Ilustrasi. Medcom.id
Ilustrasi. Medcom.id

Komnas Perempuan Sebut UU ITE Tidak Sinkron dengan KUHP

Sri Utami • 23 Desember 2023 02:07
Jakarta: Komnas Perempuan mengkritisi revisi kedua Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang telah disahkan DPR pada awal Desember 2023. Dari segi formil, pembahasan dan akses terhadap dokumen sulit diakses.
 
Sehingga ruang partisipasi publik terbatas dan secara substansi masih terdapat ketentuan yang tidak sinkron dan harmonis dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), serta masih menimbulkan potensi multitafsir dan tidak memberikan jaminan hak-hak korban untuk mendapatkan layanan keadilan, penanganan, dan pemulihan yang komprehensif.
 
Wakil Ketua Komnas Perempuan Mariana Amiruddin, mengatakan dengan situasi tersebut Komnas Perempuan merekomendasikan pemerintah memperbaharui Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri tentang Implementasi Undang-Undang tentang UU ITE dengan menajamkan interpretasi, serta pemahaman tentang pengecualian pemidanaan pada perempuan korban kekerasan dan pembela HAM.

Selain itu, memperkuat layanan terhadap perempuan korban yang sejalan dengan Right to Be Forgotten (RTBF) dan dilakukan dalam sistem yang terintegrasi dengan pelaporan.
 
"Masyarakat Sipil mencatat bahwa rapat dan konsinyering pembahasan tim perumus dan tim panja umumnya dilakukan secara tertutup dari publik. Draf naskah revisi kedua UU ITE ini pun sulit diakses publik, meski desakan masyarakat sipil sudah dilakukan," ujar Mariana, Jakarta, Jumat, 22 Desember 2023.
 
Komnas Perempuan juga telah menyampaikan saran dan masukan terhadap revisi UU ITE kepada pemerintah dan DPR. Namun, pasal tersebut tidak berubah atau tidak mengadopsi pasal yang memadatkan dalam KUHP untuk diacu, yaitu Pasal 407 ini menunjukkan tidak sinkron dengan KUHP.
 
"Kami mencatat selama kurun waktu 2017-2022 terdapat 4749 pengaduan kasus Kekerasan Siber Berbasis Gender (KSBG), yang sebagian besar adalah ancaman dan tindakan penyebaran foto atau video bermuatan seksual, yang mengakibatkan perempuan korban dipermalukan bahkan berisiko berhadapan dengan hukum sebagai tersangka pelanggar aturan dalam UU ITE atau UU Pornografi," ungkap dia.
 
Baca Juga: Revisi UU ITE Dinilai Jadi Landasan Komprehensif untuk Sertifikasi Elektronik

Dalam rekomendasinya, kata dia, Komnas Perempuan ingin penanganan, perlindungan, dan pemulihan korban kekerasan siber menjadi kewajiban negara dan sinkron dengan prinsip-prinsip hak korban dalam UU TPKS.
 
Sementara itu, Ketua Subkom Reformasi Hukum dan Kebijakan Siti Aminah Tardi menyampaikan sejumlah catatan ketidaksinkronan dengan KUHP dan UU TPKS, khususnya Pasal 27 ayat (1). Rumusan norma pidana dan ancaman pidana UU ITE, khususnya Pasal 27 ayat (1) terkait konten bermuatan melanggar kesusilaan dan Pasal 27 ayat (3) kerap digunakan untuk mengintimidasi dan membungkam ekspresi perempuan korban hingga mengkriminalkan korban kekerasan kekerasan seksual, korban KDRT, korban KBGO, hingga perempuan pembela HAM yang menyuarakan pendapat dan ekspresinya.
 
Kemudian, Pasal 27 ayat (1) telah dicabut oleh Pasal 622 Ayat (1) dan jika akan dirumuskan dalam peraturan UU ITE, rumusannya mengacu pada Pasal 407 KUHP. Namun, Pasal 27 ayat (1), rumusan seperti ketentuan Pasal 27 ayat (1) sebelumnya dengan penambahan terbuka untuk umum.
 
“Ketentuannya yang sudah dicabut, tetapi tidak dirumuskan seperti acuan yang dimandatkan akan membingungkan aparat penegak hukum (APH) maupun masyarakat. Peluang baiknya dari revisi Pasal 27 ayat (1) ini adalah adanya pengecualian pemidanaan jika penyebaran konten dilakukan demi kepentingan umum, membela diri, maupun konten untuk tujuan pendidikan, kesehatan budaya dan olahraga,“ jelas dia.
 
Dalam mengajukan usulannya, Komnas Perempuan fokus pada sinkronisasi dan harmonisasi RUU ITE dengan KUHP dan TPKS. "Jadi ketika pertama kali kami memberikan saran dan masukan kami melakukan sinkronisasi terutama dan KUHP. Karena bagaimanapun KUHP akan menjadi panduan penegakan hukum di Indonesia salah satunya adalah ketentuan Pasal 27 ayat 1 UU ITE. Namun kemudian yang diusulkan pemerintah maupun yang kami analisis per 5 Desember, itu tidak berubah atau tidak mengadopsi pasal yang memadatkan dalam KUHP untuk diacu, yaitu Pasal 407 ini menunjukkan tidak sinkron dengan KUHP," jelas dia.
 
Hal ini kemudian memunculkan kebingunan pasal yang berlaku antara Pasal 407 KUHP atau Pasal 27 ayat 1 UU ITE. Sejak awal Komnas Perempuan mengharapkan Pasal 27 ayat 1 menjadi upaya perlindungan terhadap korban penyebaran konten intim non-konsensual.
 
Komisioner Kommnas Perempuan, Tiasri Wiandani, menyampaikan perubahan Pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik menjadi Pasal 27 A menjadi tindak pidana aduan dengan pengecualiaan tidak pidana jika dilakukan untuk kepentingan umum dan pembelaan diri.
 
"Pada satu sisi menjadi peluang perlindungan bagi korban KBG yang bersuara atas kekerasan yang dialaminya. Namun di sisi lain tetap merentankan Perempuan Pembela HAM (PPHAM) yang mengkritisi kebijakan publik atau melakukan pembelaan sumber daya alam atau pelanggaran HAM lainnya," ungkap dia.
 
Menurut dia, perempuan Pembela HAM tak hanya berpotensi dilaporkan pencemaran nama baik, ujaran kebencian, tetapi juga berita bohong ketika berhadapan dengan pejabat publik yang memiliki kekuasaan penuh. Potensi pelanggaran hak kebebasan berekspresi dan berpendapat lainnya juga ada pada Pasal 40, yakni berkaitan dengan kewenangan pemerintah untuk melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan informasi elektronik dan transaksi elektronik yang bisa menyasar pada situs-situs yang dianggap mengganggu ketertiban umum.
 
"Seperti situs untuk mengedukasi publik untuk isu-isu yang sensitif terkait isu seksualitas dan keberagaman," ujar dia.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan