Willy Aditya/Partai NasDem
Willy Aditya/Partai NasDem

Metro Pagi Primetime

Kekerasan Seksual Semakin Masif, RUU PKS Tak Berkutik di Belantara Lobi DPR

MetroTV • 20 Agustus 2021 17:30
Jakarta: Sudah sewindu sejak kali pertama pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), DPR tak kunjung mencapai kesepakatan. Beda pendapat hingga masalah moral menjadi alasan RUU ini belum juga disahkan.
 
"Ini kan undang-undang yang kontroversial, tentu kita butuh pendekatan yang soft approach. Tentu pimpinan harus mendukung itu. Karena kan, UU bukan untuk sekelompok orang, tapi seluruh masyarakat," ujar Ketua Panitia Kerja RUU PKS Willy Aditya saat diwawancarai mengenai perkembangan pembahasannya di Metro Pagi Prime Time, Metro TV, Jumat, 20 Agustus 2021.
 
Ia mengatakan, dalam pembahasan di Badan Legislatif, fraksi di DPR bagaikan terbagi ke dua kubu. Beberapa fraksi, yaitu NasDem, PDIP, dan PKB yang mendukung RUU PKS ini kerap jejak pendapat dengan kubu lain yang kontra.

Perdebatan berkisar antara penjudulan dari RUU ini. Hingga saat ini, sebagian anggota DPR masih belum mendapatkan terminologi yang cocok antara kekerasan atau kejahatan seksual. 
 
"Selain itu, terminologi penghapusan dirasa memberatkan. Ada beberapa profesor, akademisi dan ahli, salah satunya Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia Topo Santoso, menyarankan judulnya dibentuk menjadi Tindak Pidana Khusus Kekerasan Seksual saja," tuturnya.
 
Selain itu, menurut Willy, terdapat pasal-pasal yang dianggap tumpang tindih dengan pasal di Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Saat ini, pihaknya tengah berkoordinasi dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) agar RUU PKS dipastikan khusus mengatur materi yang belum ada di KUHP.
 
Selain itu, ia juga mengatakan perbedaan perspektif antara para anggota DPR masih menjadi penghambat dalam pengesahan RUU ini. Ketika kekerasan seksual diatur dalam hukum positif, banyak yang mengkhawatirkan kontrol sosial dari keluarga akan berkurang.
 
"Nah, concern terhadap pencegahan ini juga akan kita kembangkan informasi terus menerus melalui focus group discussion, seminar, dan lainnya," imbuhnya.

Sarat urgensi 

Terlepas dari semua kontroversi di atas, RUU PKS memiliki urgensi yang kuat untuk segera disahkan. Pasalnya, menurut data Komnas Perempuan, hampir 5.000 orang mengalami kekerasan seksual selama pandemi ini.
 
Selain itu, payung hukum yang fokus terhadap kekerasan seksual di Indonesia juga dianggap belum terbentuk. Hingga saat ini kasus pelecehan seksual diselesaikan berdasarkan pasal di KUHP yang masih sangat general dalam memandang permasalahan ini.
 
"Itu yang membuat aparat tidak bisa menegakkan hukum yang pro terhadap korban. Karena, KUHP itu belum mengacu langsung pada kekerasan," kata Willy.
 
Selain itu, RUU PKS juga dirancang untuk menghadirkan hukum yang berperspektif korban. Pasalnya, selama ini hukum di Indonesia hanya fokus pada sanksi pelaku, namun perlindungan terhadap korban masih nihil. (Mentari Puspadini)
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan