Jakarta: Komnas Perempuan menerima laporan kasus kekerasan perempuan sebanyak lebih dari 4.500 kasus pada periode Januari - Oktober 2021. Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi hal yang mendesak, namun fraksi Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memiliki pandangan yang berbeda.
Anggota Badan Legislasi dari Fraks i Golkar Firman Soebagyo mengatakan masih ada hal-hal yang tidak lazim dalam RUU TPKS. Kemudian, ada juga pasal-pasal yang menjadi perhatian Fraksi Golkar.
"Undang -undang ini untuk kepentingan masyarakat, ketika Fraksi Golkar menyampaikan keberatan pada hari pertama itu ada sesuatu yang tidak lazim," kata Firman dalam tayangan Metro Pagi Primetime di Metro TV, Selasa, 14 Desember 2021.
Firman menjelaskan masih ada substansi yang perlu didalami dalam RUU TPKS. Hukuman terhadap korporasi dengan pencabutan izin juga dikatakan berisiko tinggi.
"Memang ada beberapa substansi yang waktu itu kita ragukan, tentang korporasi, kemudian penggunaan ayat kontrasepsi, kemudian juga ada sanksi kepada sesama jenis yang melakukan seksual," jelas Firman.
Firman menjelaskan salah satu pasal terkait dengan hubungan seksual di luar nikah menuai kontroversi dari masyarakat. Sebab itu, hal tersebut juga perlu didiskusikan lebih jauh.
“Kalau saya bersepakat karena saya muslim, semua hubungan seksual di luar nikah itu sifatnya haram, tetapi yang non-muslim hukum agamanya seperti apa kan harus kita dengarkan,” ujar Firman.
Firman meminta pengesahan RUU TPKS ditunda hingga pendapat para tokoh agama didengarkan. Selain itu, Firman menekankan agar DPR harus berhati-hati untuk mengambil keputusan.
"Golkar ada di baris depan untuk memperjuangkan Undang-Undang Narkoba, yang justru korbannya jauh lebih besar. Semua Undang-undang itu penting, tetapi sikap kehati-hatian mutlak bagi DPR,” ucapnya.
Dia mempertanyakan terkait pengesahan RUU TPKS yang kesannya dipaksakan pada akhir tahun ini. Menurut Firman, RUU TPKS akan terjadi perdebatan panjang karena pemerintah juga belum tentu setuju terhadap norma-norma yang diatur dalam Undang-undang tersebut. (Widya Finola Ifani Putri)
Jakarta: Komnas Perempuan menerima laporan kasus kekerasan perempuan sebanyak lebih dari 4.500 kasus pada periode Januari - Oktober 2021. Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (
RUU TPKS) menjadi hal yang mendesak, namun fraksi
Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera (
PKS) memiliki pandangan yang berbeda.
Anggota Badan Legislasi dari Fraks i Golkar Firman Soebagyo mengatakan masih ada hal-hal yang tidak lazim dalam RUU TPKS. Kemudian, ada juga pasal-pasal yang menjadi perhatian Fraksi Golkar.
"Undang -undang ini untuk kepentingan masyarakat, ketika Fraksi Golkar menyampaikan keberatan pada hari pertama itu ada sesuatu yang tidak lazim," kata Firman dalam tayangan Metro Pagi Primetime di Metro TV, Selasa, 14 Desember 2021.
Firman menjelaskan masih ada substansi yang perlu didalami dalam RUU TPKS. Hukuman terhadap korporasi dengan pencabutan izin juga dikatakan berisiko tinggi.
"Memang ada beberapa substansi yang waktu itu kita ragukan, tentang korporasi, kemudian penggunaan ayat kontrasepsi, kemudian juga ada sanksi kepada sesama jenis yang melakukan seksual," jelas Firman.
Firman menjelaskan salah satu pasal terkait dengan hubungan seksual di luar nikah menuai kontroversi dari masyarakat. Sebab itu, hal tersebut juga perlu didiskusikan lebih jauh.
“Kalau saya bersepakat karena saya muslim, semua hubungan seksual di luar nikah itu sifatnya haram, tetapi yang non-muslim hukum agamanya seperti apa kan harus kita dengarkan,” ujar Firman.
Firman meminta pengesahan RUU TPKS ditunda hingga pendapat para tokoh agama didengarkan. Selain itu, Firman menekankan agar DPR harus berhati-hati untuk mengambil keputusan.
"Golkar ada di baris depan untuk memperjuangkan Undang-Undang Narkoba, yang justru korbannya jauh lebih besar. Semua Undang-undang itu penting, tetapi sikap kehati-hatian mutlak bagi DPR,” ucapnya.
Dia mempertanyakan terkait pengesahan RUU TPKS yang kesannya dipaksakan pada akhir tahun ini. Menurut Firman, RUU TPKS akan terjadi perdebatan panjang karena pemerintah juga belum tentu setuju terhadap norma-norma yang diatur dalam Undang-undang tersebut. (
Widya Finola Ifani Putri)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MBM)