Jakarta: Suhu politik di Indonesia mungkin bisa semakin meningkat seiring dengan dimulainya pendaftaran calon presiden dan wakil presiden pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2019. Mulai besok hingga 10 Agustus nanti pendaftaran capres-cawapres dibuka.
Kematangan demokrasi Indonesia yang menjadi perhatian dunia, kini akan diuji. Kepala Kantor Staf Presiden (KSP), Moeldoko, mengungkapkan bahwa dunia internasional dan negara-negara sahabat kagum dengan demokrasi yang berjalan di Indonesia.
Kesan itu ia dapatkan ketika mewakili Presiden Joko Widodo hadir di ajang Open Government Partnership (OGP) Global Summit di Georgia, beberapa waktu lalu. Moeldoko bercerita tentang keberhasilan Indonesia menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (pilkada) di 171 wilayah secara serentak.
“Mereka terheran-heran, Indonesia sebagai negara yang sangat besar dan sangat plural, baru saja selesai pilkada serentak di daerah sebanyak itu,” kata Moeldoko melalui keterangan tertulisnya, Jumat, 3 Agustus 2018.
Sejauh ini, kata dia, demokrasi di Indonesia dianggap sudah cukup matang karena tidak ada konflik horizontal. Walaupun, persaingan masing-masing kubu politik terjadi cukup ketat.
Ia berharap agar pencapaian Indonesia itu bisa menjadi contoh bagi negara-negara lain di dunia. Terutama dalam hal kondusivitas pada saat penyelenggaraan pemilu.
“Ini menunjukkan kematangan demokrasi di Indonesia. Negara lain perlu melihat Indonesia. Model seperti ini sangat menarik untuk negara-negara OGP,” katanya.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan perilaku elite politik punya peran yang cukup penting dalam menjaga suhu politik dalam negeri. Apalagi figur yang menjadi capres dan cawapres nanti.
“Tokoh politik harus menjadi aktor terdepan dalam meredam potensi konflik antarwarga. Bahwa perbedaan politik bukan berarti harus membuat perpecahan, apalagi perilaku destruktif dan anarkis,” ujarnya.
Ia juga berharap penyelenggara pemilu, dalam hal ini KPU, menggandeng seluruh pihak dalam menjalankan proses pemilu. “Terutama penegak hukum, harus ada tindakan tegas bagi provokator-provokator yang menjadi pemicu perpecahan,” tuturnya.
Menurutnya, Indonesia adalah negara dengan populasi muslim terbesar yang paling demokratis di dunia. Dan sudah patut menjadi contoh bagi negara lain. Ia yakin tidak akan ada konflik horizontal di Indonesia terkait Pemilu 2019.
“Dalam demokrasi global, jauh sekali kalau dibandingkan dengan negara Timur Tengah atau tetangga seperti Thailand,” tuturnya.
Namun, ia mengakui ada kubu-kubu politik yang sangat jelas di masyarakat. “Kalau bicara tantangan demokrasi, saya sepakat bahwa kita menghadapi hoaks dan fitnah. Itu warning bagi elite politik, jangan sampai mengorbankan suasana demokrasi kita yang sudah bagus ini,” tuturnya.
Anggota Komisi II DPR Achmad Baidowi mengatakan sistem demokrasi Indonesia yang ada saat ini sudah menunjukkan kemajuan yang cukup baik. “Alhamdulillah itu menunjukkan indeks demokrasi Indonesia tinggi,” kata politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu.
Kemajuan yang pesat itu, kata dia, terlihat dari kedewasaan masyarakat dalam menyikapi pelaksanaan pilkada serentak yang baru saja dilaksanakan. Masyarakat bisa menerima apa pun yang dihasilkan.
Namun, ia melihat masih ada kekurangan. Salah satu contohnya adalah mempertahankan demokrasi sesuai jalur dan aturan yang ada. Contoh lainnya, kata dia, adalah masih seringnya ditemukan praktik politik uang, penggunaan isu SARA, dan penyebaran berita bohong.
Pendiri Lingkar Madani, Ray Rangkuti, menyarankan agar ada pendefinisian lebih detail dalam hal pelanggaran-pelanggaran pidana pemilu. “Kita dorong agar ada penegasan di hukum pidananya,” kata pegiat pemantau pemilu itu.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/1bV4wwPK" frameborder="0" scrolling="no" allowfullscreen></iframe>
Jakarta: Suhu politik di Indonesia mungkin bisa semakin meningkat seiring dengan dimulainya pendaftaran calon presiden dan wakil presiden pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2019. Mulai besok hingga 10 Agustus nanti pendaftaran capres-cawapres dibuka.
Kematangan demokrasi Indonesia yang menjadi perhatian dunia, kini akan diuji. Kepala Kantor Staf Presiden (KSP), Moeldoko, mengungkapkan bahwa dunia internasional dan negara-negara sahabat kagum dengan demokrasi yang berjalan di Indonesia.
Kesan itu ia dapatkan ketika mewakili Presiden Joko Widodo hadir di ajang Open Government Partnership (OGP) Global Summit di Georgia, beberapa waktu lalu. Moeldoko bercerita tentang keberhasilan Indonesia menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (pilkada) di 171 wilayah secara serentak.
“Mereka terheran-heran, Indonesia sebagai negara yang sangat besar dan sangat plural, baru saja selesai pilkada serentak di daerah sebanyak itu,” kata Moeldoko melalui keterangan tertulisnya, Jumat, 3 Agustus 2018.
Sejauh ini, kata dia, demokrasi di Indonesia dianggap sudah cukup matang karena tidak ada konflik horizontal. Walaupun, persaingan masing-masing kubu politik terjadi cukup ketat.
Ia berharap agar pencapaian Indonesia itu bisa menjadi contoh bagi negara-negara lain di dunia. Terutama dalam hal kondusivitas pada saat penyelenggaraan pemilu.
“Ini menunjukkan kematangan demokrasi di Indonesia. Negara lain perlu melihat Indonesia. Model seperti ini sangat menarik untuk negara-negara OGP,” katanya.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan perilaku elite politik punya peran yang cukup penting dalam menjaga suhu politik dalam negeri. Apalagi figur yang menjadi capres dan cawapres nanti.
“Tokoh politik harus menjadi aktor terdepan dalam meredam potensi konflik antarwarga. Bahwa perbedaan politik bukan berarti harus membuat perpecahan, apalagi perilaku destruktif dan anarkis,” ujarnya.
Ia juga berharap penyelenggara pemilu, dalam hal ini KPU, menggandeng seluruh pihak dalam menjalankan proses pemilu. “Terutama penegak hukum, harus ada tindakan tegas bagi provokator-provokator yang menjadi pemicu perpecahan,” tuturnya.
Menurutnya, Indonesia adalah negara dengan populasi muslim terbesar yang paling demokratis di dunia. Dan sudah patut menjadi contoh bagi negara lain. Ia yakin tidak akan ada konflik horizontal di Indonesia terkait Pemilu 2019.
“Dalam demokrasi global, jauh sekali kalau dibandingkan dengan negara Timur Tengah atau tetangga seperti Thailand,” tuturnya.
Namun, ia mengakui ada kubu-kubu politik yang sangat jelas di masyarakat. “Kalau bicara tantangan demokrasi, saya sepakat bahwa kita menghadapi hoaks dan fitnah. Itu
warning bagi elite politik, jangan sampai mengorbankan suasana demokrasi kita yang sudah bagus ini,” tuturnya.
Anggota Komisi II DPR Achmad Baidowi mengatakan sistem demokrasi Indonesia yang ada saat ini sudah menunjukkan kemajuan yang cukup baik. “Alhamdulillah itu menunjukkan indeks demokrasi Indonesia tinggi,” kata politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu.
Kemajuan yang pesat itu, kata dia, terlihat dari kedewasaan masyarakat dalam menyikapi pelaksanaan pilkada serentak yang baru saja dilaksanakan. Masyarakat bisa menerima apa pun yang dihasilkan.
Namun, ia melihat masih ada kekurangan. Salah satu contohnya adalah mempertahankan demokrasi sesuai jalur dan aturan yang ada. Contoh lainnya, kata dia, adalah masih seringnya ditemukan praktik politik uang, penggunaan isu SARA, dan penyebaran berita bohong.
Pendiri Lingkar Madani, Ray Rangkuti, menyarankan agar ada pendefinisian lebih detail dalam hal pelanggaran-pelanggaran pidana pemilu. “Kita dorong agar ada penegasan di hukum pidananya,” kata pegiat pemantau pemilu itu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)