Gedung DPR. Foto: MI/Bary Fathahillah
Gedung DPR. Foto: MI/Bary Fathahillah

Jangan Sandera RUU Pekerja Rumah Tangga

Tri Subarkah • 10 November 2022 04:08
Jakarta: Setelah dibahas selama 18 tahun, rancangan undang-undang (RUU) Pekerja Rumah Tangga (PRT) belum juga disahkan DPR. Padahal, kehadiran payung hukum khusus untuk PRT dinilai mendesak. Terlebih, marak kasus kekerasan terjadi, seperti yang dialami seorang PRT di Jakarta Timur, Rizki Nur Asia, dan PRT di Cimahi, Rohimah.
 
Berdasarkan data yang dihimpun Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga pada 2017-2022, terdapat 1.635 kasus multikekerasan berakibat fatal terhadap PRT. Sementara itu, kekerasan fisik, psikis, dan ekonomi yang dihadapi sebanyak 2.031 kasus. Adapun kekerasan ekonomi sebanyak 1.609 kasus.
 
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Willy Aditya menjelaskan, meski sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), RUU PRT belum bisa disahkan. Dari sembilan fraksi di parlemen, dua di antaranya, yakni PDI Perjuangan dan Partai Golkar, masih menolak RUU tersebut. Namun, ia mengatakan pengesahan RUU PRT sangat tergantung pada pimpinan DPR.

"Secara MD3 (UU tetang MPR, DPR, DPRD, dan DPD), tidak boleh pimpinan menunda, menyela, apa yang sudah diputuskan AKD (alat kelengkapan dewan)," kata Willy dalam acara HotRoom Metro TV episode 'Menagih Perlindungan PRT' yang dipandu pengacara kondang Hotman Paris Hutapea, Rabu malam, 9 November 2022.
 
"Ketika tujuh fraksi bersepakat, pimpinan (DPR) hanya tinggal memaripurnakan. Sekarang ini bottleneck, problem-nya tidak pernah memaripurnakan," jelas dia.
 
Politikus Partai NasDem itu berpendapat aturan yang ada sekarang, yaitu UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, belum mengakomodasi status PRT. Pengesahan RUU PRT akan memberikan dampak bagi 5 juta PRT di dalam negeri dan 5 juta PRT Indonesia di luar negeri.
 

Baca: Upaya Percepatan Pengesahan RUU PPRT Harus Didukung Semua Pihak


Ditjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Binwasnaker dan K3) Hayani Rumondang menyadari akan nihilnya UU yang secara khusus melindungi PRT. Kementerian Ketenagakerjaan memang telah membuat aturan untuk menjembatani antara PRT dan pengguna PRT. Namun, ia menyebut aturan itu tidak memuat sanksi.
 
"Bahwa ada pihak lain yang berinteraksi dengan PRT, disitu disebut sebagai LPPRT, lembaga penyalur, menjadi bagan penting bagi kami agar memonitor dan mengatur," jelas Hayani.
 
Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Jaleswari Pramodhawardani mengatakan untuk mempercepat proses pengesahan RUU PRT menjadi UU, pihaknya telah membentuk gugus tugas. Sejauh ini, ia menyebut gugus tugas telah berkonsolidasi dengan DPR.
 
Menurut Dani, sapaanya, salah satu mandeknya pengesahan RUU PRT adalah adanya anggapan bahwa ketentuan mengenai upah melalui kesepakatan antara PRT dan pemberi kerja bertentangan dengan semangat kultur gotong royong. Padahal, untuk mendebatkan permasalahan yang ada saat ini, RUU tersebut seharusnya diketok terlebih dahulu oleh pimpinan DPR sehingga menjadi RUU inisiatif DPR.
 
Koordinator Nasional Jala PRT Lita Anggraini menyebut, seharusnya upah bagi PRT diatur melalui upah minimum sektoral yang angkanya berbeda dengan pekerja lainnya. Meski pengaturan upah dalam draf RUU PRT saat ini dinilai tidak ideal, yakni sesuai kesepakatan antara PRT dan pemberi kerja, baginya hal itu bisa diperbaiki di kemudian hari.
 
"Kalau tetap menahan (RUU PRT), artinya menunjukkan pimpinan DPR memperpanjang praktik perbudakan modern," ucap Lita.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AGA)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan