Jakarta: Direktur Eksekutif Institute for Democracy dan Strategic Affairs Ahmad Khoirul Umam menilai koalisi besar akan sulit terwujud. Sebab, koalisi akan terbentuk jika partai-partai anggota koalisi bisa menegosiasikan kepentingan dan membentuk kesepakatan yang bisa mengikat kolektivitas atau kebersamaan.
Dalam proses negosiasi itu, kata dia, koalisi besar harus bisa menentukan platform politik. Misalnya, apakah keberlanjutan atau perubahan, siapa capresnya dan cawapres, hingga komposisi kabinet atau portofolio pemerintahannya nantinya.
"Bagaimana skema pengadaan dan belanja logistik politiknya? Dan lain sebagainya. Semua itu harus clear menjadi pokok pembahasan," ujar Umam, Selasa, 4 April 2023.
Dari faktor platform, kata dia, mayoritas partai politik di koalisi besar memiliki spirit keberlanjutan. Namun, ketika masuk di ranah penentuan cawapres-cawapres, potensi faksionalisme akan terbuka.
"Koalisi besar tampak kerepotan dalam menentukan komposisi vapres-cawapres. Buktinya, sudah muncul pernyataan sikap PKB, yang menegaskan koalisi besar akan terwujud jika Cak Imin (Ketum PKB Muhaimin Iskandar) yang menjadi capres," jelas dia.
Umam menekankan publik mengetahui yang dimaksud Presiden Joko Widodo sebagai capres koalisi besar adalah Prabowo Subianto. Sedangkan, cawapresnya yakni Gubernur Jawa Timur Khofifah Indarparawansa.
"Memang bisa saja statement PKB itu untuk meningkatkan daya tawar Cak Imin untuk menjadi Cawapres di koalisi besar. Namun mencermati intensitas manuver elit Gerindra sendiri, tampak jelas gelagat mereka yang lebih memilih Khofifah Indarparawansa menjadi cawapres Prabowo, bukan Muhaimin," ungkapnya.
Terbentur di penentuan cawapres
Menurut dia, harapan koalisi besar akan terbentur oleh pertarungan sengit dalam menentukan cawapres. Setidaknya ada tiga gerbong besar yang siap mengantri menjadi cawapres.
Pertama, Ketum Partai Golkar Airlangga Hartarto sebagai pelaksanaan amanah Munas Golkarm, dan tidak mungkin Golkar memberikan tiket gratis kepada capres yang belum tentu menang, jika tidak dikompensasi dengan posisi cawapres. Kedua, Ketum PKB Muhaimin Iskandar yang sejak 2018 lalu sangat berkeinginan menjadi cawapres dengan tagline Cawapres Jaman Now.
"Karena itulah, PKB melangkah begitu cepat mendekati Gerindra untuk membentuk koalisi agar kemungkinan Muhaimin menjadi Cawapres lebih tinggi. Tapi jika masuk dalam koalisi besar, kemungkinan itu akan menurun lagi," jelas dia.
Di sisi lain, yang juga masuk dalam radar cawapres yakni cawapres berasal dari gerbong politik PAN yang besar kemungkinan akan mendorong Menteri BUMN Erick Tohir. Dengan logistiknya, Erick seolah telah membeli dua kekuatan politik Islam.
Kedua keukayan itu yakni PAN sebagai representasi kekuatan politik Muhammadiyah, dan pengaruh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang seolah memberikan panggung besar kepada Erick selaku figur yang baru saja 'dinaturalisasi' sebagai Nahdliyyin. Kesan transaksionalnya cukup tinggi.
"Dalam konteks koalisi besar, Erick tampaknya akan menggunakan PAN sebagai akat bargaining position untuk mendapatkan posisi cawapres. Jadi, benturannya kuat dan akan sulit tercapai negosiasi," imbuhnya.
Sementara itu, PPP bukan tidak mungkin, akan bergeser ke PDI Perjuangan (PDIP). Selain PPP harus membayar utang budi setelah diselamatkan dalam Pemilu 2019, kini PDIP juga membutuhkan penguatan dari elemen islam dalam gerbong koalisinya.
Mencermati besarnya potensi gesekan kepentingan dan sulitnya negosiasi antar partai, maka besar kemungkinan partai-partai pemerintah akan mengalami diaspora dan perpecahan. Misalnya, kata dia, PDIP bisa bersatu dengan PPP, lalu Gerindra dengan PAN sebagaimana di Pilpres 2014 lalu, kemudian Golkar dengan PKB. Semua skema itu bisa memenuhi presidential threshold 20 persen.
"Jadi rasanya koalisi besar rasnya agak sulit terwujud. Kecuali jika PDIP sendiri mau tunduk dan menurunkan muruah atau harga dirinya dengan menyerahkan golden ticket yang dimiliki kepada arus koalisi besar," ujarnya.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id.
Jakarta: Direktur Eksekutif Institute for Democracy dan Strategic Affairs Ahmad Khoirul Umam menilai koalisi besar akan sulit terwujud. Sebab,
koalisi akan terbentuk jika partai-partai anggota koalisi bisa menegosiasikan kepentingan dan membentuk kesepakatan yang bisa mengikat kolektivitas atau kebersamaan.
Dalam proses negosiasi itu, kata dia, koalisi besar harus bisa menentukan platform politik. Misalnya, apakah keberlanjutan atau perubahan, siapa capresnya dan cawapres, hingga komposisi kabinet atau portofolio pemerintahannya nantinya.
"Bagaimana skema pengadaan dan belanja logistik politiknya? Dan lain sebagainya. Semua itu harus clear menjadi pokok pembahasan," ujar Umam, Selasa, 4 April 2023.
Dari faktor platform, kata dia, mayoritas
partai politik di koalisi besar memiliki spirit keberlanjutan. Namun, ketika masuk di ranah penentuan cawapres-cawapres, potensi faksionalisme akan terbuka.
"Koalisi besar tampak kerepotan dalam menentukan komposisi vapres-cawapres. Buktinya, sudah muncul pernyataan sikap PKB, yang menegaskan koalisi besar akan terwujud jika Cak Imin (Ketum PKB Muhaimin Iskandar) yang menjadi capres," jelas dia.
Umam menekankan publik mengetahui yang dimaksud Presiden Joko Widodo sebagai capres koalisi besar adalah Prabowo Subianto. Sedangkan, cawapresnya yakni Gubernur Jawa Timur Khofifah Indarparawansa.
"Memang bisa saja
statement PKB itu untuk meningkatkan daya tawar Cak Imin untuk menjadi Cawapres di koalisi besar. Namun mencermati intensitas manuver elit Gerindra sendiri, tampak jelas gelagat mereka yang lebih memilih Khofifah Indarparawansa menjadi cawapres Prabowo, bukan Muhaimin," ungkapnya.
Terbentur di penentuan cawapres
Menurut dia, harapan koalisi besar akan terbentur oleh pertarungan sengit dalam menentukan cawapres. Setidaknya ada tiga gerbong besar yang siap mengantri menjadi cawapres.
Pertama, Ketum Partai Golkar Airlangga Hartarto sebagai pelaksanaan amanah Munas Golkarm, dan tidak mungkin Golkar memberikan tiket gratis kepada capres yang belum tentu menang, jika tidak dikompensasi dengan posisi cawapres. Kedua, Ketum PKB Muhaimin Iskandar yang sejak 2018 lalu sangat berkeinginan menjadi cawapres dengan
tagline Cawapres Jaman Now.
"Karena itulah, PKB melangkah begitu cepat mendekati Gerindra untuk membentuk koalisi agar kemungkinan Muhaimin menjadi Cawapres lebih tinggi. Tapi jika masuk dalam koalisi besar, kemungkinan itu akan menurun lagi," jelas dia.
Di sisi lain, yang juga masuk dalam radar cawapres yakni cawapres berasal dari gerbong politik PAN yang besar kemungkinan akan mendorong Menteri BUMN Erick Tohir. Dengan logistiknya, Erick seolah telah membeli dua kekuatan politik Islam.
Kedua keukayan itu yakni PAN sebagai representasi kekuatan politik Muhammadiyah, dan pengaruh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang seolah memberikan panggung besar kepada Erick selaku figur yang baru saja 'dinaturalisasi' sebagai Nahdliyyin. Kesan transaksionalnya cukup tinggi.
"Dalam konteks koalisi besar, Erick tampaknya akan menggunakan PAN sebagai akat bargaining position untuk mendapatkan posisi cawapres. Jadi, benturannya kuat dan akan sulit tercapai negosiasi," imbuhnya.
Sementara itu, PPP bukan tidak mungkin, akan bergeser ke PDI Perjuangan (PDIP). Selain PPP harus membayar utang budi setelah diselamatkan dalam Pemilu 2019, kini PDIP juga membutuhkan penguatan dari elemen islam dalam gerbong koalisinya.
Mencermati besarnya potensi gesekan kepentingan dan sulitnya negosiasi antar partai, maka besar kemungkinan partai-partai pemerintah akan mengalami diaspora dan perpecahan. Misalnya, kata dia, PDIP bisa bersatu dengan PPP, lalu Gerindra dengan PAN sebagaimana di Pilpres 2014 lalu, kemudian Golkar dengan PKB. Semua skema itu bisa memenuhi
presidential threshold 20 persen.
"Jadi rasanya koalisi besar rasnya agak sulit terwujud. Kecuali jika PDIP sendiri mau tunduk dan menurunkan muruah atau harga dirinya dengan menyerahkan
golden ticket yang dimiliki kepada arus koalisi besar," ujarnya.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(AGA)