medcom.id, Jakarta: Presiden Joko Widodo mengeluarkan kebijakan pemerataan ekonomi yang salah satunya menyangkut redistribusi aset dan reforma agraria. Presiden Jokowi menyampaikan, dari 126 juta bidang tanah, baru 46 juta yang disertifikatkan.
"Artinya, masih 60 persen lebih bidang tanah belum disertifikatkan," ujar Jokowi dalam membuka Kongres Ekonomi Umat Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Hotel Grand Sahid Jaya, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, Sabtu 22 April 2017.
Jokowi mengatakan, banyaknya tanah yang belum disertifikatkan lantaran warga tidak memiliki biaya untuk mengurusnya. Alasan kedua, memang tanah tersebut tidak seharusnya untuk permukiman ataupun lahan garapan.
Oleh karenanya, Jokowi menuntut Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengeluarkan sertifikat tanah untuk warga sebanyak-banyaknya. Ia menargetkan, tahun ini Kementerian ATR/BPN bisa mengeluarkan 5 juta sertifikat.
"Tahun depan 7 juta dan tahun depannya lagi 9 juta sertifikat untuk rakyat, nelayan, petambak, tukang becak. Yang kemarin sudah kita mulai di Boyolali. Sudah kita serahkan 10.055 sertifikat dan ini akan terus kita lakukan," kata Jokowi.
Ia bilang, entah diperlukan berapa tahun jika sebanyak 80 juta tanah yang belum disertifikatkan dilakukan dengan kinerja Kementerian ATR/BPN seperti tahun-tahun sebelumnya. Jokowi menuturkan, tahun-tahun sebelumnya Kementerian ATR/BPN hanya mengeluarkan 400 sertifikat per tahun.
Oleh karenanya, mantan Gubernur DKI Jakarta itu menuntut target tersebut bisa tercapai. Menurut dia target perlu dibuat jika program tidak mau berjalan molor.
"Targetnya terlalu besar atau terlalu besar, itu urusan menteri. Setahu saya target itu harus bisa diselesaikan. Kalau tidak selesai, urusannya akan lain, bisa diganti, bisa digeser, atau bisa dicopot," kata Jokowi.
Sertifikat tanah, lanjut Jokowi, penting bagi warga supaya ke depannya mudah mengakses permodalan ke lembaga keuangan. Sebab, warga membutuhkan jaminan untuk mendapat modal.
"Karena tidak memiliki jaminan, dengan itu rakyat tidak punya akses modal ke lembaga keuangan," tuturnya.
medcom.id, Jakarta: Presiden Joko Widodo mengeluarkan kebijakan pemerataan ekonomi yang salah satunya menyangkut redistribusi aset dan reforma agraria. Presiden Jokowi menyampaikan, dari 126 juta bidang tanah, baru 46 juta yang disertifikatkan.
"Artinya, masih 60 persen lebih bidang tanah belum disertifikatkan," ujar Jokowi dalam membuka Kongres Ekonomi Umat Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Hotel Grand Sahid Jaya, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, Sabtu 22 April 2017.
Jokowi mengatakan, banyaknya tanah yang belum disertifikatkan lantaran warga tidak memiliki biaya untuk mengurusnya. Alasan kedua, memang tanah tersebut tidak seharusnya untuk permukiman ataupun lahan garapan.
Oleh karenanya, Jokowi menuntut Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengeluarkan sertifikat tanah untuk warga sebanyak-banyaknya. Ia menargetkan, tahun ini Kementerian ATR/BPN bisa mengeluarkan 5 juta sertifikat.
"Tahun depan 7 juta dan tahun depannya lagi 9 juta sertifikat untuk rakyat, nelayan, petambak, tukang becak. Yang kemarin sudah kita mulai di Boyolali. Sudah kita serahkan 10.055 sertifikat dan ini akan terus kita lakukan," kata Jokowi.
Ia bilang, entah diperlukan berapa tahun jika sebanyak 80 juta tanah yang belum disertifikatkan dilakukan dengan kinerja Kementerian ATR/BPN seperti tahun-tahun sebelumnya. Jokowi menuturkan, tahun-tahun sebelumnya Kementerian ATR/BPN hanya mengeluarkan 400 sertifikat per tahun.
Oleh karenanya, mantan Gubernur DKI Jakarta itu menuntut target tersebut bisa tercapai. Menurut dia target perlu dibuat jika program tidak mau berjalan molor.
"Targetnya terlalu besar atau terlalu besar, itu urusan menteri. Setahu saya target itu harus bisa diselesaikan. Kalau tidak selesai, urusannya akan lain, bisa diganti, bisa digeser, atau bisa dicopot," kata Jokowi.
Sertifikat tanah, lanjut Jokowi, penting bagi warga supaya ke depannya mudah mengakses permodalan ke lembaga keuangan. Sebab, warga membutuhkan jaminan untuk mendapat modal.
"Karena tidak memiliki jaminan, dengan itu rakyat tidak punya akses modal ke lembaga keuangan," tuturnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)