medcom.id, Jakarta: Pembahasan rancangan Undang-undang (RUU) Penyiaran masih bergulir di Baleg DPR RI. Pembahasan yang dimulai sejak 2008 lalu itu terbentur pemilihan jenis frekuensi single mux dan multi mux.
Kapoksi Fraksi Partai NasDem di Badan Legislatif DPR, Luthfi Andi Mutty menyebut tak ada sistem carry over dalam pembahasan rancangan undang-undang sehingga konsep yang akan diputuskan harus dibahas ulang dari awal.
“Di komisi 1 (dominan) single mux, sedangkan di Baleg (dominan) muli mux,” kata Luthfi dalam diskusi RUU Penyiaran, Demokrasi, dan Masa Depan Media di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu 21 Oktober 2017.
Dengan RUU tersebut, DPR kelak harus menjamin kebebasan pers dan kontrol sosial. Pemilihan multi mux dinilai bakal mendorong pemerintahan yang lebih demokratis dan sejahtera.
“Kami dari Nasdem memilih multi mux, karena pertama, frekuensi adalah sumber daya alam terbatas. Negara harus hadir mengatur sumber daya ini untuk kemakmuran rakyat. Tapi kehadiran swasta enggak boleh mati,” jelasnya.
Kehadiran swasta, lanjutnya untuk memberikan informasi kepada publik yang lebih berimbang dan tak dimonopoli pemerintah. “Jadi bisa membuat demokrasi semakin sehat. Negara tak boleh ditolak mengatur frekuensi terbatas. Tapi tidak boleh membuat swasta jadi mati apalagi swasta membangun infrastruktur. Maka kita menganut multi mux, jadi negara hadir swasta hadir,” tutur dia.
Adapun dalam konsep single mux, frekuensi siaran dan infrastruktur dikuasai satu operator, Lembaga Penyiaran Publik Radio Televisi Republik Indonesia (LPP RTRI). Konsep ini dianggap menunjukkan keberadaan posisi dominan atau otoritas tunggal pemerintah yang berpotensi disalahgunakan untuk membatasi industri penyiaran.
Saat ini konsep single mux operator hanya diterapkan dua negara anggota International Telecommunication Union (ITU), yaitu Jerman dan Malaysia. Di sana, market share TV FTA (televisi terrestrial tidak berbayar) hanya 10 persen dan 30 persen, sisanya didominasi TV kabel dan DTH. Sebaliknya, di Indonesia, market share TV FTA sebesar 90 persen dan 10 persen sisanya TV Kabel.
Sementara itu, konsep multi mux memungkinkan berbagai pihak terkait menjadi pengelola infrastruktur penyiaran. Pasalnya frekuensi yang dialokasikan untuk penyiaran, jumlahnya kurang dibanding dengan televisi yang telah mengajukan izin operasi ke pemerintah.
medcom.id, Jakarta: Pembahasan rancangan Undang-undang (RUU) Penyiaran masih bergulir di Baleg DPR RI. Pembahasan yang dimulai sejak 2008 lalu itu terbentur pemilihan jenis frekuensi single mux dan multi mux.
Kapoksi Fraksi Partai NasDem di Badan Legislatif DPR, Luthfi Andi Mutty menyebut tak ada sistem carry over dalam pembahasan rancangan undang-undang sehingga konsep yang akan diputuskan harus dibahas ulang dari awal.
“Di komisi 1 (dominan) single mux, sedangkan di Baleg (dominan) muli mux,” kata Luthfi dalam diskusi RUU Penyiaran, Demokrasi, dan Masa Depan Media di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu 21 Oktober 2017.
Dengan RUU tersebut, DPR kelak harus menjamin kebebasan pers dan kontrol sosial. Pemilihan multi mux dinilai bakal mendorong pemerintahan yang lebih demokratis dan sejahtera.
“Kami dari Nasdem memilih multi mux, karena pertama, frekuensi adalah sumber daya alam terbatas. Negara harus hadir mengatur sumber daya ini untuk kemakmuran rakyat. Tapi kehadiran swasta enggak boleh mati,” jelasnya.
Kehadiran swasta, lanjutnya untuk memberikan informasi kepada publik yang lebih berimbang dan tak dimonopoli pemerintah. “Jadi bisa membuat demokrasi semakin sehat. Negara tak boleh ditolak mengatur frekuensi terbatas. Tapi tidak boleh membuat swasta jadi mati apalagi swasta membangun infrastruktur. Maka kita menganut multi mux, jadi negara hadir swasta hadir,” tutur dia.
Adapun dalam konsep single mux, frekuensi siaran dan infrastruktur dikuasai satu operator, Lembaga Penyiaran Publik Radio Televisi Republik Indonesia (LPP RTRI). Konsep ini dianggap menunjukkan keberadaan posisi dominan atau otoritas tunggal pemerintah yang berpotensi disalahgunakan untuk membatasi industri penyiaran.
Saat ini konsep single mux operator hanya diterapkan dua negara anggota International Telecommunication Union (ITU), yaitu Jerman dan Malaysia. Di sana, market share TV FTA (televisi terrestrial tidak berbayar) hanya 10 persen dan 30 persen, sisanya didominasi TV kabel dan DTH. Sebaliknya, di Indonesia, market share TV FTA sebesar 90 persen dan 10 persen sisanya TV Kabel.
Sementara itu, konsep multi mux memungkinkan berbagai pihak terkait menjadi pengelola infrastruktur penyiaran. Pasalnya frekuensi yang dialokasikan untuk penyiaran, jumlahnya kurang dibanding dengan televisi yang telah mengajukan izin operasi ke pemerintah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(Des)