perbuatan cabul, persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan eksploitasi seksual terhadap anak; perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban; pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual.
Selanjutnya, pemaksaan pelacuran; tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual; kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga; tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan tindak pidana kekerasan seksual; dan tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
"Misalnya, seperti aborsi, pemerkosaan, perlindungan anak, itu bisa pakai hukum acara TPKS," ujar dia.
Baca: RUU TPKS Memuat 19 Jenis Kekerasan Seksual
Kelebihan hukum acara pidana RUU TPKS terlihat pada Pasal 25. Di antaranya, Pasal 25 ayat (1) yang menyebut proses hukum kekerasan seksual hanya membutuhkan satu alat bukti.
Selain itu, Pasal 25 ayat (2) disebut keluarga terdakwa dapat memberi keterangan sebagai saksi di bawah sumpah atau janji. Ketentuan ini bisa dilakukan tanpa persetujuan terdakwa.
Berikut bunyi Pasal 25 ayat (2) RUU TPKS;
Pasal 25
Keterangan saksi datau korban cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah jika disertai dengan 1 (satu) alat bukti sah lainnya dan hakim memperoleh keyakinan bahwa benar telah terjadi tindak pidana dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Keluarga dari terdakwa dapat memberi keterangan sebagai Saksi di bawah sumpah atau janji, tanpa persetujuan terdakwa.
Dalam hal keterangan saksi hanya dapat diperoleh dari korban, keterangan saksi yang tidak dilakukan di bawah sumpah atau janji, atau keterangan saksi yang diperoleh dari orang lain, kekuatan pembuktiannya dapat didukung dengan keterangan yang diperoleh dari: (a). Orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan perkara tindak pidana kekerasan seksual meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana tersebut; (b). Saksi yang keterangannya berdiri sendiri tetapi ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu dan keterangannya dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah baik dalam kualifikasi sebagai keterangan saksi maupun petunjuk; (c). Ahli yang membuat alat bukti surat atau ahli yang mendukung pembuktian tindak pidana.
Penilaian atas kekuatan pembuktian dari keterangan saksi atau korban penyandang disabilitas dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana setelah mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nurani dan kesesuaian dengan alat bukti lainnya dengan memperhatikan kebutuhan khusus penyandang disabilitas.
Dalam hal saksi atau korban merupakan penyandang disabilitas mental atau intelektual, hakim wajib mempertimbangkan hasil pemeriksaan kesehatan jiwa atas kecakapan mental atau intelektual saksi atau korban untuk menjalani proses peradilan pidana dalam menilai kekuatan pembuktian dari keterangan saksi atau korban tersebut.
Keterangan saksi atau korban sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) wajib didukung dengan penilaian personal sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai akomodasi yang layak untuk penyandang disabilitas dalam proses peradilan.
Jakarta: Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual
(RUU TPKS) unggul dalam hukum acara pidana sendiri. Namun, hukum acara ini bisa diterapkan terhadap 10 jenis
kekerasan seksual yang tak diatur secara eksplisit dalam
RUU TPKS.
"Jadi jenis-jenis kekerasan yang tidak termaktub di dalam TPKS ini secara eksplisit, dia bisa merujuk ke sini (hukum acara RUU TPKS)," kata Ketua Panja RUU TPKS Willy Aditya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 6 April 2022.
Wakil Ketua Fraksi Partai NasDem itu menyampaikan 10 jenis kekerasan seksual tidak diatur secara eksplisit dalam RUU TPKS karena pengaturannya sudah ada di aturan perundang-undangan lain. Dia tak ingin satu ketentuan diatur dalam dua aturan.
"Karena akan terjadi
overlapping," kata dia.
Kesepuluh jenis kekerasan seksual yang tak diatur secara rinci dalam RUU TPKS, yaitu perkosaan; perbuatan cabul, persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan eksploitasi seksual terhadap anak; perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban; pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual.
Selanjutnya, pemaksaan pelacuran; tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual; kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga; tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan tindak pidana kekerasan seksual; dan tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
"Misalnya, seperti aborsi, pemerkosaan, perlindungan anak, itu bisa pakai hukum acara TPKS," ujar dia.
Baca:
RUU TPKS Memuat 19 Jenis Kekerasan Seksual
Kelebihan hukum acara pidana RUU TPKS terlihat pada Pasal 25. Di antaranya, Pasal 25 ayat (1) yang menyebut proses hukum kekerasan seksual hanya membutuhkan satu alat bukti.
Selain itu, Pasal 25 ayat (2) disebut keluarga terdakwa dapat memberi keterangan sebagai saksi di bawah sumpah atau janji. Ketentuan ini bisa dilakukan tanpa persetujuan terdakwa.
Berikut bunyi Pasal 25 ayat (2) RUU TPKS;
Pasal 25
- Keterangan saksi datau korban cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah jika disertai dengan 1 (satu) alat bukti sah lainnya dan hakim memperoleh keyakinan bahwa benar telah terjadi tindak pidana dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.
- Keluarga dari terdakwa dapat memberi keterangan sebagai Saksi di bawah sumpah atau janji, tanpa persetujuan terdakwa.
- Dalam hal keterangan saksi hanya dapat diperoleh dari korban, keterangan saksi yang tidak dilakukan di bawah sumpah atau janji, atau keterangan saksi yang diperoleh dari orang lain, kekuatan pembuktiannya dapat didukung dengan keterangan yang diperoleh dari: (a). Orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan perkara tindak pidana kekerasan seksual meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana tersebut; (b). Saksi yang keterangannya berdiri sendiri tetapi ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu dan keterangannya dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah baik dalam kualifikasi sebagai keterangan saksi maupun petunjuk; (c). Ahli yang membuat alat bukti surat atau ahli yang mendukung pembuktian tindak pidana.
- Penilaian atas kekuatan pembuktian dari keterangan saksi atau korban penyandang disabilitas dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana setelah mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nurani dan kesesuaian dengan alat bukti lainnya dengan memperhatikan kebutuhan khusus penyandang disabilitas.
- Dalam hal saksi atau korban merupakan penyandang disabilitas mental atau intelektual, hakim wajib mempertimbangkan hasil pemeriksaan kesehatan jiwa atas kecakapan mental atau intelektual saksi atau korban untuk menjalani proses peradilan pidana dalam menilai kekuatan pembuktian dari keterangan saksi atau korban tersebut.
- Keterangan saksi atau korban sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) wajib didukung dengan penilaian personal sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai akomodasi yang layak untuk penyandang disabilitas dalam proses peradilan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(JMS)