Jakarta: Meski sudah disahkan, revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3) masih menuai kritik dari publik.
Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang menilai DPR mengalami disorientasi alias gagal fokus dengan revisi UU MD3 itu.
Disorientasi yang dimaksud, kata Sebastian, terkait dengan pasal penambahan kursi pemimpin DPR, MPR, dan DPD. Penambahan kursi pimpinan itu hanya berlaku untuk periode saat ini. Untuk Pemilu 2019, komposisi kursi pimpinan tersebut akan kembali secara proporsional seperti sebelumnya.
"Sebetulnya mereka mau mengatur apa?," ucap Sebastian dalam Forum Diskusi Kamisan di Jakarta, Kamis lalu.
Tak hanya itu, DPR pun dianggap kehilangan fokud dengan munculnya Pasal 122 huruf k yang berisi Mahkamah Kehormatan Dewan akan mengambil langkah hukum bagi pihak yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
"Antara pasal yang berkaitan dengan antikritik dan keputusan Ketua DPR yang sudah me-launching DPR zaman now, itu dua hal yang bertentangan. Itu gambaran sebetulnya mereka sedang kehilangan orientasi. Mereka mau bawa DPR ke arah modern atau DPR yang konvensional?," tutur dia.
Pasal itu pun telah mengalihkan fokus MKD yang diberikan tugas untuk menjaga citra kehormatan DPR dari perilaku anggota yang melanggar peraturan perundang-undangan dan kode etik menjadi mengurusi siapa saja yang merendahkan martabat anggota DPR.
"Kalau diberi kewenangan, bayangkan mereka (MKD) setiap hari sibuk (mengurusi) mana yang merendahkan martabat anggota DPR," tutur Sebastian.
Sebastian menilai disorientasi yang dialami DPR disebabkan sejumlah faktor. Salah satunya berulang kali terjadi pergantian Ketua DPR di satu periode.
Sepakat dengan Sebastian, Direktur Eksekutif PARA Syndicate Ari Nurcahyo melihat pengesahan UU MD3 sebagai bentuk DPR kehilangan fokus. Alih-alih ingin menguatkan kelembagaan dan fungsi DPR, UU MD3 justru melemahkan lembaga itu.
Ia menilai disorientasi yang dialami DPR dilatarbelakangi penangkapan Setya Novanto oleh KPK. "DPR tampak disorientasi. Kenapa? Pascapenangkapan Setya Novanto, (DPR mengalami) semacam down syndrome. Politikus kuat seperti Setya Novanto bisa ditangkap KPK. Itu jadi traumatik bagi anggota DPR," kata Ari.
Pasang badan
Saat merespons hal itu, Ketua DPR Bambang Soesatyo menyatakan siap pasang badan dalam menyikapi banyaknya kritik masyarakat terhadap pasal penghinaan parlemen yang diatur dalam UU MD3.
"Saya menjamin pasal penghinaan parlemen dalam UU MD3 tidak akan digunakan untuk memenjarakan orang yang mengkritik DPR," kata Bambang, Jumat.
Sementara itu, Mabes Polri menyatakan masih mengkaji aturan baru dalam UU MD3. Dalam revisi itu terdapat beberapa perubahan peraturan atas kewenangan Polri.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Setyo Wasisto menyatakan kajian itu dilakukan dengan melihat apakah revisi UU MD3 bertentangan dengan Undang-Undang Polri dan KUHAP yang selama ini menjadi landasan Polri dalam bekerja. (Media Indonesia)
Jakarta: Meski sudah disahkan, revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3) masih menuai kritik dari publik.
Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang menilai DPR mengalami disorientasi alias gagal fokus dengan revisi UU MD3 itu.
Disorientasi yang dimaksud, kata Sebastian, terkait dengan pasal penambahan kursi pemimpin DPR, MPR, dan DPD. Penambahan kursi pimpinan itu hanya berlaku untuk periode saat ini. Untuk Pemilu 2019, komposisi kursi pimpinan tersebut akan kembali secara proporsional seperti sebelumnya.
"Sebetulnya mereka mau mengatur apa?," ucap Sebastian dalam Forum Diskusi Kamisan di Jakarta, Kamis lalu.
Tak hanya itu, DPR pun dianggap kehilangan fokud dengan munculnya Pasal 122 huruf k yang berisi Mahkamah Kehormatan Dewan akan mengambil langkah hukum bagi pihak yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
"Antara pasal yang berkaitan dengan antikritik dan keputusan Ketua DPR yang sudah me-launching DPR zaman now, itu dua hal yang bertentangan. Itu gambaran sebetulnya mereka sedang kehilangan orientasi. Mereka mau bawa DPR ke arah modern atau DPR yang konvensional?," tutur dia.
Pasal itu pun telah mengalihkan fokus MKD yang diberikan tugas untuk menjaga citra kehormatan DPR dari perilaku anggota yang melanggar peraturan perundang-undangan dan kode etik menjadi mengurusi siapa saja yang merendahkan martabat anggota DPR.
"Kalau diberi kewenangan, bayangkan mereka (MKD) setiap hari sibuk (mengurusi) mana yang merendahkan martabat anggota DPR," tutur Sebastian.
Sebastian menilai disorientasi yang dialami DPR disebabkan sejumlah faktor. Salah satunya berulang kali terjadi pergantian Ketua DPR di satu periode.
Sepakat dengan Sebastian, Direktur Eksekutif PARA Syndicate Ari Nurcahyo melihat pengesahan UU MD3 sebagai bentuk DPR kehilangan fokus. Alih-alih ingin menguatkan kelembagaan dan fungsi DPR, UU MD3 justru melemahkan lembaga itu.
Ia menilai disorientasi yang dialami DPR dilatarbelakangi penangkapan Setya Novanto oleh KPK. "DPR tampak disorientasi. Kenapa? Pascapenangkapan Setya Novanto, (DPR mengalami) semacam
down syndrome. Politikus kuat seperti Setya Novanto bisa ditangkap KPK. Itu jadi traumatik bagi anggota DPR," kata Ari.
Pasang badan
Saat merespons hal itu, Ketua DPR Bambang Soesatyo menyatakan siap pasang badan dalam menyikapi banyaknya kritik masyarakat terhadap pasal penghinaan parlemen yang diatur dalam UU MD3.
"Saya menjamin pasal penghinaan parlemen dalam UU MD3 tidak akan digunakan untuk memenjarakan orang yang mengkritik DPR," kata Bambang, Jumat.
Sementara itu, Mabes Polri menyatakan masih mengkaji aturan baru dalam UU MD3. Dalam revisi itu terdapat beberapa perubahan peraturan atas kewenangan Polri.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Setyo Wasisto menyatakan kajian itu dilakukan dengan melihat apakah revisi UU MD3 bertentangan dengan Undang-Undang Polri dan KUHAP yang selama ini menjadi landasan Polri dalam bekerja.
(Media Indonesia)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SCI)