medcom.id, Jakarta: Ingatan kolektif yang tersimpan dalam warisan sejarah penting dilestarikan masyarakat, khususnya generasi muda. Hal itu disebabkan warisan sejarah dan budaya Indonesia sarat nilai-nilai kebangsaan yang belakangan mulai terpendam oleh sentimen sektarian dan intoleransi.
Hal itu disampaikan aktivis yang juga politikus PDI Perjuangan Rieke Diah Pitaloka dalam Diskusi Publik Memory of the World (MOW) di ajang Indonesia Science Expo (ISE) 2017 di Jakarta, kemarin.
Menurut Duta Informasi Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) 2017 itu, nilai kebangsaan dalam warisan sejarah Indonesia amat relevan dengan situasi sekarang. Terbukti, intoleransi masih menjadi masalah di negeri ini.
Sejatinya, ujar Rieke, Indonesia memiliki kebesaran dan nilai kebangsaan yang kuat. Ia mencontohkan semangat persatuan antarnegara pada Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955 yang tidak membedakan agama dan ras.
"Bisa dibayangkan kita (RI), negara yang baru merdeka waktu itu, tapi bisa menginisiasi pertemuan Asia Afrika, kemudian setelah itu ada 41 negara yang terinsipirasi untuk memerdekakan diri, melawan penjajahan," tuturnya.
Pada saat pembukaan KAA 1955, lanjutnya, Presiden Soekarno berpidato mempersatukan negara-negara Asia Afrika yang memiliki segudang perbedaan dalam hal agama, keyakinan, dan ras. Hal itu, menurut Rieke, menjadi bukti Indonesia memiliki nilai luhur kebangsaan yang patut dijaga.
"Haruskah kita terpecah belah karena adanya macam ragam agama dalam kehidupan kita?" tutur Rieke menirukan pidato Presiden Soekarno saat pembukaan KAA 1955.
Karena itu, kata dia, masyarakat harus mengubah persepsi tentang sejarah. Semangat persatuan yang terkandung dalam warisan sejarah dan budaya Tanah Air harus menjadi landasan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
"Kita dihinggapi hal-hal yang menganggap masa lalu dan sejarah itu tidak penting. Bahwa peradaban itu sesuatu omong kosong," tegasnya.
Pembelajaran penting
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Komite Nasional MOW Indonesia Mego Pinandhito mengatakan budaya asing yang tidak sejalan dengan Pancasila bisa memengaruhi generasi muda ke arah negatif. Padahal, ingatan kolektif budaya bangsa penting untuk diresapi dan dilestarikan. Bahkan, penguatan karakter bangsa bisa dibangun dengan mengingat kembali sejarah penting yang menjadikan republik ini maju.
"Kekayaan budaya dan sejarah peradaban seharusnya bisa kita jaga dan menjadi pembelajaran penting untuk generasi muda. Salah satunya melalui MOW. LIPI sebagai sekretariat MOW saat ini berkoordinasi dengan Perpusnas (Perpustakaan Nasional) dan Arsip Nasional untuk mendokumentasikan sejarah penting kita," ujar Mego yang juga Pelaksana Tugas Deputi Bidang Jasa Ilmiah LIPI itu.
Ketua Komite Nasional Indonesia untuk UNESCO Arief Rachman mengatakan saat ini Indonesia memiliki lima arsip yang telah diakui sebagai MOW. Yaitu, arsip Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), karya sastra Bugis kuno La Galigo, naskah Babad Diponegoro, Kitab Negarakertagama, dan arsip KAA 1955.
Saat ini, kata Arief, tengah diajukan lagi sejumlah warisan sejarah untuk menjadi MOW, di antaranya dokumentasi konservasi Candi Borobudur, arsip Gerakan Nonblok, dan naskah cerita Panji. "Arsip kita banyak yang berada di Belanda sehingga proses pendokumentasian memang memerlukan waktu lama." (H-2/Dhika Kusuma Winata)
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/GNGLx7Lb" allowfullscreen></iframe>
medcom.id, Jakarta: Ingatan kolektif yang tersimpan dalam warisan sejarah penting dilestarikan masyarakat, khususnya generasi muda. Hal itu disebabkan warisan sejarah dan budaya Indonesia sarat nilai-nilai kebangsaan yang belakangan mulai terpendam oleh sentimen sektarian dan intoleransi.
Hal itu disampaikan aktivis yang juga politikus PDI Perjuangan Rieke Diah Pitaloka dalam Diskusi Publik Memory of the World (MOW) di ajang Indonesia Science Expo (ISE) 2017 di Jakarta, kemarin.
Menurut Duta Informasi Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) 2017 itu, nilai kebangsaan dalam warisan sejarah Indonesia amat relevan dengan situasi sekarang. Terbukti, intoleransi masih menjadi masalah di negeri ini.
Sejatinya, ujar Rieke, Indonesia memiliki kebesaran dan nilai kebangsaan yang kuat. Ia mencontohkan semangat persatuan antarnegara pada Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955 yang tidak membedakan agama dan ras.
"Bisa dibayangkan kita (RI), negara yang baru merdeka waktu itu, tapi bisa menginisiasi pertemuan Asia Afrika, kemudian setelah itu ada 41 negara yang terinsipirasi untuk memerdekakan diri, melawan penjajahan," tuturnya.
Pada saat pembukaan KAA 1955, lanjutnya, Presiden Soekarno berpidato mempersatukan negara-negara Asia Afrika yang memiliki segudang perbedaan dalam hal agama, keyakinan, dan ras. Hal itu, menurut Rieke, menjadi bukti Indonesia memiliki nilai luhur kebangsaan yang patut dijaga.
"Haruskah kita terpecah belah karena adanya macam ragam agama dalam kehidupan kita?" tutur Rieke menirukan pidato Presiden Soekarno saat pembukaan KAA 1955.
Karena itu, kata dia, masyarakat harus mengubah persepsi tentang sejarah. Semangat persatuan yang terkandung dalam warisan sejarah dan budaya Tanah Air harus menjadi landasan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
"Kita dihinggapi hal-hal yang menganggap masa lalu dan sejarah itu tidak penting. Bahwa peradaban itu sesuatu omong kosong," tegasnya.
Pembelajaran penting
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Komite Nasional MOW Indonesia Mego Pinandhito mengatakan budaya asing yang tidak sejalan dengan Pancasila bisa memengaruhi generasi muda ke arah negatif. Padahal, ingatan kolektif budaya bangsa penting untuk diresapi dan dilestarikan. Bahkan, penguatan karakter bangsa bisa dibangun dengan mengingat kembali sejarah penting yang menjadikan republik ini maju.
"Kekayaan budaya dan sejarah peradaban seharusnya bisa kita jaga dan menjadi pembelajaran penting untuk generasi muda. Salah satunya melalui MOW. LIPI sebagai sekretariat MOW saat ini berkoordinasi dengan Perpusnas (Perpustakaan Nasional) dan Arsip Nasional untuk mendokumentasikan sejarah penting kita," ujar Mego yang juga Pelaksana Tugas Deputi Bidang Jasa Ilmiah LIPI itu.
Ketua Komite Nasional Indonesia untuk UNESCO Arief Rachman mengatakan saat ini Indonesia memiliki lima arsip yang telah diakui sebagai MOW. Yaitu, arsip Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), karya sastra Bugis kuno La Galigo, naskah Babad Diponegoro, Kitab Negarakertagama, dan arsip KAA 1955.
Saat ini, kata Arief, tengah diajukan lagi sejumlah warisan sejarah untuk menjadi MOW, di antaranya dokumentasi konservasi Candi Borobudur, arsip Gerakan Nonblok, dan naskah cerita Panji. "Arsip kita banyak yang berada di Belanda sehingga proses pendokumentasian memang memerlukan waktu lama." (H-2/Dhika Kusuma Winata)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)