medcom.id, Jakarta: Presiden pertama Republik Indonesia Ir Soekarno menabalkan pentingnya pembangunan karakter bangsa. "Tidak ada pembangunan bangsa tanpa pembangunan karakter bangsa" begitu kata Bung Karno. Hal serupa dikatakan Mahatma Gandhi dari India: "pendidikan tanpa karakter adalah satu dari tujuh "dosa-dosa berat" dari sebuah masyarakat (seven deadly sins of society)."
Menyadari hal itu, sejak kampanye Pemilu, Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan perlunya revolusi mental bangsa. Agar tidak asal bungi, Jokowi-JK mencantumkan revolusi mental dalam Nawacita dan visi-misi saat Pilpres 2014. Dalam berbagai kesempatan di awal pemerintahan, Jokowi selalu menyelipkan petuah tentang pentingnya membangun bangsa dengan melakukan revolusi mental.
Setahun usia pemerintahan Jokowi-JK, revolusi mental dan pembangunan karakter bangsa yang digaung-gaungkan dalam Nawacita masih sebatas slogan. Jokowi dinilai belum mampu meletakkan dasar-dasar pembangunan karakter bangsa, baik dalam lembaga pendidikan maupun kehidupan masyarakat sehari-hari.
Penilaian itu muncul dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk "Setahun Jokowi-JK" yang digelar Media Research Center (MRC), lembaga riset berbasis media di bawah naungan Media Group, di Kompleks Media Group, Kedoya, Jakarta Barat, awal bulan ini.
Muncul tiga catatan penting kinerja pembangunan karakter bangsa setahun kinerja Jokowi-JK. Pertama, dalam pendidikan Indonesia tertinggal jauh dari negeri tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. Capaian rata-rata pendidikan di Indonesia hanya kelas delapan atau dua SMP. Sedangkan Malaysia setara kelas III SMA dan Singapura D1. Kedua, aspek mutu, pendidikan karakter. Ketiga, mandulnya strategi kebudayaan.
Pergaulan Bebas dan Kekerasan
Hal yang membuat miris adalah pergaulan bebas generasi muda. Perilaku seks bebas sudah merambah remaja sekolah menengah pertama (SMP), bahkan hingga sekolah dasar (SD). Firdaus, perwakilan dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Negeri Jakarta, mengatakan, pendidikan harus kembali menekankan pentingnya pendidikan moral dan budi pekerti. "Yang sangat mengkhawatirkan justru pergaulan bebas itu bukan lagi pada anak SMA, tapi pada tingkat SD dan SMP," ujar Firdaus.
Agar moral generasi muda tidak semakin luntur, dia mendesak pemerintah kembali menggalakkan pendidikan moral. "Hari ini pendidikan kita harus fokus pada penanaman moral. Kalau 20 tahun lalu ada yang namanya PMP (Pendidikan Moral Pancasila) dan lain-lain yang fokus pada penanaman moral, hari ini kita tak mendapatkan itu," kata dia.
Sementara itu, guru SMAN 13 Jakarta sekaligus Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia, Retno Listyarti menilai, terkikisnya moral generasi muda bukan hanya karena faktor pergaulan bebas. Ada penyebab lain, seperti nilai-nilai kejujuran yang justru tak ditanamkan para guru terhadap siswa. Misalnya, kecurangan Ujian Nasional di sekolah-sekolah yang dibiarkan semakin sistemik oleh para guru.
"Runtuhnya moral karena kecurangan UN masih terjadi, bahkan semakin lama semakin sistemik, massif dan canggih meski UN tak lagi jadi penentu kelulusan. Pendidikan semakin dijauhkan dari tujuannya, sejatinya pendidikan mempertajam pikiran dan menghaluskan perasaan," tegas Retno.
Retno juga menceritakan perihal kekerasan dan sikap intoleransi yang tumbuh subur di dunia pendidikan. Menurut dia, memutus mata rantai kekerasan tidak bisa dilakukan sendiri oleh kepala sekolah. "Saya pernah melakukan itu di sebuah sekolah, ketika saya menjadi kepala sekolah. Apa yang terjadi, atasan saya (Diknas) tidak sama dengan saya. Akibatnya sangat luar biasa," jelas Retno.
Perlawanan balik menyerang dia. "Murid-murid saya yang kaya-kaya membawa lawyer-lawyernya. Lawyer-lawyer ini mengancam. Para pelaku kekerasan tidak mendapatkan sanksi layak. Akibatnya mereka meningkatkan kekerasannya, mengulangi dan menjadi contoh bagi yang lain. Akhirnya budaya kekerasan semakin massif," turur Retno.
Infografis,--Dok/Metrotvnews.com
Dia menyarankan pemerintahan Jokowi-JK melakukan pemetaan terhadap akar pokok permasalah pendidikan, terutama mengenai pendidikan karakter dan moral. "Berbagai macam aturan dan kebijakan pendidikan yang menyuburkan sektarianisme, pengutamaan pada kegiatan budaya agama mayoritas, perilaku diskriminatif dan anti-keragaman, terutama di sekolah-sekolah negeri harus dihapus," jelas Retno.
Hal senada dikatakan Ketua PP Muhammadiyah Hajriyanto Y Thohari. Program Nawacita Jokowi gagal meletakkan nilai toleransi di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Usaha membangun kebhinnekaan tidak nampak. "Saya rasa iklim yang hendak diciptakan oleh Nawacita tidak berhasil menjadikan masyarakat makin toleran, makin non-sektarian," tegas Hajriyanto.
Strategi kebudayaan mandul
Sorotan tajam juga mengarah pada strategi kebudayaan. Pemerintahan saat ini dinilai terjebak pada slogan. "Kita tidak melihat adanya strategi kebudayaan untuk mencapai tujuan atau bahkan target dari Nawacita, revolusi mental. Di samping itu kekhawatiran semuanya itu terjebak hanya sebagai slogan, menjadi sangat besar," ujar Hajriyanto.
Hal senada dikatakan sastrawan Yudhistisa Massardi. Menurut Yudhistira, seharusnya gagasan revolusi mental Jokowi menjadi modal awal. Namun, pemerintahan ini justru disibukkan oleh dinamika politik. Karena itu, dia menyarankan agar Jokowi memprioritaskan program revolusi mental dan pembangunan karakter bangsa.
Program ini akan merombak ulang cara berpikir, cara kerja dan cara hidup yang lebih jujur, lebih disiplin, lebih santun dan peduli. Sehingga program ini menjadi landasan dan pijakan kembali terhadap cita-cita awal untuk menjadi bangsa besar dan berkarakter. "Revolusi mental harus menjadi program prioritasnya kini," kata Yudhistira.
I Sandyawan Sumardi menilai, konsep Nawacita dan Trisakti yang ingin diimplementasikan Jokowi dan kebinetnya tak ubahnya superhero yang utopis. Pemerintahan nampak semakin berjarak dengan rakyat karena tak mampu mengejawantahkan visi-misinya.
"Rakyat sangat tidak suka melihat wajah Pak Jokowi sebagai 'makhluk politik' yang penuh dengan kerutan wajah topeng politis yang tegang karena jadi sandaran kekuasaan politik sana-sini," tutur I Sandyawan.
Pemimpin Pondok Pesantren Al-Mizan, Majalengka, KH Maman Imanulhaq, menilai pemerintah gagal menanamkan nilai-nilai Pancasila secara konprehensif. Terutama di kalangan birokrasi. "Pemahaman yang sempit tentang bernegara, bernegara itu berkonstitusi seperti dalam pembukaan UUD 1945. Seharusnya Pancasila itu diimplementasikan secara konprehensif," kata anggota Komisi VIII DPR itu.
Bahkan, kata cendikiawan Komaruddin Hidayat, Pancasila yang menjadi asas negara hanya berhenti sebagai ideologi penegak. Seharusnya menjadi acuan nilai prilaku bangsa ini. "Bukan lagi sebagai living values, bukan sebagai acuan nilai perilaku. Padahal, itulah akar tunggang identitas bangsa," tegas dia.
Untungnya, kata Guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra, pemerintahan saat ini memiliki modal dasar yang cukup kuat untuk merubah itu semua. Yaitu kecintaan rakyat terhadap Jokowi untuk merajut kembali kebudayaan Indonesia.
"Kita punya modal sosial yang kuat, yang paling kuat saya kira civil society yang vibran, rakyat yang religious based, juga yang mengakar ke LSM dan NGO. Saya kira ini memberikan harapan," kata Azyumardi.
Karena itu, Azzumardi menyarankan pemerintahan Jokowi-JK agar kembali memperkuat nilai-nilai ke-Indonesiaan. Caranya, mensosalisasikan kembali cita-cita Pancasila, UUD 45 kepada seluruh warga Indonesia. Agar persatuan Indonesia semakin kuat.
"Bagi saya, resosialisasi nilai-nilai ke-Indonesiaan itu sangat penting. Bagaimana cita-cita Pancasila, UUD 45, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika itu kemudian dibicarakan kembali menjadi wacana publik, kemudian ada usaha untuk mendekatkan kembali tiap-tiap sila itu dengan entitas yang ada," kata Azyumardi.
medcom.id, Jakarta: Presiden pertama Republik Indonesia Ir Soekarno menabalkan pentingnya pembangunan karakter bangsa. "Tidak ada pembangunan bangsa tanpa pembangunan karakter bangsa" begitu kata Bung Karno. Hal serupa dikatakan Mahatma Gandhi dari India: "pendidikan tanpa karakter adalah satu dari tujuh "dosa-dosa berat" dari sebuah masyarakat (seven deadly sins of society)."
Menyadari hal itu, sejak kampanye Pemilu, Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan perlunya revolusi mental bangsa. Agar tidak asal bungi, Jokowi-JK mencantumkan revolusi mental dalam Nawacita dan visi-misi saat Pilpres 2014. Dalam berbagai kesempatan di awal pemerintahan, Jokowi selalu menyelipkan petuah tentang pentingnya membangun bangsa dengan melakukan revolusi mental.
Setahun usia pemerintahan Jokowi-JK, revolusi mental dan pembangunan karakter bangsa yang digaung-gaungkan dalam Nawacita masih sebatas slogan. Jokowi dinilai belum mampu meletakkan dasar-dasar pembangunan karakter bangsa, baik dalam lembaga pendidikan maupun kehidupan masyarakat sehari-hari.
Penilaian itu muncul dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk "Setahun Jokowi-JK" yang digelar Media Research Center (MRC), lembaga riset berbasis media di bawah naungan Media Group, di Kompleks Media Group, Kedoya, Jakarta Barat, awal bulan ini.
Muncul tiga catatan penting kinerja pembangunan karakter bangsa setahun kinerja Jokowi-JK. Pertama, dalam pendidikan Indonesia tertinggal jauh dari negeri tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. Capaian rata-rata pendidikan di Indonesia hanya kelas delapan atau dua SMP. Sedangkan Malaysia setara kelas III SMA dan Singapura D1. Kedua, aspek mutu, pendidikan karakter. Ketiga, mandulnya strategi kebudayaan.
Pergaulan Bebas dan Kekerasan
Hal yang membuat miris adalah pergaulan bebas generasi muda. Perilaku seks bebas sudah merambah remaja sekolah menengah pertama (SMP), bahkan hingga sekolah dasar (SD). Firdaus, perwakilan dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Negeri Jakarta, mengatakan, pendidikan harus kembali menekankan pentingnya pendidikan moral dan budi pekerti. "Yang sangat mengkhawatirkan justru pergaulan bebas itu bukan lagi pada anak SMA, tapi pada tingkat SD dan SMP," ujar Firdaus.
Agar moral generasi muda tidak semakin luntur, dia mendesak pemerintah kembali menggalakkan pendidikan moral. "Hari ini pendidikan kita harus fokus pada penanaman moral. Kalau 20 tahun lalu ada yang namanya PMP (Pendidikan Moral Pancasila) dan lain-lain yang fokus pada penanaman moral, hari ini kita tak mendapatkan itu," kata dia.
Sementara itu, guru SMAN 13 Jakarta sekaligus Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia, Retno Listyarti menilai, terkikisnya moral generasi muda bukan hanya karena faktor pergaulan bebas. Ada penyebab lain, seperti nilai-nilai kejujuran yang justru tak ditanamkan para guru terhadap siswa. Misalnya, kecurangan Ujian Nasional di sekolah-sekolah yang dibiarkan semakin sistemik oleh para guru.
"Runtuhnya moral karena kecurangan UN masih terjadi, bahkan semakin lama semakin sistemik, massif dan canggih meski UN tak lagi jadi penentu kelulusan. Pendidikan semakin dijauhkan dari tujuannya, sejatinya pendidikan mempertajam pikiran dan menghaluskan perasaan," tegas Retno.
Retno juga menceritakan perihal kekerasan dan sikap intoleransi yang tumbuh subur di dunia pendidikan. Menurut dia, memutus mata rantai kekerasan tidak bisa dilakukan sendiri oleh kepala sekolah. "Saya pernah melakukan itu di sebuah sekolah, ketika saya menjadi kepala sekolah. Apa yang terjadi, atasan saya (Diknas) tidak sama dengan saya. Akibatnya sangat luar biasa," jelas Retno.
Perlawanan balik menyerang dia. "Murid-murid saya yang kaya-kaya membawa lawyer-lawyernya. Lawyer-lawyer ini mengancam. Para pelaku kekerasan tidak mendapatkan sanksi layak. Akibatnya mereka meningkatkan kekerasannya, mengulangi dan menjadi contoh bagi yang lain. Akhirnya budaya kekerasan semakin massif," turur Retno.
Infografis,--Dok/Metrotvnews.com
Dia menyarankan pemerintahan Jokowi-JK melakukan pemetaan terhadap akar pokok permasalah pendidikan, terutama mengenai pendidikan karakter dan moral. "Berbagai macam aturan dan kebijakan pendidikan yang menyuburkan sektarianisme, pengutamaan pada kegiatan budaya agama mayoritas, perilaku diskriminatif dan anti-keragaman, terutama di sekolah-sekolah negeri harus dihapus," jelas Retno.
Hal senada dikatakan Ketua PP Muhammadiyah Hajriyanto Y Thohari. Program Nawacita Jokowi gagal meletakkan nilai toleransi di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Usaha membangun kebhinnekaan tidak nampak. "Saya rasa iklim yang hendak diciptakan oleh Nawacita tidak berhasil menjadikan masyarakat makin toleran, makin non-sektarian," tegas Hajriyanto.
Strategi kebudayaan mandul
Sorotan tajam juga mengarah pada strategi kebudayaan. Pemerintahan saat ini dinilai terjebak pada slogan. "Kita tidak melihat adanya strategi kebudayaan untuk mencapai tujuan atau bahkan target dari Nawacita, revolusi mental. Di samping itu kekhawatiran semuanya itu terjebak hanya sebagai slogan, menjadi sangat besar," ujar Hajriyanto.
Hal senada dikatakan sastrawan Yudhistisa Massardi. Menurut Yudhistira, seharusnya gagasan revolusi mental Jokowi menjadi modal awal. Namun, pemerintahan ini justru disibukkan oleh dinamika politik. Karena itu, dia menyarankan agar Jokowi memprioritaskan program revolusi mental dan pembangunan karakter bangsa.
Program ini akan merombak ulang cara berpikir, cara kerja dan cara hidup yang lebih jujur, lebih disiplin, lebih santun dan peduli. Sehingga program ini menjadi landasan dan pijakan kembali terhadap cita-cita awal untuk menjadi bangsa besar dan berkarakter. "Revolusi mental harus menjadi program prioritasnya kini," kata Yudhistira.
I Sandyawan Sumardi menilai, konsep Nawacita dan Trisakti yang ingin diimplementasikan Jokowi dan kebinetnya tak ubahnya superhero yang utopis. Pemerintahan nampak semakin berjarak dengan rakyat karena tak mampu mengejawantahkan visi-misinya.
"Rakyat sangat tidak suka melihat wajah Pak Jokowi sebagai 'makhluk politik' yang penuh dengan kerutan wajah topeng politis yang tegang karena jadi sandaran kekuasaan politik sana-sini," tutur I Sandyawan.
Pemimpin Pondok Pesantren Al-Mizan, Majalengka, KH Maman Imanulhaq, menilai pemerintah gagal menanamkan nilai-nilai Pancasila secara konprehensif. Terutama di kalangan birokrasi. "Pemahaman yang sempit tentang bernegara, bernegara itu berkonstitusi seperti dalam pembukaan UUD 1945. Seharusnya Pancasila itu diimplementasikan secara konprehensif," kata anggota Komisi VIII DPR itu.
Bahkan, kata cendikiawan Komaruddin Hidayat, Pancasila yang menjadi asas negara hanya berhenti sebagai ideologi penegak. Seharusnya menjadi acuan nilai prilaku bangsa ini. "Bukan lagi sebagai living values, bukan sebagai acuan nilai perilaku. Padahal, itulah akar tunggang identitas bangsa," tegas dia.
Untungnya, kata Guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra, pemerintahan saat ini memiliki modal dasar yang cukup kuat untuk merubah itu semua. Yaitu kecintaan rakyat terhadap Jokowi untuk merajut kembali kebudayaan Indonesia.
"Kita punya modal sosial yang kuat, yang paling kuat saya kira civil society yang vibran, rakyat yang religious based, juga yang mengakar ke LSM dan NGO. Saya kira ini memberikan harapan," kata Azyumardi.
Karena itu, Azzumardi menyarankan pemerintahan Jokowi-JK agar kembali memperkuat nilai-nilai ke-Indonesiaan. Caranya, mensosalisasikan kembali cita-cita Pancasila, UUD 45 kepada seluruh warga Indonesia. Agar persatuan Indonesia semakin kuat.
"Bagi saya, resosialisasi nilai-nilai ke-Indonesiaan itu sangat penting. Bagaimana cita-cita Pancasila, UUD 45, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika itu kemudian dibicarakan kembali menjadi wacana publik, kemudian ada usaha untuk mendekatkan kembali tiap-tiap sila itu dengan entitas yang ada," kata Azyumardi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MBM)