Jakarta: Publik mempertanyakan konsistensi Ketua DPR Puan Maharani tentang pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Batalnya Puan membacakan Surat Presiden (Surpres) berisi Daftar Invetaris Masalah (DIM) RUU TPKS dalam Rapat Paripurna penutupan Masa Sidang III menimbulkan tanda tanya. Pasalnya, Surpres tersebut sudah dikirimkan ke DPR 2 hari sebelum paripurna berlangsung.
Peniliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus menyebut batalnya Puan membacakan Surpres RUU TPKS yang sebetulnya telah dikirim oleh pemerintah ke DPR menunjukkan bahwa rendahnya komitmen DPR dibawah kepemimpinan Puan untuk menuntaskan RUU TPKS. Lucius menilai RUU TPKS cenderung hanya dijadikan sebagai alat politik untuk meraih simpati publik.
"Setiap kali desakan publik untuk meminta respons ceoat DPR terkait RUU TPKS, DPR selalu ingin terlihat peduli. Padahal data yang terlihat memperlihatkan sebaliknya. Kelambanan pembahasan RUU TPKS sesungguhnya disebabkan oleh komitmen rendah DPR untuk memulai pembahasan," ungkap Lucius dilansir Media Indonesia, Sabtu, 22 Februari 2022.
Baca: Tak Dibacakan Saat Rapur, Ketua DPR Mengaku Belum Terima Surpres RUU TPKS
Lucius juga menilai DPR tidak berniat untuk menuntaskan pembahasan RUU TPKS. Puan dinilai sengaja mempermainkan emosi publik sambil berharap publik terkecoh karena menganggap DPR seolah-olah berjuang mengesahkan RUU TPKS. Padahal, faktanya tidak demikian. Dirinya menduga Puan sebagai Ketua DPR memiliki perhitungan politis dalam pembahasan RUU TPKS.
"Saya menduga ada sedikit ketakutan secara politis pada DPR menghadapi kelompok masyarakat yang meyakini RUU TPKS cenderung melegalkan praktek seks bebas, dan semacamnya," ungkapnya.
Lucius melanjutkan, RUU TPKS dapat membuat DPR terpojok jika menganggapnya sebagai RUU yang melegalkan praktik seks bebas. Ketakutan akan efek politik bisa saja dihembuskan selama atau setelah pembahasan RUJ TPKS yang membuat DPR seperti angin-anginan menyelesaikan RUU tersebut.
"Lalu kesadaran bahwa korban kekerasan seksual tak sangat banyak dalam konteks electoral membuat DPR merasa bahwa dampak politik RUU TPKS sangat kecil secara politis," ungkapnya.
Jakarta: Publik mempertanyakan konsistensi Ketua DPR
Puan Maharani tentang pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Batalnya Puan membacakan Surat Presiden (Surpres) berisi Daftar Invetaris Masalah (DIM)
RUU TPKS dalam Rapat Paripurna penutupan Masa Sidang III menimbulkan tanda tanya. Pasalnya, Surpres tersebut sudah dikirimkan ke DPR 2 hari sebelum paripurna berlangsung.
Peniliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus menyebut batalnya Puan membacakan Surpres RUU TPKS yang sebetulnya telah dikirim oleh pemerintah ke DPR menunjukkan bahwa rendahnya komitmen DPR dibawah kepemimpinan Puan untuk menuntaskan RUU TPKS. Lucius menilai RUU TPKS cenderung hanya dijadikan sebagai alat politik untuk meraih simpati publik.
"Setiap kali desakan publik untuk meminta respons ceoat DPR terkait RUU TPKS, DPR selalu ingin terlihat peduli. Padahal data yang terlihat memperlihatkan sebaliknya. Kelambanan pembahasan RUU TPKS sesungguhnya disebabkan oleh komitmen rendah DPR untuk memulai pembahasan," ungkap Lucius dilansir
Media Indonesia, Sabtu, 22 Februari 2022.
Baca:
Tak Dibacakan Saat Rapur, Ketua DPR Mengaku Belum Terima Surpres RUU TPKS
Lucius juga menilai DPR tidak berniat untuk menuntaskan pembahasan RUU TPKS. Puan dinilai sengaja mempermainkan emosi publik sambil berharap publik terkecoh karena menganggap DPR seolah-olah berjuang mengesahkan RUU TPKS. Padahal, faktanya tidak demikian. Dirinya menduga Puan sebagai Ketua DPR memiliki perhitungan politis dalam pembahasan RUU TPKS.
"Saya menduga ada sedikit ketakutan secara politis pada DPR menghadapi kelompok masyarakat yang meyakini RUU TPKS cenderung melegalkan praktek seks bebas, dan semacamnya," ungkapnya.
Lucius melanjutkan, RUU TPKS dapat membuat DPR terpojok jika menganggapnya sebagai RUU yang melegalkan praktik seks bebas. Ketakutan akan efek politik bisa saja dihembuskan selama atau setelah pembahasan RUJ TPKS yang membuat DPR seperti
angin-anginan menyelesaikan RUU tersebut.
"Lalu kesadaran bahwa korban kekerasan seksual tak sangat banyak dalam konteks
electoral membuat DPR merasa bahwa dampak politik RUU TPKS sangat kecil secara politis," ungkapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DEV)