Ketua DPD Oesman Sapta Odang (kiri) dan mantan Wakil Ketua DPD G.K.R. Hemas (kanan). Foto: MI/MOHAMAD IRFAN.
Ketua DPD Oesman Sapta Odang (kiri) dan mantan Wakil Ketua DPD G.K.R. Hemas (kanan). Foto: MI/MOHAMAD IRFAN.

DPD Kehilangan Harga Diri

Arga sumantri • 12 Februari 2018 05:00
Jakarta: Lembaga Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dinilai telah kehilangan muruah. DPD dianggap lebih dikenal karena kisruh internalnya, ketimbang kinerja nyata sebagai representasi masyarakat.
 
Peneliti senior Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus belum melihat ada upaya perbaikan dalam internal DPD. Lucius juga melihat DPD seolah tak berdaya dan ada di tengah hegemoni DPR. 
 
"Sehingga leluasa sekali DPR ini menginjak-injak DPD. Dpd seolah bertepuk tangan dalam diam tentang undang-undang," kata Lucius di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu 11 Februari 2018.

Menurut Lucius, saat ini yang bisa dibicarakan tentang DPD hanya sebatas kisruh internal. Selain itu, publik hampir tak mengetahui apa saja yang telah dilakukan oleh DPD. 
 
Ia juga melihat DPD semakin terpuruk di bawah kepemimpinan Oesman Sapta Odang. Menurut Lucius, tidak ada kinerja DPD yang patut dilirik publik.
 
"Saya kira dalam kondisi DPD tidak diperhatikan publik, banyak penyimpangan yang luput dari pantauan. Kalau soal mengembalikan muruah DPD itu karena kepedulian orang-orang di luar DPD," ujar dia. 
 
Faktor DPD Kehilangan Muruah
 
Direktur Eksekutif Pusako Universitas Andalas Fery amsari menilai salah satu faktor DPD 'ompong' adalah minimnya kewenangan yang diberikan oleh DPR. DPD juga tampak masuk angin dan bersifat manut pada ketentuan-ketentuan yang sudah ada. 
 
Misalnya, kata Fery, DPR bisa memanggil lembaga lain semisal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pemilihan Umum (KPU), atau Ombudsman RI. "Sementara DPD tidak dibuka ruang soal itu," ujar dia.
 
Parahnya, menurut Koordinator Komite Pemilih (TePi) Indonesia Jeirry Sumampouw, orang-orang dilingkup internal tampak nyaman dengan kondisi DPD sekarang. Para anggota DPD tak pernah bereaksi manakala posisinya terpinggirkan dalam proses pengambilan kebijakan. 
 
"Sejak awal DPR ini tidak merasa DPD itu ada, dianggap tidak ada. Dalam setiap pembahasan tidak pernah ada niat melibatkan," kata Jeirry.
 
Formappi, juga mengamini. Lucius melihat anggota DPD bermain aman. Dalam arti, mereka hanya berpikir bagaimana bisa menikmati kekuasaan, mendapatkan gaji, dan fasilitas. 
 
Faktor mulai terlibatnya partai politik dilingkup DPD, kata Lucius, juga mempengaruhi kemunduran lembaga perwakilan daerah ini. Padahal, DPD sejatinya dibuat sebagai representasi daerah, bukan partai politik.
 
"Bahkan sampai tidak malu anggota DPD memakai baju partai di acara DPD. Jadi bagaimana bsa berharap DPD menjadi baik jika anggotanya menikmati DPD yang rusak," ujar Lucius. 
 
Lucius menilai tidak salah bila kemudian berkembang wacana pembubaran institusi DPD. Sebab, jika tak ada perbaikan, DPD dinilai hanya jadi beban dan mengganggu politik negara.
 
"Soal premanisme, laporan keuangan yang tidak jelas. Apakah hrs dipertahankan atau disudahi sajalah," tegas Lucius. 
 
Namun, Lucius tetap mengajak publik untuk tidak diam melihat kondisi DPD yang terasa minim kinerja. Agar, anggaran negara yang sudah digelontorkan untuk menunjang kinerja DPD tidak terbuang sia-sia. 
 
"Kalau lembaga ini dirusak oleh anggota-anggota sekarang, wajib hukumnya pada pemilu nanti untuk menghapuskan orang-orang yang diangap merusak lembaga ini," ungkap Lucius. 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(SCI)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan