Jakarta: Sebuah negara dinilai akan menghadapi tiga persoalan bila tidak memiliki sistem kesejahteraan sosial. Masyarakat merasa tidak mendapatkan proteksi dari negara.
Dosen Ilmu Pemerintahan dari Universitas Diponegoro Budi Setiyono menjelaskan persoalan pertama ialah lemahnya rasa memiliki pada negara, sehingga rakyat merasa negara merupakan beban. Budi membandingkan pembayaran pajak di Australia dan Indonesia. Di Australia, warga sadar pentingnya membayar pajak untuk mendapatkan perlindungan dari negara.
"Beda sama kita (Indonesia), Maret saat bayar pajak merasa putus asa karena tak tahu hak (kita) yang sudah diberikan negara apa (tapi harus bayar pajak)," ujar Budi dalam webinar LP3ES, Selasa, 18 Agustus 2020.
Persoalan kedua, ada kecenderungan merendahkan hukum, dari rakyat biasa hingga pejabat. Dia mencontohkan masih ada masyarakat yang membuka lapak di trotoar atau membuang sampah sembarangan. Padahal, tindakan itu melanggar aturan hukum.
"Di negara yang punya sistem kesejahteraan cenderung taat pada hukum karena itu berkaitan dengan jaminan kesejahteraan juga. Tak taat hukum berarti proteksi kesejahteraan juga hilang," kata dia.
Baca: Kemensos Berencana Bangun Fasilitas Kesejahteraan di Kaltara
Terakhir, lemahnya rasa percaya diri warga negara, termasuk dalam dunia kerja. Di Indonesia, kecenderungan menjadi wirausaha tergolong kecil. Kebanyakan masyarakat ingin menjadi aparatur sipil negara (ASN).
"Idealnya jumlah pengusaha di suatu negara 2,5-5 persen. Di negara kita sangat sedikit," tutur dia.
Jakarta: Sebuah negara dinilai akan menghadapi tiga persoalan bila tidak memiliki sistem
kesejahteraan sosial. Masyarakat merasa tidak mendapatkan proteksi dari negara.
Dosen Ilmu Pemerintahan dari Universitas Diponegoro Budi Setiyono menjelaskan persoalan pertama ialah lemahnya rasa memiliki pada negara, sehingga rakyat merasa negara merupakan beban. Budi membandingkan pembayaran pajak di Australia dan Indonesia. Di Australia, warga sadar pentingnya membayar pajak untuk mendapatkan perlindungan dari negara.
"Beda sama kita (Indonesia), Maret saat bayar pajak merasa putus asa karena tak tahu hak (kita) yang sudah diberikan negara apa (tapi harus bayar pajak)," ujar Budi dalam webinar LP3ES, Selasa, 18 Agustus 2020.
Persoalan kedua, ada kecenderungan merendahkan hukum, dari rakyat biasa hingga pejabat. Dia mencontohkan masih ada masyarakat yang membuka lapak di trotoar atau membuang sampah sembarangan. Padahal, tindakan itu melanggar aturan hukum.
"Di negara yang punya sistem kesejahteraan cenderung taat pada hukum karena itu berkaitan dengan jaminan kesejahteraan juga. Tak taat hukum berarti proteksi kesejahteraan juga hilang," kata dia.
Baca: Kemensos Berencana Bangun Fasilitas Kesejahteraan di Kaltara
Terakhir, lemahnya rasa percaya diri warga negara, termasuk dalam dunia kerja. Di Indonesia, kecenderungan menjadi wirausaha tergolong kecil. Kebanyakan masyarakat ingin menjadi aparatur sipil negara (
ASN).
"Idealnya jumlah pengusaha di suatu negara 2,5-5 persen. Di negara kita sangat sedikit," tutur dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)