medcom.id, Jakarta: Ketua Komite I DPD Akhmad Muqowam menilai bahwa lahirnya Undang-Undang (UU) Desa pada awalnya karena desa tidak pernah mendapat apresiasi pemerintah. Sehingga dengan adanya UU ini, seharusnya desa dan masyarakat bisa bersama-sama membangun desa.
UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa memiliki empat lingkup pembahasan, yakni terkait pemerintahan, pemberdayaan masyarakat, pembangunan, dan pembinaan kemasyarakatan.
Muqowam meminta kepada pemerintah agar memberikan fleksibilitas kepada desa dalam mengambil kebijakan terkait implementasi dana desa, karena desa merupakan objek dalam pembangunan yang paling paham kebutuhan daerahnya.
"Intinya banyak daya tolak masyarakat di desa, sehingga berdasarkan data statistik 56 persen penduduk desa ada di perkotaan, karena tidak bisa hidup di desa. Tidak seperti di Thailand yang pemerintahnya tidak membolehkan lebih dari 30 persen warga negara hidup di perkotaan, karena pemerintah telah konsern ke desa untuk menyokong bidang pertanian," kata Muqowam dalam acara bincang-bincang dengan tema Rakyat, Desa, dan Tanahnya, di Cikini, Sabtu 9 September 2017.
Senada dengan Muqowam, Ketua Umum Perkumpulan Jarkom Desa, Anom Surya Putra menilai kewenangan lokal masyarakat desa sangat penting.
"Hubungan rakyat desa dan tanah itu paling rumit, saya pikir PP Dana Desa harus dicabut, karena banyak beban administratif. Permen Desa setiap tahun selalu ada perubahan kebijakan, seharusnya permen itu empat tahun sekali, sehingga memudahkan desa untuk mengelola dana desa," ujarnya.
Sedangkan Kepala Desa Plososari, Kendal, Jawa Tengah, Suwardi mengatakan, sebelum lahirnya UU Desa, dirinya hanya menerima bantuan dari pemerintah sebesar Rp90 juta per tahun. Dengan adanya UU Desa, jumlahnya naik menjadi Rp800 juta per tahun.
"Saya berharap pemerintah dapat memberikan kepercayaan kepada perangkat pemerintah daerah untuk mengelola dana desa sesuai kebutuhan masing-masing daerah tanpa dibebani aturan yang justru mempersulit terwujudnya kemandirian daerah," tegas Suwardi.
Dalam kesempatan tersebut, Dirjen Pembangunan Kawasan Pedesaan (PKP) Kementerian Desa, Ahmad Erani Yustika mengatakan, setelah diberlakukannya UU Desa, pihaknya coba memotret keseluruhan kegiatan desa berdasarkan data BPS, guna mengetahui base line kondisi desa saat itu.
"Kami membagi data yang ada dari aspek ekonomi, sosial, dan ekologi. Jadi ada semua datanya, kita bahkan kirimkan ke semua kabupaten, supaya setiap daerah tahu potensinya masing-masing. Sikap kami jelas, keputusan ada di musyawarah desa. Bupati dan menteri tidak boleh campur tangan. Pilihan mutlak kewenangan desa," terang Erani.
Sentot S. Satria, pengamat dari Kolaborasi Masyarakat dan Pelayanan untuk Kesejahteraan (KOMPAK), menilai saat ini kebutuhan desa sangat banyak. Sedangkan pemerintah pusat memberikan arahan yang wajib dilaksanakan, sayangnya tidak sesuai dengan kebutuhan daerah.
Akan lebih baik bila perhatian pemerintah pusat memprioritaskan kepada kebutuhan dari setiap masing-masing desa.
"Sejauh ini pemerintah baru fokus pada program pengawasan dana desa, seharusnya lebih memerhatikan persoalan pembinaan dan pemberdayaan masyarakat desa," tandas Sentot.
medcom.id, Jakarta: Ketua Komite I DPD Akhmad Muqowam menilai bahwa lahirnya Undang-Undang (UU) Desa pada awalnya karena desa tidak pernah mendapat apresiasi pemerintah. Sehingga dengan adanya UU ini, seharusnya desa dan masyarakat bisa bersama-sama membangun desa.
UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa memiliki empat lingkup pembahasan, yakni terkait pemerintahan, pemberdayaan masyarakat, pembangunan, dan pembinaan kemasyarakatan.
Muqowam meminta kepada pemerintah agar memberikan fleksibilitas kepada desa dalam mengambil kebijakan terkait implementasi dana desa, karena desa merupakan objek dalam pembangunan yang paling paham kebutuhan daerahnya.
"Intinya banyak daya tolak masyarakat di desa, sehingga berdasarkan data statistik 56 persen penduduk desa ada di perkotaan, karena tidak bisa hidup di desa. Tidak seperti di Thailand yang pemerintahnya tidak membolehkan lebih dari 30 persen warga negara hidup di perkotaan, karena pemerintah telah konsern ke desa untuk menyokong bidang pertanian," kata Muqowam dalam acara bincang-bincang dengan tema Rakyat, Desa, dan Tanahnya, di Cikini, Sabtu 9 September 2017.
Senada dengan Muqowam, Ketua Umum Perkumpulan Jarkom Desa, Anom Surya Putra menilai kewenangan lokal masyarakat desa sangat penting.
"Hubungan rakyat desa dan tanah itu paling rumit, saya pikir PP Dana Desa harus dicabut, karena banyak beban administratif. Permen Desa setiap tahun selalu ada perubahan kebijakan, seharusnya permen itu empat tahun sekali, sehingga memudahkan desa untuk mengelola dana desa," ujarnya.
Sedangkan Kepala Desa Plososari, Kendal, Jawa Tengah, Suwardi mengatakan, sebelum lahirnya UU Desa, dirinya hanya menerima bantuan dari pemerintah sebesar Rp90 juta per tahun. Dengan adanya UU Desa, jumlahnya naik menjadi Rp800 juta per tahun.
"Saya berharap pemerintah dapat memberikan kepercayaan kepada perangkat pemerintah daerah untuk mengelola dana desa sesuai kebutuhan masing-masing daerah tanpa dibebani aturan yang justru mempersulit terwujudnya kemandirian daerah," tegas Suwardi.
Dalam kesempatan tersebut, Dirjen Pembangunan Kawasan Pedesaan (PKP) Kementerian Desa, Ahmad Erani Yustika mengatakan, setelah diberlakukannya UU Desa, pihaknya coba memotret keseluruhan kegiatan desa berdasarkan data BPS, guna mengetahui base line kondisi desa saat itu.
"Kami membagi data yang ada dari aspek ekonomi, sosial, dan ekologi. Jadi ada semua datanya, kita bahkan kirimkan ke semua kabupaten, supaya setiap daerah tahu potensinya masing-masing. Sikap kami jelas, keputusan ada di musyawarah desa. Bupati dan menteri tidak boleh campur tangan. Pilihan mutlak kewenangan desa," terang Erani.
Sentot S. Satria, pengamat dari Kolaborasi Masyarakat dan Pelayanan untuk Kesejahteraan (KOMPAK), menilai saat ini kebutuhan desa sangat banyak. Sedangkan pemerintah pusat memberikan arahan yang wajib dilaksanakan, sayangnya tidak sesuai dengan kebutuhan daerah.
Akan lebih baik bila perhatian pemerintah pusat memprioritaskan kepada kebutuhan dari setiap masing-masing desa.
"Sejauh ini pemerintah baru fokus pada program pengawasan dana desa, seharusnya lebih memerhatikan persoalan pembinaan dan pemberdayaan masyarakat desa," tandas Sentot.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(TRK)