Jakarta: Kuasa Hukum Kementerian Hukum dan HAM, I Wayan Sudirta, mengaku menghargai pendapat Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang menyebut pencabutan status badan hukum HTI melanggar kebebasan berserikat dan hak asasi.
Meski begitu, ia menantang HTI untuk membuktikan bahwa langkah pemerintah salah telah mencabut status badan hukum organisasi tersebut. Ia ingin HTI membuktikan di mana letak pelanggaran kebebasan berserikat dan hak asasi yang dilakukan pemerintah.
"Silakan bicara, tapi saya kecewa kenapa di pengadilan dinamika diskusi dan dialog itu tidak menyangkut SK (pembubaran HTI), padahal SK yang digugat. Tunjukkan di mana kesalahan pemerintah karena kami yakin SK dibuat sudah memenuhi syarat," ungkapnya, dalam Prime Talk, Kamis, 8 Februari 2018.
Wayan mengatakan penerbitan Surat Keputusan (SK) pembubaran dan pencabutan status badan hukum HTI sudah memenuhi tiga syarat; dibuat oleh pejabat berwenang, sesuai dengan undang-undang, dan substansinya sudah memenuhi.
Jika memang HTI menghendaki pencabutan SK tersebut, yang perlu dilakukan tinggal membuktikan bahwa SK tidak dibuat oleh pejabat berwenang. Tidak ada undang-undang yang dilanggar dan substansi dasarnya tak memenuhi.
"Sayangnya bukti-bukti dan saksi serta ahli yang dihadirkan di sidang tidak menyentuh itu. Bahkan, dua ahli yang dihadirkan pada sidang, saat kami tanya, dia tidak tahu kegiatan HTI itu apa," kata Wayan.
Wayan mengulas sidang gugatan HTI terhadap Kemenkum HAM yang sudah beberapa kali digelar di Pengadilan Tata Usaha Negara. Menurutnya, ahli yang dihadirkan penggugat tidak bisa menjelaskan apakah NKRI dan Pancasila masih ada atau tidak.
Ahli justru menjelaskan konsep khilafah secara teori yang jauh substansinya dari gugatan. Padahal, ia diminta hadir untuk memberikan penjelasan terkait pembubaran dan pencabutan status badan hukum HTI.
"Pembicaraannya tidak menyentuh substansi gugatan. Karena itu, bagaimana bisa bicara hak asasi tapi mengajukan bukti, saksi, dan ahli yang tidak bisa membela hak asasi," katanya.
Wayan pun mempertanyakan siapa oknum yang menyebut pencabutan status badan hukum dan pembubaran HTI sama dengan merenggut hak asasi.
Sebab, jika dikaitkan dengan buku Taqiyyudin an-Nabhani yang menjadi dasar HTI menyebut bahwa hak asasi menempatkan perempuan tidak diperbolehkan menjadi pemimpin, bahasa harus Arab dan nonmuslim tak punya hak pilih.
"Kalau HTI betul mengisukan hak asasi, kenapa HTI mengedarkan buku yang di dalamnya karangan Taqiyyudi an-Nabhani? Kenapa di 20 negara selain Indonesia, HTI dibubarkan? Apakah itu dikatakan hak asasinya tidak ada?" kata Wayan.
Senada dengan Wayan, cendekiawan muslim Azyumardi Azra mengatakan tidak ada kebebasan yang mutlak, termasuk dalam sistem demokrasi.
Yang ada adalah demokrasi dibajak oleh oknum untuk tujuan tertentu yang kemudian melindas demokrasi dan hak asasi manusia yang sebenarnya.
Pengalaman di banyak negara, terutama yang mayoritas penduduknya muslim, kelompok yang memiliki perbedaan ideologi dengan tujuan asal negara, menggunakan demokrasi dan hak asasi sebagai tameng.
"Demokrasi memang bisa beroperasi, tapi pada gilirannya dibajak untuk kepentingan mereka sendiri. Inilah yang harus diantisipasi," jelasnya.
Jakarta: Kuasa Hukum Kementerian Hukum dan HAM, I Wayan Sudirta, mengaku menghargai pendapat Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang menyebut pencabutan status badan hukum HTI melanggar kebebasan berserikat dan hak asasi.
Meski begitu, ia menantang HTI untuk membuktikan bahwa langkah pemerintah salah telah mencabut status badan hukum organisasi tersebut. Ia ingin HTI membuktikan di mana letak pelanggaran kebebasan berserikat dan hak asasi yang dilakukan pemerintah.
"Silakan bicara, tapi saya kecewa kenapa di pengadilan dinamika diskusi dan dialog itu tidak menyangkut SK (pembubaran HTI), padahal SK yang digugat. Tunjukkan di mana kesalahan pemerintah karena kami yakin SK dibuat sudah memenuhi syarat," ungkapnya, dalam
Prime Talk, Kamis, 8 Februari 2018.
Wayan mengatakan penerbitan Surat Keputusan (SK) pembubaran dan pencabutan status badan hukum HTI sudah memenuhi tiga syarat; dibuat oleh pejabat berwenang, sesuai dengan undang-undang, dan substansinya sudah memenuhi.
Jika memang HTI menghendaki pencabutan SK tersebut, yang perlu dilakukan tinggal membuktikan bahwa SK tidak dibuat oleh pejabat berwenang. Tidak ada undang-undang yang dilanggar dan substansi dasarnya tak memenuhi.
"Sayangnya bukti-bukti dan saksi serta ahli yang dihadirkan di sidang tidak menyentuh itu. Bahkan, dua ahli yang dihadirkan pada sidang, saat kami tanya, dia tidak tahu kegiatan HTI itu apa," kata Wayan.
Wayan mengulas sidang gugatan HTI terhadap Kemenkum HAM yang sudah beberapa kali digelar di Pengadilan Tata Usaha Negara. Menurutnya, ahli yang dihadirkan penggugat tidak bisa menjelaskan apakah NKRI dan Pancasila masih ada atau tidak.
Ahli justru menjelaskan konsep khilafah secara teori yang jauh substansinya dari gugatan. Padahal, ia diminta hadir untuk memberikan penjelasan terkait pembubaran dan pencabutan status badan hukum HTI.
"Pembicaraannya tidak menyentuh substansi gugatan. Karena itu, bagaimana bisa bicara hak asasi tapi mengajukan bukti, saksi, dan ahli yang tidak bisa membela hak asasi," katanya.
Wayan pun mempertanyakan siapa oknum yang menyebut pencabutan status badan hukum dan pembubaran HTI sama dengan merenggut hak asasi.
Sebab, jika dikaitkan dengan buku
Taqiyyudin an-Nabhani yang menjadi dasar HTI menyebut bahwa hak asasi menempatkan perempuan tidak diperbolehkan menjadi pemimpin, bahasa harus Arab dan nonmuslim tak punya hak pilih.
"Kalau HTI betul mengisukan hak asasi, kenapa HTI mengedarkan buku yang di dalamnya karangan
Taqiyyudi an-Nabhani? Kenapa di 20 negara selain Indonesia, HTI dibubarkan? Apakah itu dikatakan hak asasinya tidak ada?" kata Wayan.
Senada dengan Wayan, cendekiawan muslim Azyumardi Azra mengatakan tidak ada kebebasan yang mutlak, termasuk dalam sistem demokrasi.
Yang ada adalah demokrasi dibajak oleh oknum untuk tujuan tertentu yang kemudian melindas demokrasi dan hak asasi manusia yang sebenarnya.
Pengalaman di banyak negara, terutama yang mayoritas penduduknya muslim, kelompok yang memiliki perbedaan ideologi dengan tujuan asal negara, menggunakan demokrasi dan hak asasi sebagai tameng.
"Demokrasi memang bisa beroperasi, tapi pada gilirannya dibajak untuk kepentingan mereka sendiri. Inilah yang harus diantisipasi," jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MEL)