medcom.id, Jakarta: Komisi III DPR akan segera menggelar fit and proper test terhadap calon pimpinan (capim) KPK. Lobi toilet diduga rawan terulang.
Untuk menghindari 'lobi toilet' seperti pada pemilihan Capim KPK 2013, semua calon harus dilarang bertemu anggota DPR.
"Kalau kita ingin mendapatkan pimpinan KPK yang bersih dan berintegritas, maka harus dihindari macam lobi toilet atau lobi-lobi oleh calon dengan anggota DPR, terutama anggota Komisi III DPR. Capim harus dilarang bertemu mereka," kata pengamat anggaran dari Centre for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi.
Sebelumnya, dalam pemberitaan pada saat fit and proper test di Komisi III DPR 2013, muncul dugaan seorang capim KPK bertemu dengan salah satu anggota Komisi III DPR dari PKB.
Pertemuan itu dilakukan di toilet Komisi III. Oleh karena itu, kemudian muncul tudingan apa yang dinamakan 'lobi toilet'.
Kuat dugaan, salah satu capim KPK yang menemui anggota dewan itu minta diloloskan menjadi pimpinan KPK.
Namun, karena gencarnya pemberitaan, sang calon, Sudradjat, tidak dipilih oleh Komisi III DPR.
Menurut Uchok, sulit mengawasi setiap calon menjelang fit proper test. Namun, pada saatnya tingkah laku capim itu akan tampak. Apalagi, sang capim amat mungkin tidak akan main sendirian, mungkin punya tim sukses.
"Namun, intinya kalau memang ada capim yang berusaha main-main, wajib dicoret, jangan diloloskan ," kata dia.
Modus-modus lobi coba dijabarkan oleh salah satu calon pimpinan KPK 2011-2015 yang tidak mau disebutkan namanya.
Menurutnya, ada tiga bentuk lobi yang pernah dialaminya saat menjadi calon pimpinan KPK 2011-2015.
Lobi Komisi III meliputi meminta uang, meminta pengamanan perkara, dan minta garansi selama masa jabatan tidak usut korupsi diri dan partainya.
"Waktu saya menjadi salah satu calon pimpinan KPK 2011-2015, saya menerima tiga tawaran untuk nantinya mendapatkan dukungan dari partai politik. Itu yang pertama memberikan uang, mengamankan kasus di KPK, dan ketiga tidak mengganggu atau mengusut dugaan korupsi partainya," terang sumber Media Indonesia itu.
Menurutnya, lobi itu datang silih berganti dari semua fraksi di Komisi III. Terlebih saat menjelang pemilihan 5 dari 10 capim.
"Karena saya enggan mengikuti lobi-lobi itu, akhirnya saya tidak terpilih. Apa yang saya rasakan juga katanya terjadi pada yang lain dan mereka ada yang menyetujui, sehingga mungkin terpilih menjadi pimpinan KPK Jilid III," ungkapnya.
Namun, pernyataan berbeda dilontarkan mantan Wakil Ketua KPK Haryono Umar. Ia enggan menerangkan pengamannya di Komisi III. "Enggak ada lobi, hanya kompetisi saja," singkatnya.
Tidak melobi
Untuk fit and proper test kali ini, calon Komisioner KPK Johan Budi mengaku tidak melakukan lobi dengan anggota Komisi III DPR RI, termasuk kepada pimpinan fraksi dan partai politik.
"Saya tidak melakukan pendekatan dan tidak melakukan lobi-lobi. Tidur yang cukup dan banyak berdoa kepada Allah, semoga diberi jalan yang terbaik buat saya menurut-Nya," ucapnya.
Sujanarko, capim yang masuk kategori Bidang Manajemen memilih fokus menyiapkan makalah untuk dipaparkan di hadapan Komisi III.
Ia juga tidak memedulikan upaya lobi atau menerima lobi dari Komisi III untuk dapat kesepakatan meraih dukungan. Ia juga tidak memedulikan dinamika politik.
"Semua keputusan Komisi III hanya didasarkan pada kompetisi dan kemampuan sehingga fokus menyiapkan makalah yang mengusung tema masalah penjebakan, penyamaran, freeport, dan revisi UU KPK," kata Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Sama Antar-Komisi KPK.
Soal lobi-lobi itu, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Trimedya Panjaitan mengaku lobi dalam politik wajar asalkan tidak dalam bentuk transaksional.
Ia mengaku sejauh ini tidak ada calon pimpinan KPK yang berupaya melobinya untuk meloloskan dalam proses fit and proper test.
"Kalau ke saya sejauh ini belum ada ya. Tidak tahu ke yang lain. Saya belum melihat ada pemain belakang yang membonceng," ucapnya.
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PKS, Nasir Djamil, mengatakan hal yang sama.
Ia juga menegaskan lamanya keputusan Komisi III untuk menentukan waktu pemilihan calon pimpinan KPK bukan dalam rangka membuka ruang lobi antara DPR dan calon pimpinan KPK.
"Tidak ada keinginan kami untuk melemahkan KPK. Pandangan fraksi saat itu ingin meminta waktu untuk melakukan pendalaman," paparnya.
Upaya barter
Dari upaya lobi itu, amat mungkin molornya fit and proper test ini disebabkan adanya upaya barter antara DPR dan pemerintah untuk memasukan revisi UU KPK.
"Ya, ini karena kita menunggu kepastian itu. Tapi revisi ini bukan untuk melemahkan KPK," ucapnya sumber itu lagi.
Adapun sebelumnya, pemerintah dan DPR lewat rapat konsultasi yang berlangsung pada 13 Oktober 2015 lalu, sepakat untuk menunda pembahasan mengenai revisi UU KPK yang sudah masuk Prolegnas 2015.
Salah satu alasannya ialah untuk menyelesaikan masalah-masalah ekonomi yang sudah mendesak terlebih dahulu, yakni pembahasan RAPBN 2016.
Namun, sejak disepakati untuk ditunda pembahasannya RUU KPK masih tercatat dalam Prolegnas 2015. Tidak ada upaya pemerintah maupun DPR untuk mengeluarkannya dari urutan Prolegnas 2015.
Pada saat itu, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menjelaskan RUU yang masuk ke Prolegnas tidak bisa sembarang dicabut karena harus melalui persetujuan DPR.
Menurut Yasonna, pemerintah dan DPR harus berembuk mencari penyempurnaan UU KPK yang paling tepat.
Akan tetapi, ia membantah bila hal itu dikatakan sebagai upaya melemahkan lembaga antirasywah.
"Tidak bisa sembarang dicabut, kalau dicabut harus persetujuan DPR juga. Tidak bisa sembarang," ujar Yasonna, Kamis (15/10) lalu.
Akhirnya, pemerintah dan DPR melalui Baleg sepakat RUU KPK tetap akan dilakukan pembahasan karena sudah masuk Prolegnas 2015 bersamaan dengan RUU Pengampunan Pajak (tax amnesty).
Telah disepakati, RUU KPK menjadi usulan inisiatif DPR, sementara RUU Tax Amnesty menjadi usulan inisiatif pemerintah. Jika tidak selesai pada 2015, pembahasan RUU KPK akan dibahas pada 2016.
Calon Pimpinan KPK yang ikut fit and proper test, Saut Situmorang, menambahkan yang paling penting justru cara penguatan fungsi pencegahan untuk memberantas para koruptor yang melakukan penyelewengan sehingga merugikan keuangan negara.
"Rohnya Undang-Undang KPK itu keseimbangan pencegahan dan pemberantasan. Namun, yang utama mencegah lebih dahulu," ujar Saut yang juga Staf Ahli Kepala Badan Intelijen Negara.
Oleh karena itu, berbagi informasi dan pengetahuan menjadi hal yang penting untuk ditata ulang dan dikomunikasikan dalam suatu jaringan bersama, baik antara pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), masyarakat lokal, maupun kalangan internasional.
"Intinya yang harusnya dilakukan sejalan dengan yang diminta UU KPK dan Konvensi PBB. Ada banyak inovasi yang harus dilakukan agar efektif dan efisien dalam mencegah dan mengejar orang jahat," tuturnya.
medcom.id, Jakarta: Komisi III DPR akan segera menggelar
fit and proper test terhadap calon pimpinan (capim) KPK. Lobi toilet diduga rawan terulang.
Untuk menghindari 'lobi toilet' seperti pada pemilihan Capim KPK 2013, semua calon harus dilarang bertemu anggota DPR.
"Kalau kita ingin mendapatkan pimpinan KPK yang bersih dan berintegritas, maka harus dihindari macam lobi toilet atau lobi-lobi oleh calon dengan anggota DPR, terutama anggota Komisi III DPR. Capim harus dilarang bertemu mereka," kata pengamat anggaran dari Centre for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi.
Sebelumnya, dalam pemberitaan pada saat
fit and proper test di Komisi III DPR 2013, muncul dugaan seorang capim KPK bertemu dengan salah satu anggota Komisi III DPR dari PKB.
Pertemuan itu dilakukan di toilet Komisi III. Oleh karena itu, kemudian muncul tudingan apa yang dinamakan 'lobi toilet'.
Kuat dugaan, salah satu capim KPK yang menemui anggota dewan itu minta diloloskan menjadi pimpinan KPK.
Namun, karena gencarnya pemberitaan, sang calon, Sudradjat, tidak dipilih oleh Komisi III DPR.
Menurut Uchok, sulit mengawasi setiap calon menjelang
fit proper test. Namun, pada saatnya tingkah laku capim itu akan tampak. Apalagi, sang capim amat mungkin tidak akan main sendirian, mungkin punya tim sukses.
"Namun, intinya kalau memang ada capim yang berusaha main-main, wajib dicoret, jangan diloloskan ," kata dia.
Modus-modus lobi coba dijabarkan oleh salah satu calon pimpinan KPK 2011-2015 yang tidak mau disebutkan namanya.
Menurutnya, ada tiga bentuk lobi yang pernah dialaminya saat menjadi calon pimpinan KPK 2011-2015.
Lobi Komisi III meliputi meminta uang, meminta pengamanan perkara, dan minta garansi selama masa jabatan tidak usut korupsi diri dan partainya.
"Waktu saya menjadi salah satu calon pimpinan KPK 2011-2015, saya menerima tiga tawaran untuk nantinya mendapatkan dukungan dari partai politik. Itu yang pertama memberikan uang, mengamankan kasus di KPK, dan ketiga tidak mengganggu atau mengusut dugaan korupsi partainya," terang sumber
Media Indonesia itu.
Menurutnya, lobi itu datang silih berganti dari semua fraksi di Komisi III. Terlebih saat menjelang pemilihan 5 dari 10 capim.
"Karena saya enggan mengikuti lobi-lobi itu, akhirnya saya tidak terpilih. Apa yang saya rasakan juga katanya terjadi pada yang lain dan mereka ada yang menyetujui, sehingga mungkin terpilih menjadi pimpinan KPK Jilid III," ungkapnya.
Namun, pernyataan berbeda dilontarkan mantan Wakil Ketua KPK Haryono Umar. Ia enggan menerangkan pengamannya di Komisi III. "Enggak ada lobi, hanya kompetisi saja," singkatnya.
Tidak melobi
Untuk
fit and proper test kali ini, calon Komisioner KPK Johan Budi mengaku tidak melakukan lobi dengan anggota Komisi III DPR RI, termasuk kepada pimpinan fraksi dan partai politik.
"Saya tidak melakukan pendekatan dan tidak melakukan lobi-lobi. Tidur yang cukup dan banyak berdoa kepada Allah, semoga diberi jalan yang terbaik buat saya menurut-Nya," ucapnya.
Sujanarko, capim yang masuk kategori Bidang Manajemen memilih fokus menyiapkan makalah untuk dipaparkan di hadapan Komisi III.
Ia juga tidak memedulikan upaya lobi atau menerima lobi dari Komisi III untuk dapat kesepakatan meraih dukungan. Ia juga tidak memedulikan dinamika politik.
"Semua keputusan Komisi III hanya didasarkan pada kompetisi dan kemampuan sehingga fokus menyiapkan makalah yang mengusung tema masalah penjebakan, penyamaran, freeport, dan revisi UU KPK," kata Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Sama Antar-Komisi KPK.
Soal lobi-lobi itu, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Trimedya Panjaitan mengaku lobi dalam politik wajar asalkan tidak dalam bentuk transaksional.
Ia mengaku sejauh ini tidak ada calon pimpinan KPK yang berupaya melobinya untuk meloloskan dalam proses
fit and proper test.
"Kalau ke saya sejauh ini belum ada ya. Tidak tahu ke yang lain. Saya belum melihat ada pemain belakang yang membonceng," ucapnya.
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PKS, Nasir Djamil, mengatakan hal yang sama.
Ia juga menegaskan lamanya keputusan Komisi III untuk menentukan waktu pemilihan calon pimpinan KPK bukan dalam rangka membuka ruang lobi antara DPR dan calon pimpinan KPK.
"Tidak ada keinginan kami untuk melemahkan KPK. Pandangan fraksi saat itu ingin meminta waktu untuk melakukan pendalaman," paparnya.
Upaya barter
Dari upaya lobi itu, amat mungkin molornya
fit and proper test ini disebabkan adanya upaya barter antara DPR dan pemerintah untuk memasukan revisi UU KPK.
"Ya, ini karena kita menunggu kepastian itu. Tapi revisi ini bukan untuk melemahkan KPK," ucapnya sumber itu lagi.
Adapun sebelumnya, pemerintah dan DPR lewat rapat konsultasi yang berlangsung pada 13 Oktober 2015 lalu, sepakat untuk menunda pembahasan mengenai revisi UU KPK yang sudah masuk Prolegnas 2015.
Salah satu alasannya ialah untuk menyelesaikan masalah-masalah ekonomi yang sudah mendesak terlebih dahulu, yakni pembahasan RAPBN 2016.
Namun, sejak disepakati untuk ditunda pembahasannya RUU KPK masih tercatat dalam Prolegnas 2015. Tidak ada upaya pemerintah maupun DPR untuk mengeluarkannya dari urutan Prolegnas 2015.
Pada saat itu, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menjelaskan RUU yang masuk ke Prolegnas tidak bisa sembarang dicabut karena harus melalui persetujuan DPR.
Menurut Yasonna, pemerintah dan DPR harus berembuk mencari penyempurnaan UU KPK yang paling tepat.
Akan tetapi, ia membantah bila hal itu dikatakan sebagai upaya melemahkan lembaga antirasywah.
"Tidak bisa sembarang dicabut, kalau dicabut harus persetujuan DPR juga. Tidak bisa sembarang," ujar Yasonna, Kamis (15/10) lalu.
Akhirnya, pemerintah dan DPR melalui Baleg sepakat RUU KPK tetap akan dilakukan pembahasan karena sudah masuk Prolegnas 2015 bersamaan dengan RUU Pengampunan Pajak (tax amnesty).
Telah disepakati, RUU KPK menjadi usulan inisiatif DPR, sementara RUU Tax Amnesty menjadi usulan inisiatif pemerintah. Jika tidak selesai pada 2015, pembahasan RUU KPK akan dibahas pada 2016.
Calon Pimpinan KPK yang ikut
fit and proper test, Saut Situmorang, menambahkan yang paling penting justru cara penguatan fungsi pencegahan untuk memberantas para koruptor yang melakukan penyelewengan sehingga merugikan keuangan negara.
"Rohnya Undang-Undang KPK itu keseimbangan pencegahan dan pemberantasan. Namun, yang utama mencegah lebih dahulu," ujar Saut yang juga Staf Ahli Kepala Badan Intelijen Negara.
Oleh karena itu, berbagi informasi dan pengetahuan menjadi hal yang penting untuk ditata ulang dan dikomunikasikan dalam suatu jaringan bersama, baik antara pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), masyarakat lokal, maupun kalangan internasional.
"Intinya yang harusnya dilakukan sejalan dengan yang diminta UU KPK dan Konvensi PBB. Ada banyak inovasi yang harus dilakukan agar efektif dan efisien dalam mencegah dan mengejar orang jahat," tuturnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(KRI)