medcom.id, Jakarta: Kebijakan bidang perekonomian pemerintah Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla terus disoroti. Pemerintah diminta mengembangkan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat hingga ke pelosok Indonesia.
"Mendorong desentralisasi ekonomi ke seluruh penjuru wilayah Indonesia dengan cara pengoptimalan ekonomi kerakyatan secara berkesinambungan," kata Koordinator Pusat Aliansi BEM-Nasionalis Riyan Hidayat dalam keterangannya, 5 April 2017.
Presiden Mahasiswa UIN Jakarta itu juga mendorong pemerintah mewujudkan otoritas perpajakan yang independen, fleksibel, mandiri dan akuntabel. Sehingga, kesejahteraan masyarakat dapat terwujud.
BEM Nasionalis juga mendesak pemerintah segera mencabut izin penambangan PT. Semen Indonesia di Rembang Jawa Tengah dan PT. Bumi Suksesindo (BSI) di Banyuwangi. Mereka yakin keduanya didalangi oleh orang-orang di lingkaran kekuasaan, karena jelas merugikan masyarakat sekitar dan tidak sesuai analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).
Riyan menuturkan, BEM Nasionalis juga meminta pemerintah tegas kepada perusahaan pembakar hutan yang merugikan masyarakat dan bangsa Indonesia. "Menolak Reklamasi teluk Jakarta dengan berbagai alasannya karena berdampak bagi kerusakan lingkungan," ucap dia.
Tak hanya itu, BEM Nasionalis mendesak pemerintah lebih memperhatikan layanan kesehatan masyarakat dengan tidak pandang pilih. Pemerintah pun diminta memanfaatkan bonus demografi yang dimiliki Indonesia seoptimal mungkin.
"Mengajak seluruh entitas kebangsaan dan kenegaraan agar menjaga persatuan dan kesatuan Negara Republik Indonesia," kata dia.
Hasil kajian BEM Nasionalis dalam Rapat Kerja Strategis Nasional juga mendesak pemerintah untuk meratakan pemberian pendidikan yang berkeadilan dan berkesesuaian diseluruh Tanah Air. "Menolak menjadikan lembaga pendidikan sebagai ajang komersil karena tidak sesuai dengan amanat UUD 1945. Mendorong perbaikan sistem kampus yang ramah terhadap mahasiswa meliputi biaya kuliah, kurikulum, organisasi kemahasiswaan dan lainnya," kata dia.
Penegakan Hukum
BEM Nasionalis mendesak aparat penegak hukum bekerja secara profesional. Jangan tebang pilih dalam menegakkan hukum di Indonesia, salah satunya terkait kasus dugaan korupsi dalam proyek pengadaan kartu tanda penduduk (KTP) elektronik.
"Mendesak KPK segera menyelesaikan kasus E-KTP dan kasus lainnya dengan prinsip hukum yang berkeadilan.," tegas dia.
Ia mengingatkan soal nawa cita yang digaungkan Jokowi-JK saat kampanye Pilpres 2014. Menurut dia, keduanya gagal mengimplementasikan nawa cita tersebut.
"Rezim Jokowi adalah rezim otoriter. Yang keras bersuara harus di penjara," kata dia.
Riyan mengatakan, BEM Nasionalis menolak segala bentuk intervensi asing yang berpotensi memecah belah keutuhan NKRI, terutama persoalan Papua dan wilayah rawan lainnya.
Terkiat masalah hak asasi manusia (HAM), BEM Nasionalis mengecam keras penangkapan sejumlah aktivis dengan tuduhan makar. Menurut dia, tindakan tersebut tidak sesuai dengan HAM dan merusak iklim demokrasi serta melanggar Undang-Undang tentang kebebasan berpendapat.
medcom.id, Jakarta: Kebijakan bidang perekonomian pemerintah Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla terus disoroti. Pemerintah diminta mengembangkan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat hingga ke pelosok Indonesia.
"Mendorong desentralisasi ekonomi ke seluruh penjuru wilayah Indonesia dengan cara pengoptimalan ekonomi kerakyatan secara berkesinambungan," kata Koordinator Pusat Aliansi BEM-Nasionalis Riyan Hidayat dalam keterangannya, 5 April 2017.
Presiden Mahasiswa UIN Jakarta itu juga mendorong pemerintah mewujudkan otoritas perpajakan yang independen, fleksibel, mandiri dan akuntabel. Sehingga, kesejahteraan masyarakat dapat terwujud.
BEM Nasionalis juga mendesak pemerintah segera mencabut izin penambangan PT. Semen Indonesia di Rembang Jawa Tengah dan PT. Bumi Suksesindo (BSI) di Banyuwangi. Mereka yakin keduanya didalangi oleh orang-orang di lingkaran kekuasaan, karena jelas merugikan masyarakat sekitar dan tidak sesuai analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).
Riyan menuturkan, BEM Nasionalis juga meminta pemerintah tegas kepada perusahaan pembakar hutan yang merugikan masyarakat dan bangsa Indonesia. "Menolak Reklamasi teluk Jakarta dengan berbagai alasannya karena berdampak bagi kerusakan lingkungan," ucap dia.
Tak hanya itu, BEM Nasionalis mendesak pemerintah lebih memperhatikan layanan kesehatan masyarakat dengan tidak pandang pilih. Pemerintah pun diminta memanfaatkan bonus demografi yang dimiliki Indonesia seoptimal mungkin.
"Mengajak seluruh entitas kebangsaan dan kenegaraan agar menjaga persatuan dan kesatuan Negara Republik Indonesia," kata dia.
Hasil kajian BEM Nasionalis dalam Rapat Kerja Strategis Nasional juga mendesak pemerintah untuk meratakan pemberian pendidikan yang berkeadilan dan berkesesuaian diseluruh Tanah Air. "Menolak menjadikan lembaga pendidikan sebagai ajang komersil karena tidak sesuai dengan amanat UUD 1945. Mendorong perbaikan sistem kampus yang ramah terhadap mahasiswa meliputi biaya kuliah, kurikulum, organisasi kemahasiswaan dan lainnya," kata dia.
Penegakan Hukum
BEM Nasionalis mendesak aparat penegak hukum bekerja secara profesional. Jangan tebang pilih dalam menegakkan hukum di Indonesia, salah satunya terkait kasus dugaan korupsi dalam proyek pengadaan kartu tanda penduduk (KTP) elektronik.
"Mendesak KPK segera menyelesaikan kasus E-KTP dan kasus lainnya dengan prinsip hukum yang berkeadilan.," tegas dia.
Ia mengingatkan soal nawa cita yang digaungkan Jokowi-JK saat kampanye Pilpres 2014. Menurut dia, keduanya gagal mengimplementasikan nawa cita tersebut.
"Rezim Jokowi adalah rezim otoriter. Yang keras bersuara harus di penjara," kata dia.
Riyan mengatakan, BEM Nasionalis menolak segala bentuk intervensi asing yang berpotensi memecah belah keutuhan NKRI, terutama persoalan Papua dan wilayah rawan lainnya.
Terkiat masalah hak asasi manusia (HAM), BEM Nasionalis mengecam keras penangkapan sejumlah aktivis dengan tuduhan makar. Menurut dia, tindakan tersebut tidak sesuai dengan HAM dan merusak iklim demokrasi serta melanggar Undang-Undang tentang kebebasan berpendapat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)