medcom.id, Jakarta: Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menilai pemerintah perlu mengkaji arsip milik pemerintah Amerika Serikat tentang peristiwa 1965 di Indonesia. Namun, pemerintah tak perlu mengirim nota diplomatik untuk mengklarifikasi dokumen yang menyingkap data sensitif terkait sejarah Partai Komunis Indonesia (PKI) itu.
"Informasi sudah sampai ke Indonesia, maka silakan pemerintah melakukan kajian secara proporsional tanpa terbawa kepentingan dari pihak yang membuka informasi," ujar Hidayat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat 20 Oktober 2017.
Kajian dokumen diperlukan agar pemerintah punya alasan tersendiri soal tumbuh kembangnya komunisme di Indonesia saat itu. Sebab, informasi yang berasal dari negara lain disebut punya kepentingan politik.
"Jadi, apa pun itu, sebagaimana informasi yang lain, tentu harus diproporsionalkan. Tidak kemudian diterima mentah-mentah," kata politikus Partai Keadilan Sejahtera itu.
Selama ini, Presiden Joko Widodo menegaskan melarang segala tindak-tanduk yang bertentangan dengan ideologi Pancasila. Pemerintah, DPR, dan MPR juga masih bersandar pada TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 yang melarang PKI.
Menurut Hidayat, pemerintah tak perlu risau akan hadirnya dokumen kawat AS itu. Kerisauan dengan mengeluarkan nota diplomatik kepada pemerintah AS hanya akan memperkeruh kondisi bangsa.
"Permasalahan ini hendaknya tidak dibawa untuk menghadirkan konflik-konflik baru yang tidak diperlukan. Jadi, tak perlu kemudian informasi ini menambah kegaduhan di Indonesia. Silakan kepada lembaga yang berkewenangan untuk mengkaji dan mengkritisi," paparnya.
Baca: Menhan akan Minta Penjelasan AS Soal Dokumen Peristiwa 1965
Amerika Serikat merilis dokumen rahasia secara berkala setelah 50 tahun disimpan. Kebijakan itu, kata Hidayat, merupakan hal yang lumrah.
"Di Amerika kan berlaku dokumen yang sudah berumur lebih dari 50 tahun disebar kepada publik. Itu artinya adalah suatu aturan bagi Amerika, bukan sekadar isu 1965," kata dia.
Dokumen ini diunggah lembaga nonprofit National Security Archive (NSA) di George Washigton University, National Declassification Center (NDC), dan lembaga negara National Archives and Records Administration (NARA). Ada 39 dokumen dengan total 30.000 halaman yang kini beredar di dunia maya.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/wkBAE2Bb" allowfullscreen></iframe>
medcom.id, Jakarta: Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menilai pemerintah perlu mengkaji arsip milik pemerintah Amerika Serikat tentang peristiwa 1965 di Indonesia. Namun, pemerintah tak perlu mengirim nota diplomatik untuk mengklarifikasi dokumen yang menyingkap data sensitif terkait sejarah Partai Komunis Indonesia (PKI) itu.
"Informasi sudah sampai ke Indonesia, maka silakan pemerintah melakukan kajian secara proporsional tanpa terbawa kepentingan dari pihak yang membuka informasi," ujar Hidayat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat 20 Oktober 2017.
Kajian dokumen diperlukan agar pemerintah punya alasan tersendiri soal tumbuh kembangnya komunisme di Indonesia saat itu. Sebab, informasi yang berasal dari negara lain disebut punya kepentingan politik.
"Jadi, apa pun itu, sebagaimana informasi yang lain, tentu harus diproporsionalkan. Tidak kemudian diterima mentah-mentah," kata politikus Partai Keadilan Sejahtera itu.
Selama ini, Presiden Joko Widodo menegaskan melarang segala tindak-tanduk yang bertentangan dengan ideologi Pancasila. Pemerintah, DPR, dan MPR juga masih bersandar pada TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 yang melarang PKI.
Menurut Hidayat, pemerintah tak perlu risau akan hadirnya dokumen kawat AS itu. Kerisauan dengan mengeluarkan nota diplomatik kepada pemerintah AS hanya akan memperkeruh kondisi bangsa.
"Permasalahan ini hendaknya tidak dibawa untuk menghadirkan konflik-konflik baru yang tidak diperlukan. Jadi, tak perlu kemudian informasi ini menambah kegaduhan di Indonesia. Silakan kepada lembaga yang berkewenangan untuk mengkaji dan mengkritisi," paparnya.
Baca: Menhan akan Minta Penjelasan AS Soal Dokumen Peristiwa 1965
Amerika Serikat merilis dokumen rahasia secara berkala setelah 50 tahun disimpan. Kebijakan itu, kata Hidayat, merupakan hal yang lumrah.
"Di Amerika kan berlaku dokumen yang sudah berumur lebih dari 50 tahun disebar kepada publik. Itu artinya adalah suatu aturan bagi Amerika, bukan sekadar isu 1965," kata dia.
Dokumen ini diunggah lembaga nonprofit National Security Archive (NSA) di George Washigton University, National Declassification Center (NDC), dan lembaga negara National Archives and Records Administration (NARA). Ada 39 dokumen dengan total 30.000 halaman yang kini beredar di dunia maya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)