Jakarta: Pemerintah diminta segera menyelesaikan permasalahan sawit rakyat dengan memasukkan sawit dalam definisi lahan garapan sebagaimana tercantum pada Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017. Pasalnya, kebijakan dan regulasi yang diterbitkan pemerintah belum bisa menjawab sengkarut pengelolaan sawit rakyat.
Direktur HICON Law & Policy Strategies Hifdzil Alim mengatakan HICON telah mengkaji enam regulasi yang diterbitkan pemerintah untuk mengatasi sengkarut sawit rakyat. Yakni, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial, Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan, dan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.
Kemudian, Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit, Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Tahun 2019-2024, dan Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan.
"Dalam catatan HICON, keberadaan enam instrumen hukum dan kebijakan itu belum sepenuhnya memberikan ruang bagi penyelesaian sawit rakyat dalam kawasan hutan," ujar Hifdzil di Jakarta, Selasa, 4 Agustus 2020.
Menurut dia, kebijakan pemerintah tentang perhutanan sosial belum mengakomodasi fakta adanya sawit rakyat dalam kawasan hutan. Persoalan semakin kompleks karena pada kawasan perhutanan sosial terdapat tanaman sawit, yang diberikan toleransi selama 12 tahun sejak masa tanam diwajibkan menanam pohon berkayu paling sedikit 100 pohon per hektare. Termasuk, masalah legalitas perkebunan kelapa sawit rakyat yang berdampak tidak berputarnya roda sertifikasi.
Menurut dia, semestinya perlu ada tawaran lain. Misalnya, diganti dengan jangka waktu daur ulang atau menerapkan kebun campur (agroforestry)
Dia menjelaskan pihaknya mengidentifikasi masalah krusial lainnya, yaitu pola penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan dilakukan tanpa melihat cost. Padahal, cost berpotensi muncul dalam penerapan pola penyelesaian tersebut.
"Contohnya, ketika resettlement, apakah pemerintah daerah mempunyai modal yang cukup untuk menekan potensi konflik tenurial (lahan)? Atau ketika pemerintah menetapkan status kawasan hutan sebagai perhutanan sosial, apakah ada jaminan lahan tersebut akan dikelola dengan cara-cara yang berkelanjutan? Pertanyaan ini belum mampu dijawab oleh Perpres 88/2017," jelas Hifdzil.
Hifdzil menilai tidak dimasukkan secara frasa sawit dalam lahan garapan pada Pasal 5 ayat 4 Perpres Nomor 88 Tahun 2017 mengakibatkan tidak terjawabnya akar masalah pengelolaan lahan sawit.
"Pemerintah sebaiknya memperhatikan bagaimana implementasi instrumen hukum dan kebijakan yang telah dibuat untuk memastikan penyelesaian masalah sawit rakyat dengan menyasar langsung pada akar masalah," ujar eks Wakil Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM ini.
Baca: Pemkab Bangka Selatan akan Remajakan Kebun Sawit tak Produktif
Padahal, kata dia, potensi sawit sebagai primadona perkebunan. Pemerintah seharusnya memberi perhatian dalam menjawab setiap akar masalah pengelolaan sawit.
Dengan begitu, lanjut dia, tidak akan terjadi konflik yang menghambat produksi sawit sebagai komoditas ekonomi unggulan selain minyak dan gas.
"Sistem perkebunan dengan menggunakan konsep agroforestry atau kebun campur juga perlu dipertimbangkan pemerintah sebagai alternatif penyelesaian sawit rakyat dalam kawasan hutan," kata Hifdzil.
Menurut dia, agroforestry bukan hal baru dalam model perkebunan berkelanjutan. Hal itu telah diatur dalam PermenLHK No. P.83 Tahun 2016. Namun, masih terdapat pembatasan waktu terhadap sawit dalam perhutanan sosial, yaitu selama 12 tahun sejak masa tanam.
"Pemerintah juga perlu meninjau ulang ketentuan tersebut. Misalnya, mempertimbangkan daur ulang sawit, atau dengan tidak memasukkan jangka waktu, tetapi petani diwajibkan menanam 100 pohon dalam satu hektare," ujar dia.
Jakarta: Pemerintah diminta segera menyelesaikan permasalahan sawit rakyat dengan memasukkan sawit dalam definisi lahan garapan sebagaimana tercantum pada Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017. Pasalnya, kebijakan dan regulasi yang diterbitkan pemerintah belum bisa menjawab sengkarut pengelolaan sawit rakyat.
Direktur HICON Law & Policy Strategies Hifdzil Alim mengatakan HICON telah mengkaji enam regulasi yang diterbitkan pemerintah untuk mengatasi sengkarut sawit rakyat. Yakni, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial, Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan, dan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.
Kemudian, Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit, Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Tahun 2019-2024, dan Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan.
"Dalam catatan HICON, keberadaan enam instrumen hukum dan kebijakan itu belum sepenuhnya memberikan ruang bagi penyelesaian sawit rakyat dalam kawasan hutan," ujar Hifdzil di Jakarta, Selasa, 4 Agustus 2020.
Menurut dia, kebijakan pemerintah tentang perhutanan sosial belum mengakomodasi fakta adanya sawit rakyat dalam kawasan hutan. Persoalan semakin kompleks karena pada kawasan perhutanan sosial terdapat tanaman sawit, yang diberikan toleransi selama 12 tahun sejak masa tanam diwajibkan menanam pohon berkayu paling sedikit 100 pohon per hektare. Termasuk, masalah legalitas perkebunan kelapa sawit rakyat yang berdampak tidak berputarnya roda sertifikasi.
Menurut dia, semestinya perlu ada tawaran lain. Misalnya, diganti dengan jangka waktu daur ulang atau menerapkan kebun campur
(agroforestry)
Dia menjelaskan pihaknya mengidentifikasi masalah krusial lainnya, yaitu pola penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan dilakukan tanpa melihat cost. Padahal, cost berpotensi muncul dalam penerapan pola penyelesaian tersebut.
"Contohnya, ketika resettlement, apakah pemerintah daerah mempunyai modal yang cukup untuk menekan potensi konflik tenurial (lahan)? Atau ketika pemerintah menetapkan status kawasan hutan sebagai perhutanan sosial, apakah ada jaminan lahan tersebut akan dikelola dengan cara-cara yang berkelanjutan? Pertanyaan ini belum mampu dijawab oleh Perpres 88/2017," jelas Hifdzil.
Hifdzil menilai tidak dimasukkan secara frasa sawit dalam lahan garapan pada Pasal 5 ayat 4 Perpres Nomor 88 Tahun 2017 mengakibatkan tidak terjawabnya akar masalah pengelolaan lahan sawit.
"Pemerintah sebaiknya memperhatikan bagaimana implementasi instrumen hukum dan kebijakan yang telah dibuat untuk memastikan penyelesaian masalah sawit rakyat dengan menyasar langsung pada akar masalah," ujar eks Wakil Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM ini.
Baca: Pemkab Bangka Selatan akan Remajakan Kebun Sawit tak Produktif
Padahal, kata dia, potensi sawit sebagai primadona perkebunan. Pemerintah seharusnya memberi perhatian dalam menjawab setiap akar masalah pengelolaan sawit.
Dengan begitu, lanjut dia, tidak akan terjadi konflik yang menghambat produksi sawit sebagai komoditas ekonomi unggulan selain minyak dan gas.
"Sistem perkebunan dengan menggunakan konsep
agroforestry atau kebun campur juga perlu dipertimbangkan pemerintah sebagai alternatif penyelesaian sawit rakyat dalam kawasan hutan," kata Hifdzil.
Menurut dia, agroforestry bukan hal baru dalam model perkebunan berkelanjutan. Hal itu telah diatur dalam PermenLHK No. P.83 Tahun 2016. Namun, masih terdapat pembatasan waktu terhadap sawit dalam perhutanan sosial, yaitu selama 12 tahun sejak masa tanam.
"Pemerintah juga perlu meninjau ulang ketentuan tersebut. Misalnya, mempertimbangkan daur ulang sawit, atau dengan tidak memasukkan jangka waktu, tetapi petani diwajibkan menanam 100 pohon dalam satu hektare," ujar dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)