Jakarta: Keputusan DPD dalam mengganti wakil ketua MPR dari kelompok DPD dinilai sebagai bentuk keputusan tata negara, bukan administrasi negara. Sehingga, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dianggap tak bisa mengadilinya.
Hal ini disampaikan pakar hukum tata negara, Refly Harun, merespons putusan PTUN yang mengabulkan gugatan Fadel Muhammad. Fadel menggugat surat keputusan DPD yang mengganti Fadel dengan Tamsil Linrung sebagai wakil ketua MPR dari kelompok DPD.
“Keputusan tata negara tidak boleh diuji di pengadilan tata usaha negara atau pengadilan administrasi. Kalau seperti itu, nanti keputusan DPR/MPR pun bisa di PTUN-kan,” kata Refly, Jakarta, Rabu, 10 Mei 2023.
Refly mengingatkan bahaya jika PTUN mengadili perkara hasil sidang paripurna DPD. Jika PTUN mengadili perkara seperti ini, akan muncul fenomena yuristokrasi atau pemerintahan oleh hakim.
Menurut Refly Harun, PTUN sifatnya individual, konkret, dan final. Sifat individual terkait dengan orang tertentu dan objek tertentu yang mengeluarkan keputusan.
Dalam kasus penggantian Wakil Ketua MPR Fadel Muhammad dengan Tamsil Linrung, kata Refly Harun, surat keputusan DPD tentang penggantian Fadel dengan Tamsil bukan keputusan mandiri. DPD mengeluarkan SK tersebut berdasar sidang paripurna DPD.
“Jadi bukan putusan mandiri (Ketua DPD RI). Bukan subjektivitas Ketua DPD tetapi hasil paripurna DPD, sehingga keputusan semua anggota DPD,” kata Refly.
Menurut Refly, keputusan lembaga politik tidak bisa di PTUN-kan. Kalaupun bisa dipersoalkan, putusan lembaga politik harus dibawa ke Mahkamah Konstitusi. “Itupun harus jelas judulnya, misalnya pengujian UU, sengketa kewenangan lembaga negara, apakah MPR berwenang menyetop kewenangan DPD,” ungkap dia.
Hakim PTUN, lanjut dia, seharusnya hanya berwenang untuk hal tata usaha negara. Kalau keputusan DPR, MPR, dan DPD yang merupakan hasil sidang paripuna serta cerminan demokrasi, tidak boleh diputuskan PTUN.
Selain itu, ketika ada pergantian usulan berdasar paripurna DPD, seharusnya MPR menjalankan keputusan itu. MPR harus meantik Tamsil menggantikan Fadel. Pelantikan tidak boleh ditunda.
“Sekarang ada putusan (pengadilan) tingkat pertama yang belum inkrah. Kalau ada pihak yang masih melakukan banding maka seharusnya yang tetap menjadi wakil ketua MPR tetap Tamsil Linrung. Nanti kalau ada keputusan final yang sudah mengikat barulah diganti,” ungkap dia.
Terkait dengan pencabutan tanda tangan dua pimpinan DPD, Refly menilai kedua pimpinan itu justru melanggar kode etik. Penandatangan hasil putusan paripurna dinilai sebagai kewajiban bukan hak.
“Pimpinan DPD harus meneruskan apa yang menjadi keputusan dari paripurna DPD,” ungkap dia.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
Jakarta: Keputusan
DPD dalam mengganti wakil ketua
MPR dari kelompok DPD dinilai sebagai bentuk keputusan tata negara, bukan administrasi negara. Sehingga,
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dianggap tak bisa mengadilinya.
Hal ini disampaikan pakar hukum tata negara, Refly Harun, merespons putusan PTUN yang mengabulkan gugatan Fadel Muhammad. Fadel menggugat surat keputusan DPD yang mengganti Fadel dengan Tamsil Linrung sebagai wakil ketua MPR dari kelompok DPD.
“Keputusan tata negara tidak boleh diuji di pengadilan tata usaha negara atau pengadilan administrasi. Kalau seperti itu, nanti keputusan DPR/MPR pun bisa di PTUN-kan,” kata Refly, Jakarta, Rabu, 10 Mei 2023.
Refly mengingatkan bahaya jika PTUN mengadili perkara hasil sidang paripurna DPD. Jika PTUN mengadili perkara seperti ini, akan muncul fenomena yuristokrasi atau pemerintahan oleh hakim.
Menurut Refly Harun, PTUN sifatnya individual, konkret, dan final. Sifat individual terkait dengan orang tertentu dan objek tertentu yang mengeluarkan keputusan.
Dalam kasus penggantian Wakil Ketua MPR Fadel Muhammad dengan Tamsil Linrung, kata Refly Harun, surat keputusan DPD tentang penggantian Fadel dengan Tamsil bukan keputusan mandiri. DPD mengeluarkan SK tersebut berdasar sidang paripurna DPD.
“Jadi bukan putusan mandiri (Ketua DPD RI). Bukan subjektivitas Ketua DPD tetapi hasil paripurna DPD, sehingga keputusan semua anggota DPD,” kata Refly.
Menurut Refly, keputusan lembaga politik tidak bisa di PTUN-kan. Kalaupun bisa dipersoalkan, putusan lembaga politik harus dibawa ke Mahkamah Konstitusi. “Itupun harus jelas judulnya, misalnya pengujian UU, sengketa kewenangan lembaga negara, apakah MPR berwenang menyetop kewenangan DPD,” ungkap dia.
Hakim PTUN, lanjut dia, seharusnya hanya berwenang untuk hal tata usaha negara. Kalau keputusan DPR, MPR, dan DPD yang merupakan hasil sidang paripuna serta cerminan demokrasi, tidak boleh diputuskan PTUN.
Selain itu, ketika ada pergantian usulan berdasar paripurna DPD, seharusnya MPR menjalankan keputusan itu. MPR harus meantik Tamsil menggantikan Fadel. Pelantikan tidak boleh ditunda.
“Sekarang ada putusan (pengadilan) tingkat pertama yang belum inkrah. Kalau ada pihak yang masih melakukan banding maka seharusnya yang tetap menjadi wakil ketua MPR tetap Tamsil Linrung. Nanti kalau ada keputusan final yang sudah mengikat barulah diganti,” ungkap dia.
Terkait dengan pencabutan tanda tangan dua pimpinan DPD, Refly menilai kedua pimpinan itu justru melanggar kode etik. Penandatangan hasil putusan paripurna dinilai sebagai kewajiban bukan hak.
“Pimpinan DPD harus meneruskan apa yang menjadi keputusan dari paripurna DPD,” ungkap dia.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)