medcom.id, Jakarta: Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana menyebut polemik kewarganegaraan Arcandra Tahar tak harus menjadi pemicu wacana revisi undang-undang Kewarganegaraan. Pemerintah diminta hati-hati dan selektif.
"Ini tidak bisa menjadi triger apalagi untuk mengakomodasi dwikewarganegaraan, kita harus hati-hati walaupun pemerintah membenarkan harus selektif," kata Hikmahanto dalam diskusi di Sekretariat Para Syndicate Jalan Wijaya Timur 3 no. 2A, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (19/8/2016)
Hikmahanto menduga permasalahan bakal muncul manakala pemerintah bersedia menaturalisasi seluruh keinginan warga negara asing menjadi warga negara Indonesia maupun sebaliknya. Pemerintah kata dia harus melakukan kajian mendalam untuk penerapan dwikwarganegaraan ini agar bisa diakomodasi dalam hukum Indonesia.
"Uang dan energi akan terkuras, kemudian warga kita di Nunukan ingin sejahtera punya kewarganegataan Malaysia. Belum lagi dwikewarganegaraan dimanfaatkna untuk kejahatan-kejahatan," tutur dia.
Dia menambahkan, WNI yang berprestasi dan telah sukses di negara asing tak perlu semuanya kembali ke tanah Air. Justru, kata dia, kita perlu bangga mereka yang di luar membesarkan Indonesia.
"Jangan berpikir ke dalam terus, biarkan anak bangsa ini berkiprah di luar negeri," ujar dia.
Hikmahanto menyebut, bila pemerintah ingin memanggil orang berprestasi pulang harus disesuaikan dengan kebutuhan negara. Selain itu, pemerintah wajib memastikan latar belakang warga tersebut sesuai dengan undang-undang bilamana ditunjuk sebagai pejabat negara.
"Tidak harus Profesor untuk menjadi Menteri. Tidak semua Profesor bisa mengelola. Mungkin pintar di laboratorium, tapi tidak bisa memanage di pemerintahan," ucap dia.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto mengatakan, revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan bukan untuk menjadikan Indonesia menjadi negara penganut dwi-kewarganegaraan. Perubahan prinsip warga negara tunggal menjadi warga negara ganda bukan perkara mudah.
Menurut Wiranto, perubahan itu pasti melalui proses panjang, penuh debat, sekaligus penuh pertimbangan yang matang. Sebab, prinsip kewarganegaraan tunggal yang telah dianut Indonesia melalui proses historis panjang dan dalam.
"Kalau kita tidak hati-hati, nanti justru menjadi bumerang. Kita ini beda dengan Amerika Serikat dan Eropa," ujar Wiranto di Kompleks Istana Kepresidenan, Kamis (18/8/2016).
Wiranto meminta publik membiarkan pemerintah serta DPR RI membahas revisi UU tersebut sesuai dengan kebutuhan.
Jika dalam pembahasan itu dinilai banyak ruginya, kata Wiranto, revisi itu akan dibatalkan. "Kita tidak usah mendahului, biar digarap dululah, untung ruginya bagaimana, kalau banyak ruginya ya tidak akan kita lakukan," ujar Wiranto.
medcom.id, Jakarta: Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana menyebut polemik kewarganegaraan Arcandra Tahar tak harus menjadi pemicu wacana revisi undang-undang Kewarganegaraan. Pemerintah diminta hati-hati dan selektif.
"Ini tidak bisa menjadi triger apalagi untuk mengakomodasi dwikewarganegaraan, kita harus hati-hati walaupun pemerintah membenarkan harus selektif," kata Hikmahanto dalam diskusi di Sekretariat Para Syndicate Jalan Wijaya Timur 3 no. 2A, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (19/8/2016)
Hikmahanto menduga permasalahan bakal muncul manakala pemerintah bersedia menaturalisasi seluruh keinginan warga negara asing menjadi warga negara Indonesia maupun sebaliknya. Pemerintah kata dia harus melakukan kajian mendalam untuk penerapan dwikwarganegaraan ini agar bisa diakomodasi dalam hukum Indonesia.
"Uang dan energi akan terkuras, kemudian warga kita di Nunukan ingin sejahtera punya kewarganegataan Malaysia. Belum lagi dwikewarganegaraan dimanfaatkna untuk kejahatan-kejahatan," tutur dia.
Dia menambahkan, WNI yang berprestasi dan telah sukses di negara asing tak perlu semuanya kembali ke tanah Air. Justru, kata dia, kita perlu bangga mereka yang di luar membesarkan Indonesia.
"Jangan berpikir ke dalam terus, biarkan anak bangsa ini berkiprah di luar negeri," ujar dia.
Hikmahanto menyebut, bila pemerintah ingin memanggil orang berprestasi pulang harus disesuaikan dengan kebutuhan negara. Selain itu, pemerintah wajib memastikan latar belakang warga tersebut sesuai dengan undang-undang bilamana ditunjuk sebagai pejabat negara.
"Tidak harus Profesor untuk menjadi Menteri. Tidak semua Profesor bisa mengelola. Mungkin pintar di laboratorium, tapi tidak bisa memanage di pemerintahan," ucap dia.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto mengatakan, revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan bukan untuk menjadikan Indonesia menjadi negara penganut dwi-kewarganegaraan. Perubahan prinsip warga negara tunggal menjadi warga negara ganda bukan perkara mudah.
Menurut Wiranto, perubahan itu pasti melalui proses panjang, penuh debat, sekaligus penuh pertimbangan yang matang. Sebab, prinsip kewarganegaraan tunggal yang telah dianut Indonesia melalui proses historis panjang dan dalam.
"Kalau kita tidak hati-hati, nanti justru menjadi bumerang. Kita ini beda dengan Amerika Serikat dan Eropa," ujar Wiranto di Kompleks Istana Kepresidenan, Kamis (18/8/2016).
Wiranto meminta publik membiarkan pemerintah serta DPR RI membahas revisi UU tersebut sesuai dengan kebutuhan.
Jika dalam pembahasan itu dinilai banyak ruginya, kata Wiranto, revisi itu akan dibatalkan. "Kita tidak usah mendahului, biar digarap dululah, untung ruginya bagaimana, kalau banyak ruginya ya tidak akan kita lakukan," ujar Wiranto.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(REN)