Ketua Komite II DPD Yorrys Raweyai. MI/Rommy Pujianto
Ketua Komite II DPD Yorrys Raweyai. MI/Rommy Pujianto

Kisruh Pemekaran, Pemerintah Diminta Bangun Komunikasi dengan Masyarakat Papua

Achmad Zulfikar Fazli • 12 Maret 2022 11:24
Jakarta: Isu tentang Otonomi Khusus Papua jilid II masih menuai polemik. Salah satu poin yang mengamanahkan pemekaran daerah menimbulkan perdebatan di masyarakat.
 
Ratusan mahasiswa di Jayapura sempat menggelar demonstrasi penolakan atas rencana pemekaran. Demonstrasi yang digelar di tiga titik, yaitu di Kampus Uncen Perumnas III Waena, depan Jalan SPG Teruna Bakti, dan Kampus Uncen Abepura sempat melumpuhkan aktivitas masyarakat di Jayapura. Isu pemekaran yang berimplikasi pada lahirnya daerah otonomi baru (DOB) dipandang akan memberi ekses negatif pada orang asli Papua (OAP).
 
Ketua MPR for Papua, Yorrys Raweyai, mengatakan pemerintah pusat harus menyosialisasikan isu dan kebijakan di Papua dengan baik dan intensif untuk mencegah polemik. Berbagai perbedaan pandangan tentang UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2002 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, maupun peraturan pemerintah turunan dari UU tersebut harus dikomunikasikan dengan baik dan bijak.

Menurut Yorrys, pemerintah pusat maupun masyarakat Papua sesungguhnya berkeinginan sama. Yakni, menghadirkan tatanan kehidupan yang lebih baik dari masa lalu yang terabaikan.   
 
“Diperlukan kesamaan visi dan paradigma tentang bagaimana melihat persoalan secara komprehensif. Kecurigaan-kecurigaan yang selama ini bermunculan telah menjelma menjadi situasi yang kontraprodiktif yang justru menyebabkan masyarakat menjadi pihak yang dikorbankan," ujar Yorrys, Jakarta, Sabtu, 12 Maret 2022.
 
Yorrys menilai pemerintah daerah saat ini perlu fokus menyusun peraturan daerah khusus (Perdasus) dan peraturan daerah provinsi (Perdasi) yang merupakan turunan dari PP dari pemerintah pusat. Perdasi dan Perdasus itu yang alkan menjadi instrumen sejauh mana penerapan Otonomi Khusus jilid II berjalan konsisten.
 
Kedua aturan itu merupakan rentang kendali bagi masyarakat dan pemerintah untuk bersama melihat perkembangan lanjutan dari berbagai hasil kebijakan. Misalnya, kebijakan pendidikan gratis dari tingkat terendah hingga tertinggi bagi orang asli Papua sebagaimana tercantum dalam PP, mekanismenya harus dijelaskan secara rinci dalam Perdasi dan Perdasus
 
“Khususnya terkait dengan sumber pendanaan, kebijakan lembaga pendidikan tingginya, dan lain sebagainya. Jika tidak dijelaskan, maka implementasinya akan menuai kesemrawutan akibat ketidaksamaan visi dan misi," jelas Yorrys.
 
Baca: Demo Mahasiswa Tolak Pemekaran Papua Ricuh, 1 Polisi Terluka
 
Yorrys memahami mengubah kebijakan tidak mudah dan akan ada banyak penentangan dan penolakan. Namun, semuanya harus didialogkan dengan komprehensif.
 
Menurut dia, persoalan Papua sudah berlangsung dalam rentang waktu puluhan tahun. Menyelesaikannnya tidak mungkin dalam waktu singkat, seperti membalik telapak tangan.
 
Dia meminta ego-ego sektoral dari sekian banyak kepentingan di Tanah Papua, baik kepentingan kultur, tradisi, budaya, ekonomi, hingga politik, harus sedapat mungkin dikomunikasikan dengan baik.
 
“Memang pelik dan ruwet. Namun tanpa kesadaran dan komunikasi aktif dan intens, kita hanya akan melahirkan persoalan baru di masa yang akan datang. Dan, rakyat Papua yang akan menjadi korban," ujar Ketua Komite II DPD itu.
 
Sebelumnya, Ketua Komnas HAM perwakilan Papua, Firtz Ramandey, menyebut kebijakan pemekaran harus dipertimbangkan dengan matang. Aspek-aspek kemanusiaan sebagai subjek pembangunan harus dipikirkan dan menjadi piranti penting di dalam isu tersebut. Diperlukan korelasi efektif antara kebijakan pemekaran dan upaya maksimal untuk merespons berbagai isu pelanggaran HAM di Papua.
 
“Eskalasi pelanggaran HAM yang semakin meningkat paska kebijakan Otonomi Khusus Jilid II diterbitkan, harus menjadi perhatian penting. Jangan sampai pemekaran ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masalah yang berlangsung selama ini," kata Ketua Komnas HAM Perwakilan Papua, Firtz Ramandey, Rabu, 9 Maret 2022.
 
Menurut dia, sebaiknya pemekaran wilayah harus menjadi bagian daripada solusi persoalan HAM, bukan memantik persoalan-persoalan baru di masa yang akan datang.
 
Hal senada disampaikan perwakilan mahasiswa Papua. Mereka memandang kebijakan pemekaran hanya akan melahirkan persoalan baru di Tanah Papua. Pemekaran cenderung mengkanalisasi kompleksitas persoalan sebatas anggaran dan keuangan semata. Padahal, akar persoalan selama ini tidak lepas dari penghargaan atas harkat, derajat, dan eksistensi orang asli Papua.
 
“UU Otsus Jilid II tidak melahirkan solusi persoalan di Papua. Sebaliknya, isu-isu yang tercantum dalam UU ini hanya memenuhi hasrat pemeriantah pusat yang hendak menarik kewenangan daerah ke pusat," ujar perwakilan organisasi HMI Papua, Nawal Syarif.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan