Jakarta: Wakil Ketua Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar menyebut komunikasi antarpihak kehilangan makna beberapa waktu belakangan. Sebanyak sembilan faktor menyebabkan hal tersebut.
"Pertama adalah komunikator yang tidak kredibel. Kedua, sekaligus tidak otentik," kata Kohar dikutip dari Lampost.co.id, Sabtu, 23 Januari 2021.
Direktur Utama PT Masa Kini Mandiri (Lampung Post) tersebut menyebut pesan semakin tidak berarti ketika apa yang disampaikan tanpa menimbang keotentikan data. Misalnya, pernyataan seseorang yang bertentangan dengan tindakan yang dilakukan.
"Semisal ada pejabat atau politikus yang berkata 'hindari korupsi dari mulai ranah keluarga'. Ternyata beberapa bulan kemudian dia justru tertangkap operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)," ungkap dia.
Faktor ketiga adalah distrust atau hilangnya kepercayaan publik. Abdul Kohar berpendapat faktor ini timbul akibat dua faktor sebelumnya.
"Akhirnya orang yang melihat akan berpendapat dia sebagai orang yang pandai bicara, bukan teladan dalam perilaku," kata jurnalis senior tersebut.
Penyebab keempat, kata Abdul Kohar, ialah informasi yang disembunyikan. Kelima, komunikator yang tidak kompeten.
"Orang yang bukan ahli vaksin tidak pas dimintai pendapat tentang vaksin. Di dunia jurnalistik, kompetensi seseorang yang akan dijadikan narasumber saat diwawancara ini ditimbang dengan matang," ujar dia.
Faktor berikutnya yaitu berhadapan dengan kelompok atau masyarakat yang sudah terpapar informasi palsu. Menurut Kohar, mereka yang percaya berita bohong telah dikuasai hoaks.
Penyebab ketujuh dan kedelapan adalah literasi yang rendah dan tren politik identitas. Dia mengatakan, hal ini bukan hanya berlaku di Indonesia, akan tetapi juga di negara-negara yang lebih maju, termasuk Amerika Serikat (AS).
"Seperti di AS tentang warna kulit. Donal Trump, misalnya, mengambil poin ini untuk terus memprovokasi pengikutnya," kata Abdul Kohar.
Penyebab terakhir adalah informasi yang diskriminatif. Penyampai informasi menerapkan sikap yang berbeda ketika berhadapan dengan kelompok yang berlainan.
"Ketika berbincang, si penyampai informasi, memberlakukan regulasi yang berbeda antara kelompok A dan kelompok B," ujar dia.
Jakarta: Wakil Ketua Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar menyebut komunikasi antarpihak kehilangan makna beberapa waktu belakangan. Sebanyak sembilan faktor menyebabkan hal tersebut.
"Pertama adalah komunikator yang tidak kredibel. Kedua, sekaligus tidak otentik," kata Kohar dikutip dari
Lampost.co.id, Sabtu, 23 Januari 2021.
Direktur Utama PT Masa Kini Mandiri (Lampung Post) tersebut menyebut pesan semakin tidak berarti ketika apa yang disampaikan tanpa menimbang keotentikan data. Misalnya, pernyataan seseorang yang bertentangan dengan tindakan yang dilakukan.
"Semisal ada pejabat atau politikus yang berkata 'hindari korupsi dari mulai ranah keluarga'. Ternyata beberapa bulan kemudian dia justru tertangkap operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)," ungkap dia.
Faktor ketiga adalah
distrust atau hilangnya kepercayaan publik. Abdul Kohar berpendapat faktor ini timbul akibat dua faktor sebelumnya.
"Akhirnya orang yang melihat akan berpendapat dia sebagai orang yang pandai bicara, bukan teladan dalam perilaku," kata jurnalis senior tersebut.
Penyebab keempat, kata Abdul Kohar, ialah informasi yang disembunyikan. Kelima, komunikator yang tidak kompeten.
"Orang yang bukan ahli vaksin tidak pas dimintai pendapat tentang vaksin. Di dunia jurnalistik, kompetensi seseorang yang akan dijadikan narasumber saat diwawancara ini ditimbang dengan matang," ujar dia.
Faktor berikutnya yaitu berhadapan dengan kelompok atau masyarakat yang sudah terpapar informasi palsu. Menurut Kohar, mereka yang percaya berita bohong telah dikuasai hoaks.
Penyebab ketujuh dan kedelapan adalah literasi yang rendah dan tren politik identitas. Dia mengatakan, hal ini bukan hanya berlaku di Indonesia, akan tetapi juga di negara-negara yang lebih maju, termasuk Amerika Serikat (AS).
"Seperti di AS tentang warna kulit. Donal Trump, misalnya, mengambil poin ini untuk terus memprovokasi pengikutnya," kata Abdul Kohar.
Penyebab terakhir adalah informasi yang diskriminatif. Penyampai informasi menerapkan sikap yang berbeda ketika berhadapan dengan kelompok yang berlainan.
"Ketika berbincang, si penyampai informasi, memberlakukan regulasi yang berbeda antara kelompok A dan kelompok B," ujar dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADN)