Pendiri the Wahid Foundation, Zannuba Ariffah Chafsoh (Yenny Wahid). Foto: Istimewa.
Pendiri the Wahid Foundation, Zannuba Ariffah Chafsoh (Yenny Wahid). Foto: Istimewa.

Perempuan Harus Lebih Berdaya di Era Disrupsi Teknologi

Achmad Zulfikar Fazli • 24 November 2019 01:29
Jakarta: Indonesia membutuhkan pejuang pemberdayaan perempuan yang tidak hanya fokus pada kaum perempuan tetapi juga laki-laki. Sebab, suara laki-laki lebih didengarkan semua pihak.
 
"Dibandingkan perempuan, laki-laki justru memiliki peran lebih strategis dalam mengkampanyekan isu kesetaraan gender (gender equality) dibandingkan perempuan," ujar pendiri the Wahid Foundation, Zannuba Ariffah Chafsoh (Yenny Wahid), saat menjadi pembicara dalam dialog 'The Future of Women' di arena pameran teknologi Disrupto 2019, Plaza Indonesia, Jakarta, Sabtu, 23 November 2019.
 
Menurut Yenny perempuan kerap dipandang nyinyir jika berbicara tentang kesetaraan gender. "Tetapi jika lelaki yang berbicara tentang isu tersebut, kaum lelaki lebih siap mendengarkan dan menerima," kata dia. 

Putri Presiden keempat Abdurrahman Wahid itu menilai perempuan harus lebih berdaya di era disrupsi teknologi yang berdampak terhadap kehidupan masyarakat. Artinya, perempuan harus punya kemandirian dalam berbagai hal. 
 
"Dengan begitu, mereka tidak mudah terombang-ambing oleh pengaruh buruk dari luar, termasuk terkait intoleransi dan radikalisme," ujar dia.
 
Yenny mengatakan perempuan berperan besar dalam merawat toleransi dan perdamaian. Perempuan juga sangat menentukan karakter masyarakat. 
 
"Jangan pandang sebelah mata. Sebab, jika seseorang berhasil memberdayakan seorang perempuan, orang tersebut telah memberdayakan seluruh komunitas," ujar dia.
 
Yenny mengingatkan perempuan terkait kesetaraan dalam sisi ekonomi. Ia bilang, perempuan jangan hanya menjadi teman hidup laki-laki, namun harus mandiri. Apalagi, ruang berkarya sangat luas.
 
Menurut Yenny, agama menempatkan perempuan dalam posisi yang sangat terhormat. Namun, kini interpretasinya berbeda seolah perempuan tidak boleh aktif, cukup di rumah mengurus anak. 
 
"Ada cara pandang salah kaprah yang harus diluruskan. Perjuangannya harus dari sisi formal dan informal, dengan tujuan agar setiap kebijakan harus ramah perempuan," tutur dia.
 
Dalam proses politik, perempuan juga sudah mulai dianggap keberadaannya. Hal tersebut ditunjukkan dengan kewajiban partai politik memberikan kuota 30 persen untuk perempuan.
 
"Dampak kebijakan tersebut sangat luar biasa. Sebab, dengan banyaknya perempuan yg terlibat dalam pengambilan kebijakan di tingkat mana pun, maka akan banyak terobosan yang menguntungkan perempuan," imbuh dia.
 
Yenny mengingatkan perempuan jangan hanya minta diistimewakan, atau diberi kemudahan. Perempuan juga perlu berjuang dan saling memberdayakan untuk menentukan masa depannya sendiri.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SCI)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan