Jakarta: Ketua Komisi II DPR Zainudin Amali menilai larangan eks narapidana korupsi mencalonkan diri sebagai kepala daerah tak perlu diatur dalam regulasi khusus. Komisi Pemilihan Umum (KPU) cukup mengumumkan nama-nama tersebut ke publik.
"Saya dulu waktu urusan caleg itu, saya sempat ada pemikiran KPU untuk umumkan. Apalagi kan sedikit namanya cuma dua sampai tiga orang (eks koruptor)," kata Amali di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis, 1 Agustus 2019.
Amali menyebut mengumumkan nama-nama mantan narapidana korupsi ke publik lebih rasional. Ketimbang membuat larangan yang diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU), yang notabene bertentangan dengan undang-undang.
"Jadi undang-undang enggak dilanggar, PKPU enggak perlu diubah. Tapi dia secara sosial akan jadi beban kepada yang bersangkutan dan jadi pertimbangan publik," terang Amali.
Dia khawatir bila diatur di PKPU bakal kembali digugat ke Mahkamah Agung. Sama seperti aturan larangan eks koruptor maju di Pemilihan Legislatif 2019 yang menimbulkan polemik berkepanjangan.
(Baca juga: Komisi II Nilai Revisi UU Pilkada Tidak Memungkinkan)
"Berimprovisasi membuat PKPU yang berbeda dengan norma yang ada di undang-undang. Begitu masuk ke MA dibatalkan lagi," imbuh Amali.
Politikus Partai Golkar itu menambahkan mendesak revisi Undang-Undang Pilkada tidak memungkinkan saat ini. Revisi penambahan satu pasal soal larangan eks koruptor berimplikasi pasal pasal-pasal lainnya.
"Kita semangatnya sama antara DPR, dengan KPU, KPK dan lembaga lainnya. Cuma terbentur lagi di situ. Dan pasti MA enggak bakal loloskan itu karena bertentangan dengan undang-undang," pungkas dia.
Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) berencana melarang mantan narapidana koruptor maju sebagai calon kepala daerah di Pilkada Serentak 2020. Larangan itu bisa dituangkan ke dalam Peraturan KPU tentang pencalonan kepala daerah.
"KPU siap mengubah PKPU Pencalonan, terkait mantan napi korupsi dilarang mencalonkan diri sebagai kepala daerah," kata Komisioner KPU Viryan Aziz.
Jakarta: Ketua Komisi II DPR Zainudin Amali menilai larangan eks narapidana korupsi mencalonkan diri sebagai kepala daerah tak perlu diatur dalam regulasi khusus. Komisi Pemilihan Umum (KPU) cukup mengumumkan nama-nama tersebut ke publik.
"Saya dulu waktu urusan caleg itu, saya sempat ada pemikiran KPU untuk umumkan. Apalagi kan sedikit namanya cuma dua sampai tiga orang (eks koruptor)," kata Amali di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis, 1 Agustus 2019.
Amali menyebut mengumumkan nama-nama mantan narapidana korupsi ke publik lebih rasional. Ketimbang membuat larangan yang diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU), yang notabene bertentangan dengan undang-undang.
"Jadi undang-undang enggak dilanggar, PKPU enggak perlu diubah. Tapi dia secara sosial akan jadi beban kepada yang bersangkutan dan jadi pertimbangan publik," terang Amali.
Dia khawatir bila diatur di PKPU bakal kembali digugat ke Mahkamah Agung. Sama seperti aturan larangan eks koruptor maju di Pemilihan Legislatif 2019 yang menimbulkan polemik berkepanjangan.
(Baca juga:
Komisi II Nilai Revisi UU Pilkada Tidak Memungkinkan)
"Berimprovisasi membuat PKPU yang berbeda dengan norma yang ada di undang-undang. Begitu masuk ke MA dibatalkan lagi," imbuh Amali.
Politikus Partai Golkar itu menambahkan mendesak revisi Undang-Undang Pilkada tidak memungkinkan saat ini. Revisi penambahan satu pasal soal larangan eks koruptor berimplikasi pasal pasal-pasal lainnya.
"Kita semangatnya sama antara DPR, dengan KPU, KPK dan lembaga lainnya. Cuma terbentur lagi di situ. Dan pasti MA enggak bakal loloskan itu karena bertentangan dengan undang-undang," pungkas dia.
Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) berencana melarang mantan narapidana koruptor maju sebagai calon kepala daerah di Pilkada Serentak 2020. Larangan itu bisa dituangkan ke dalam Peraturan KPU tentang pencalonan kepala daerah.
"KPU siap mengubah PKPU Pencalonan, terkait mantan napi korupsi dilarang mencalonkan diri sebagai kepala daerah," kata Komisioner KPU Viryan Aziz.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)