Jakarta: Pakar hukum pidana Muladi tidak masalah pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) ditunda. Namun, penundaan jangan jadi penghalang untuk tidak mengesahkan revisi UU tersebut.
"Pokoknya jangan sampai gagal. Ditunda boleh, tetapi kalau gagal berarti kita cinta pada penjajahan," ujar Muladi di Graha Pengayoman Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) seperti dilansir dari Antara, Sabtu, 21 September 2019.
Sebagai anggota tim ahli yang terlibat dalam penyusunan RKUHP, Muladi mengaku telah mempertimbangkan Pancasila, UUD NKRI Tahun 1945, Hak Asasi Manusia dan Kewajiban Asasi Manusia, serta asas-asas hukum umum dan adat sebagai pengujinya. Dalam hal ini, mencakup filosofi, kriminalisasi perbuatan-perbuatan dipidana, sistem pertanggungjawaban pidana korporasi, dan sanksi pidana.
Guru Besar Universitas Diponegoro itu menjelaskan, RKUHP juga mengembangkan alternatif pidana kurungan penjara. Sehingga tidak benar jika RKUHP akan memenjarakan jutaan orang.
"Tidak semuanya dipenjara, nanti bisa-bisa penjara penuh. (Pidana) yang lima tahun ke bawah itu bisa diganti dengan denda, pidana pengawasan, dan pidana kerja sosial. Nanti hakim yang memutuskan," ucap Muladi.
Muladi mengeklaim RKUHP akan mengurangi kapasitas berlebih di Penjara. Ia telah mengkaji masukan dari masyarakat. "Tidak semuanya kami proses, tapi pasti kami pelajari. Tidak kami sepelekan," ujar Muladi.
Presiden Joko Widodo memutuskan menunda pengesahan RKUHP. Langkah itu diambil karena aturan hukum itu menimbulkan kontroversi di masyarakat.
Jokowi sudah mendengarkan masukan dari berbagai kalangan yang keberatan dengan substansi RKUHP. Dia memerintahkan Menkumham Yasonna Laoly menyampaikan sikap pemerintah kepada DPR.
"Saya berkesimpulan masih ada materi-materi yang membutuhkan pendalaman lebih lanjut," kata Jokowi di Kompleks Istana Kepresidenan, Bogor, Jawa Barat.
Jakarta: Pakar hukum pidana Muladi tidak masalah pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) ditunda. Namun, penundaan jangan jadi penghalang untuk tidak mengesahkan revisi UU tersebut.
"Pokoknya jangan sampai gagal. Ditunda boleh, tetapi kalau gagal berarti kita cinta pada penjajahan," ujar Muladi di Graha Pengayoman Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) seperti dilansir dari
Antara, Sabtu, 21 September 2019.
Sebagai anggota tim ahli yang terlibat dalam penyusunan RKUHP, Muladi mengaku telah mempertimbangkan Pancasila, UUD NKRI Tahun 1945, Hak Asasi Manusia dan Kewajiban Asasi Manusia, serta asas-asas hukum umum dan adat sebagai pengujinya. Dalam hal ini, mencakup filosofi, kriminalisasi perbuatan-perbuatan dipidana, sistem pertanggungjawaban pidana korporasi, dan sanksi pidana.
Guru Besar Universitas Diponegoro itu menjelaskan, RKUHP juga mengembangkan alternatif pidana kurungan penjara. Sehingga tidak benar jika RKUHP akan memenjarakan jutaan orang.
"Tidak semuanya dipenjara, nanti bisa-bisa penjara penuh. (Pidana) yang lima tahun ke bawah itu bisa diganti dengan denda, pidana pengawasan, dan pidana kerja sosial. Nanti hakim yang memutuskan," ucap Muladi.
Muladi mengeklaim RKUHP akan mengurangi kapasitas berlebih di Penjara. Ia telah mengkaji masukan dari masyarakat. "Tidak semuanya kami proses, tapi pasti kami pelajari. Tidak kami sepelekan," ujar Muladi.
Presiden Joko Widodo memutuskan menunda pengesahan RKUHP. Langkah itu diambil karena aturan hukum itu menimbulkan kontroversi di masyarakat.
Jokowi sudah mendengarkan masukan dari berbagai kalangan yang keberatan dengan substansi RKUHP. Dia memerintahkan Menkumham Yasonna Laoly menyampaikan sikap pemerintah kepada DPR.
"Saya berkesimpulan masih ada materi-materi yang membutuhkan pendalaman lebih lanjut," kata Jokowi di Kompleks Istana Kepresidenan, Bogor, Jawa Barat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SCI)