Jakarta: Komisi II DPR menggelar rapat dengar pendapat membahas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Komisi dan pemerintah merumuskan opsi agar pelaksanaan Pemilu 2019 berjalan lancar.
"Sebagian besar (fraksi) melihat keputusan MK ini menganggu proses (Pemilu 2019)," kata Wakil Ketua Komisi II Mardani Ali Sera di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Senin, 15 Januari 2018.
Mardani memahami pihak penyelenggara Pemilu terutama Komisi Pemilihan Umum (KPU) sulit menerjemahkan putusan MK terutama ihwal verifikasi faktual ulang. Opsi yang ditawarkan pun rentan mendapat gugatan lain yang bisa saja lebih menghambat jadwal tahapan Pemilu 2019.
"Nah, ini yang sedang diusahakan agar ada payung hukum bagi KPU. Ada dua yang terpecah payung hukumnya tetap pakai yang lama jadi tidak perlu menyesuaikan dengan keputusan MK," papar dia.
Dalam RDP pandangan beberapa fraksi mengusulkan agar putusan MK dilakukan pada Pemilu 2024. Namun, kata Mardani, langkah itu belum disepakati lantaran menyalahi putusan yang berlakunya sejak diputuskan MK.
"KPU sendiri tidak berani untuk mengambil keputusan itu karena KPU nanti akan menjadi para pihak yang tergugat," ujar Mardani.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman mengatakan durasi waktu menjadi masalah menjalankan putusan MK ihwal verifikasi faktual ulang. Padahal, tahapan yang telah masuk penjadwalan berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2017, KPU mesti menetapkan parpol peserta Pemilu 2019 pada 17 Februari 2019.
"Dampak putusan MK, maka 12 parpol harus dilakukan verifikasi faktual. Waktu pelaksanaan verifikasi sangat terbatas," ujar Arief.
Selain soal waktu, lanjut Arief, verifikasi faktual ulang juga berdampak pada persoalan anggaran. Sebab, anggaran agenda yang menghabiskan duit senilai Rp66,3 miliar tersebut belum tercakup dalam daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) 2018.
Arief merinci, alokasi kebutuhan anggaran terebut Rp314 juta digunakan untuk tingkat provinsi dan anggaran senilai Rp66 juta digunakan untuk tingkat kabupaten.
"Anggaran terbesar untuk tenaga verifikator, uang harian dan transport," ucap Arief.
Jakarta: Komisi II DPR menggelar rapat dengar pendapat membahas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Komisi dan pemerintah merumuskan opsi agar pelaksanaan Pemilu 2019 berjalan lancar.
"Sebagian besar (fraksi) melihat keputusan MK ini menganggu proses (Pemilu 2019)," kata Wakil Ketua Komisi II Mardani Ali Sera di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Senin, 15 Januari 2018.
Mardani memahami pihak penyelenggara Pemilu terutama Komisi Pemilihan Umum (KPU) sulit menerjemahkan putusan MK terutama ihwal verifikasi faktual ulang. Opsi yang ditawarkan pun rentan mendapat gugatan lain yang bisa saja lebih menghambat jadwal tahapan Pemilu 2019.
"Nah, ini yang sedang diusahakan agar ada payung hukum bagi KPU. Ada dua yang terpecah payung hukumnya tetap pakai yang lama jadi tidak perlu menyesuaikan dengan keputusan MK," papar dia.
Dalam RDP pandangan beberapa fraksi mengusulkan agar putusan MK dilakukan pada Pemilu 2024. Namun, kata Mardani, langkah itu belum disepakati lantaran menyalahi putusan yang berlakunya sejak diputuskan MK.
"KPU sendiri tidak berani untuk mengambil keputusan itu karena KPU nanti akan menjadi para pihak yang tergugat," ujar Mardani.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman mengatakan durasi waktu menjadi masalah menjalankan putusan MK ihwal verifikasi faktual ulang. Padahal, tahapan yang telah masuk penjadwalan berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2017, KPU mesti menetapkan parpol peserta Pemilu 2019 pada 17 Februari 2019.
"Dampak putusan MK, maka 12 parpol harus dilakukan verifikasi faktual. Waktu pelaksanaan verifikasi sangat terbatas," ujar Arief.
Selain soal waktu, lanjut Arief, verifikasi faktual ulang juga berdampak pada persoalan anggaran. Sebab, anggaran agenda yang menghabiskan duit senilai Rp66,3 miliar tersebut belum tercakup dalam daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) 2018.
Arief merinci, alokasi kebutuhan anggaran terebut Rp314 juta digunakan untuk tingkat provinsi dan anggaran senilai Rp66 juta digunakan untuk tingkat kabupaten.
"Anggaran terbesar untuk tenaga verifikator, uang harian dan transport," ucap Arief.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)