Jakarta: Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengeluarkan surat edaran (SE) yang memberikan persetujuan tertulis kepada pejabat (Pj) kepala daerah untuk memutasi dan memberhentikan pejabat atau ASN setempat. Langkah ini dinilai keliru.
Mantan Dirjen Otda Kemendagri Djohermansyah Johan, mengatakan, Mendagri keliru karena menggunakan SE dalam kebijakannya memperbolehkan Pj daerah untuk memutasi ASN. Menurutnya dari segi teknis perundang-undangan, ada hirarki peraturan Undang-Undang (UU).
"Kalau kita pelajari, SE itu enggak ada di dalam hirarki peraturan UU. Jadi peraturan UU memberi kewenangan terkait mutasi, sanksi, dan yang diatur dalam SE itu tidak ada dalam hirarki," ujar Johan kepada Media Indonesia, Selasa, 20 September 2022.
Johan mengungkapkan, seharusnya ada payung hukum yang lebih besar dari sekedar SE. Paling tidak diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). Apalagi,kata Johan, sudah ada PP 49 tahun 2008 yang mengatur bahwa kalau kewenangan terkait mutasi, atau sanksi-sanksi terhadap ASN itu harus dengan pesetujuan pemerintah pusat.
“SE nabrak PP, jadi itu tentu keliru,” tegasnya.
Artinya, Johan meminta agar Mendagri segera menata kembali kebijakan tersebut melalui PP. Jika kebijakan itu sudah berlangsung, Johan meminta adanya pengawasan yang kuat dari pemerintah pusat hingga masyarakat.
“Tentu saja harus dilakukan pengawasan yang kuat oleh pemerintah pusat, supaya jangan menyimpang, mereka ini takutnya diboncengi ada kepentingan politik praktis apalagi mau pemilu,” ujarnya.
Ia menegaskan, harus ada pengawasan yang kuat dan ketat dari internal pemerintah dan dari masyarakat serta DPRD daerah masing-masing. Jika pengawasan berlapis bisa dilakukan, Johan menilai pemerintahan di daerah akan efektif dan memiliki dasar yang kuat.
Sebelumnya, Kemendagri menegaskan, penerbitan Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 821/5492/SJ tertanggal 14 September 2022 bertujuan agar pengelolaan pembinaan kepegawaian di daerah berjalan lebih efektif dan efisien.
Kemendagri meluruskan anggapan bahwa edaran tersebut memberikan izin kepada penjabat (Pj), pelaksana tugas (Plt), maupun penjabat sementara (Pjs) kepala daerah untuk memutasi maupun memberhentikan Pegawai Negeri Sipil (PNS) begitu saja.
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri Benni Irwan mengatakan, SE tersebut berisi dua poin pokok dalam mendukung pembinaan kepegawaian di daerah agar lebih efektif dan efisien.
Pertama, Mendagri memberikan izin kepada Pj, Plt, dan Pjs kepala daerah untuk menjatuhkan sanksi atau hukuman disiplin bagi PNS yang tersangkut korupsi dan pelanggaran disiplin berat.
Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 18 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2021 bahwa kepala daerah harus menetapkan penjatuhan hukuman disiplin tingkat berat bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang tersangkut korupsi.
Jakarta: Menteri Dalam Negeri (Mendagri)
Tito Karnavian mengeluarkan surat edaran (SE) yang memberikan persetujuan tertulis kepada
pejabat (Pj) kepala daerah untuk memutasi dan memberhentikan pejabat atau ASN setempat. Langkah ini dinilai keliru.
Mantan Dirjen Otda Kemendagri Djohermansyah Johan, mengatakan, Mendagri keliru karena menggunakan SE dalam kebijakannya memperbolehkan Pj daerah untuk memutasi
ASN. Menurutnya dari segi teknis perundang-undangan, ada hirarki peraturan Undang-Undang (UU).
"Kalau kita pelajari, SE itu enggak ada di dalam hirarki peraturan UU. Jadi peraturan UU memberi kewenangan terkait mutasi, sanksi, dan yang diatur dalam SE itu tidak ada dalam hirarki," ujar Johan kepada Media Indonesia, Selasa, 20 September 2022.
Johan mengungkapkan, seharusnya ada payung hukum yang lebih besar dari sekedar SE. Paling tidak diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). Apalagi,kata Johan, sudah ada PP 49 tahun 2008 yang mengatur bahwa kalau kewenangan terkait mutasi, atau sanksi-sanksi terhadap ASN itu harus dengan pesetujuan pemerintah pusat.
“SE nabrak PP, jadi itu tentu keliru,” tegasnya.
Artinya, Johan meminta agar Mendagri segera menata kembali kebijakan tersebut melalui PP. Jika kebijakan itu sudah berlangsung, Johan meminta adanya pengawasan yang kuat dari pemerintah pusat hingga masyarakat.
“Tentu saja harus dilakukan pengawasan yang kuat oleh pemerintah pusat, supaya jangan menyimpang, mereka ini takutnya diboncengi ada kepentingan politik praktis apalagi mau pemilu,” ujarnya.
Ia menegaskan, harus ada pengawasan yang kuat dan ketat dari internal pemerintah dan dari masyarakat serta DPRD daerah masing-masing. Jika pengawasan berlapis bisa dilakukan, Johan menilai pemerintahan di daerah akan efektif dan memiliki dasar yang kuat.
Sebelumnya,
Kemendagri menegaskan, penerbitan Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 821/5492/SJ tertanggal 14 September 2022 bertujuan agar pengelolaan pembinaan kepegawaian di daerah berjalan lebih efektif dan efisien.
Kemendagri meluruskan anggapan bahwa edaran tersebut memberikan izin kepada penjabat (Pj), pelaksana tugas (Plt), maupun penjabat sementara (Pjs) kepala daerah untuk memutasi maupun memberhentikan Pegawai Negeri Sipil (PNS) begitu saja.
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri Benni Irwan mengatakan, SE tersebut berisi dua poin pokok dalam mendukung pembinaan kepegawaian di daerah agar lebih efektif dan efisien.
Pertama, Mendagri memberikan izin kepada Pj, Plt, dan Pjs kepala daerah untuk menjatuhkan sanksi atau hukuman disiplin bagi PNS yang tersangkut korupsi dan pelanggaran disiplin berat.
Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 18 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2021 bahwa kepala daerah harus menetapkan penjatuhan hukuman disiplin tingkat berat bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang tersangkut korupsi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(END)