Jakarta: Sikap DPR berubah 180 derajat terhadap pembahasan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Hal itu karena DPR mempertimbangkan sikap pemerintah.
"Kita berpikir karena salah satu (pemerintah) sudah setuju (menunda) tidak mungkin dong DPR ngotot terus (melanjutkan pembahasan). Percuma juga," kata anggota Komisi II Zulfikar Arse Sadikin dalam diskusi virtual, Sabtu, 13 Maret 2021.
Politikus Golkar itu menjelaskan pembentukan UU harus dilakukan oleh DPR bersama pemerintah. Jika salah satu pihak berkeberatan, pembahasan tidak bisa dilakukan.
Baca: KPU Siapkan Modifikasi Tahapan untuk Pelaksanaan Pemilu 2024
Dia menyampaikan awalnya seluruh fraksi di DPR sepakat mengamendemen UU Pemilu. Bahkan, revisi aturan itu sudah diharmonisasi di Badan Legislasi (Baleg) dan ditetapkan sebagai inisiatif DPR.
Namun, pemerintah tidak setuju untuk melanjutkan. Salah satu alasannya UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang menjadi substansi perubahan belum diimplementasikan, yakni soal penyelenggaraan pilkada serentak pada November 2024.
"Ini belum dilaksanakan tapi kenapa diubah. Itu pendapat dia ya, Bang Bahtiar (Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri). Okelah kita hormati (alasan pemerintah)," ungkap dia.
Dia menilai alasan pemerintah itu bisa diterima. Namun, pembuat regulasi dan pelaksana diminta memikirkan formulasi yang tepat mengakomodasi kebutuhan penyelenggaraan Pemilu sekaligus Pilkada 2024.
Salah satu fokus, yakni penyesuaian tahapan-tahapan yang harus melalui perubahan norma di UU. Dia menanyakan apakah memungkinkan hal itu dilakukan hanya dengan revisi peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU).
"Coba pemerintah bisa enggak menjelaskan itu (perubahan norma di UU). Kecuali ada kesepahaman di antara kita nanti PKPU itu bisa melampaui penormaan demi ya, demi perbaikan kualitas pemilu," ujar dia.
Jakarta: Sikap DPR berubah 180 derajat terhadap pembahasan revisi Undang-Undang (
UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Hal itu karena DPR mempertimbangkan sikap pemerintah.
"Kita berpikir karena salah satu (pemerintah) sudah setuju (menunda) tidak mungkin dong DPR ngotot terus (melanjutkan pembahasan). Percuma juga," kata anggota Komisi II Zulfikar Arse Sadikin dalam diskusi virtual, Sabtu, 13 Maret 2021.
Politikus Golkar itu menjelaskan pembentukan UU harus dilakukan oleh DPR bersama pemerintah. Jika salah satu pihak berkeberatan, pembahasan tidak bisa dilakukan.
Baca:
KPU Siapkan Modifikasi Tahapan untuk Pelaksanaan Pemilu 2024
Dia menyampaikan awalnya seluruh fraksi di DPR sepakat mengamendemen UU Pemilu. Bahkan, revisi aturan itu sudah diharmonisasi di Badan Legislasi (Baleg) dan ditetapkan sebagai inisiatif DPR.
Namun, pemerintah tidak setuju untuk melanjutkan. Salah satu alasannya UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (
Pilkada) yang menjadi substansi perubahan belum diimplementasikan, yakni soal penyelenggaraan pilkada serentak pada November 2024.
"Ini belum dilaksanakan tapi kenapa diubah. Itu pendapat dia ya, Bang Bahtiar (Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri). Okelah kita hormati (alasan pemerintah)," ungkap dia.
Dia menilai alasan pemerintah itu bisa diterima. Namun, pembuat regulasi dan pelaksana diminta memikirkan formulasi yang tepat mengakomodasi kebutuhan penyelenggaraan Pemilu sekaligus Pilkada 2024.
Salah satu fokus, yakni penyesuaian tahapan-tahapan yang harus melalui perubahan norma di UU. Dia menanyakan apakah memungkinkan hal itu dilakukan hanya dengan revisi peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU).
"Coba pemerintah bisa enggak menjelaskan itu (perubahan norma di UU). Kecuali ada kesepahaman di antara kita nanti PKPU itu bisa melampaui penormaan demi ya, demi perbaikan kualitas pemilu," ujar dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)