Jakarta: Wacana pembentukan koalisi besar partai politik jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 dinilai pragmatis. Selain bertujuan memenangkan kontestasi pesta demokrasi, koalisi besar dinilai mencederai demokrasi dan memperkeruh polaritas di tengah masyarakat.
"Kalau saya kok enggak tertarik. Untuk apa dibentuk koalisi besar? Karena nanti setelah presiden terpilih itu akan dibangun koalisi kedua," ujar Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago dalam acara Polemik Trijaya bertajuk Teka-teki Koalisi, Sabtu, 8 April 2023.
Lebih lanjut, ia menyayangkan jika ada aktor di balik pembentukan koalisi besar partai politik yang ujungnya mempertemukan dua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden akan mempertajam keterbelahan publik. Apalagi, dua edisi pemilihan presiden sebelumnya juga hanya diikuti dua calon saja.
"Menurut saya kita kok enggak mau belajar dari peristiwa masa lalu. Itu yang menimbulkan politik identisas, keterbelahan publik, merusak tenun kebangsaan," jelasnya.
Diskursus koalisi0koalisi besar dalam konteks politik Indonesia belakangan ini merujuk penggabungan antara Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) dan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). KKIR beranggotakan Partai Gerindra dan PKB, sementara anggota KIB adalah Partai Golkar, PAN, dan PPP.
Terbentuknya dua poros dalam Pilpres mendatang dimungkinkan jika PDI Perjuangan bergabung dengan koalisi besar. Adapun lawan dari koalisi besar adalah Koalisi Perubahan dan Persatuan (KPP) yang beranggotakan Partai NasDem, Partai Demokrat, dan PKS.
Dalam acara yang sama, politisi Partai Demokrat Herzaky Mahendra tidak menyoalkan jika koalisi besar pada akhirnya jadi terbentuk. Menurutnya, itu adalah langkah yang sangat positif dan KPP menegaskan siap bertarung pada Pemilu 2024.
Kendati demikian, pihaknya juga terbuka jika ada partai politik yang ingin bergabung dengan KPP. Namun, partai tersebut harus mengikuti aturan main yang dibentuk oleh tiga partai pendiri KPP, salah satunya adalah komitmen mengusung Anies Baswedan sebagai calon presiden.
"Yang jelas komitmennya harus sama, komitmen perubahan. Capresnya adalah Anies Haswedan dan cawapresnya adalah yang dipilih oleh Mas Anies Baswedan sesuai dengan isi piagam," terangnya.
"Jadi jangan kemudian mau gabung lalu pasang syarat ini itu," kata Herzaky.
Terpisah, Presiden Partai Buruh Said Iqbal menolak ide pembentukan koalisi besar. Ide tersebut menurutnya akan mencederai demokrasi yang sehat dan bersih karena cenderung membatasi jumlah capres dan cawapres. Ia juga menyebut partai politik yang membuat koalisi besar arogan karena tidak pernah bertanya pada konstituen.
Pembentukan koalisi besar yang melahirkan dua pasang capres dan cawapres, lanjut Iqbal, menyempurnakan ambang batas presiden sebsar 20 persen. "Bisa dibilang, ini mengarah pada sistem demokrasi terpimpin yang dikomandani oleh partai politik," pungkasnya.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
Jakarta: Wacana pembentukan koalisi besar partai politik jelang Pemilihan Umum
(Pemilu) 2024 dinilai pragmatis. Selain bertujuan memenangkan kontestasi pesta demokrasi, koalisi besar dinilai mencederai demokrasi dan memperkeruh polaritas di tengah masyarakat.
"Kalau saya kok enggak tertarik. Untuk apa dibentuk koalisi besar? Karena nanti setelah presiden terpilih itu akan dibangun
koalisi kedua," ujar Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago dalam acara Polemik Trijaya bertajuk Teka-teki Koalisi, Sabtu, 8 April 2023.
Lebih lanjut, ia menyayangkan jika ada aktor di balik pembentukan koalisi besar partai politik yang ujungnya mempertemukan dua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden akan mempertajam keterbelahan publik. Apalagi, dua edisi pemilihan presiden sebelumnya juga hanya diikuti dua calon saja.
"Menurut saya kita kok enggak mau belajar dari peristiwa masa lalu. Itu yang menimbulkan politik identisas, keterbelahan publik, merusak tenun kebangsaan," jelasnya.
Diskursus koalisi0koalisi besar dalam konteks politik Indonesia belakangan ini merujuk penggabungan antara Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) dan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). KKIR beranggotakan Partai Gerindra dan PKB, sementara anggota KIB adalah Partai Golkar, PAN, dan PPP.
Terbentuknya dua poros dalam Pilpres mendatang dimungkinkan jika PDI Perjuangan bergabung dengan koalisi besar. Adapun lawan dari koalisi besar adalah Koalisi Perubahan dan Persatuan (KPP) yang beranggotakan Partai NasDem, Partai Demokrat, dan PKS.
Dalam acara yang sama, politisi Partai Demokrat Herzaky Mahendra tidak menyoalkan jika koalisi besar pada akhirnya jadi terbentuk. Menurutnya, itu adalah langkah yang sangat positif dan KPP menegaskan siap bertarung pada Pemilu 2024.
Kendati demikian, pihaknya juga terbuka jika ada partai politik yang ingin bergabung dengan KPP. Namun, partai tersebut harus mengikuti aturan main yang dibentuk oleh tiga partai pendiri KPP, salah satunya adalah komitmen mengusung Anies Baswedan sebagai calon presiden.
"Yang jelas komitmennya harus sama, komitmen perubahan. Capresnya adalah Anies Haswedan dan cawapresnya adalah yang dipilih oleh Mas Anies Baswedan sesuai dengan isi piagam," terangnya.
"Jadi jangan kemudian mau gabung lalu pasang syarat ini itu," kata Herzaky.
Terpisah, Presiden Partai Buruh Said Iqbal menolak ide pembentukan koalisi besar. Ide tersebut menurutnya akan mencederai demokrasi yang sehat dan bersih karena cenderung membatasi jumlah capres dan cawapres. Ia juga menyebut partai politik yang membuat koalisi besar arogan karena tidak pernah bertanya pada konstituen.
Pembentukan koalisi besar yang melahirkan dua pasang capres dan cawapres, lanjut Iqbal, menyempurnakan ambang batas presiden sebsar 20 persen. "Bisa dibilang, ini mengarah pada sistem demokrasi terpimpin yang dikomandani oleh partai politik," pungkasnya.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADN)