medcom.id, Jakarta: National Security Archive (NSA) Amerika Serikat membuka 39 dokumen telegram rahasia Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia pada rentang waktu 1965 - 1966.
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mengatakan, dokumen tersebut tak otomatis dijadikan bukti dalam penyelidikan kasus kejahatan hak asasi manusia (HAM) 1965.
"Tidak serta merta kita jadikan dokumen itu sebagai bagian dari proses penyelidikan," kata Wiranto di Kantor Staf Presiden, Jalan Veteran, Jakarta Pusat, Kamis 19 Oktober 2017.
Baca: Panglima TNI & Menhan Pelajari Dokumen Rahasia AS soal Tragedi 1965
Wiranto menjelaskan, perlu proses panjang untuk membuktikan kebenaran dokumen tersebut. Apalagi, dokumen itu bersumber dari luar negeri.
Mantan Panglima ABRI ini menambahkan, pemerintah serius menyelesaikan kasus kejahatan HAM. Rapat koordinasi telah dilakukan untuk mencari jalan keluar dari beberapa kasus kejahatan HAM yang ada. Namun, niat pemerintah menemukan tantangan.
Jarak waktu yang telah lama antara kejadian dan waktu pengusutan menjadi tantangan utama. Pemerintah kesulitan mencari bukti dan saksi terkait masalah ini.
"Karena permasalahan hukum itu hanya bisa adil kalau diselesaikan dengan hukum saat itu, masyarakat saat itu," jelas Wiranto.
Lembaga non-pemerintah Amerika Serikat National Security Archive membuka dokumen rahasia terkait tragedi pembunuhan massal 1965. Dokumen ini berisi telegram rahasia yang dikirim Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia kepada Pemerintah Amerika.
Status rahasia dokumen ini dicabut oleh National Declassification Center setelah 52 tahun pasca-kejadian. NDC merupakan sebuah divisi dari lembaga pemerintah AS, National Archives and Records Administration (NARA).
Berdasarkan telegram yang dikirim sejak Oktober 1965 hingga Maret 1966 itu, disebut terjadi pembunuhan massal terhadap sekitar 500 ribu jiwa yang diduga terlibat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dokumen ini juga menyebut adanya pemenjaraan terhadap jutaan orang yang dianggap sebagai simpatisan komunis di Indonesia.
medcom.id, Jakarta: National Security Archive (NSA) Amerika Serikat membuka 39 dokumen telegram rahasia Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia pada rentang waktu 1965 - 1966.
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mengatakan, dokumen tersebut tak otomatis dijadikan bukti dalam penyelidikan kasus kejahatan hak asasi manusia (HAM) 1965.
"Tidak serta merta kita jadikan dokumen itu sebagai bagian dari proses penyelidikan," kata Wiranto di Kantor Staf Presiden, Jalan Veteran, Jakarta Pusat, Kamis 19 Oktober 2017.
Baca:
Panglima TNI & Menhan Pelajari Dokumen Rahasia AS soal Tragedi 1965
Wiranto menjelaskan, perlu proses panjang untuk membuktikan kebenaran dokumen tersebut. Apalagi, dokumen itu bersumber dari luar negeri.
Mantan Panglima ABRI ini menambahkan, pemerintah serius menyelesaikan kasus kejahatan HAM. Rapat koordinasi telah dilakukan untuk mencari jalan keluar dari beberapa kasus kejahatan HAM yang ada. Namun, niat pemerintah menemukan tantangan.
Jarak waktu yang telah lama antara kejadian dan waktu pengusutan menjadi tantangan utama. Pemerintah kesulitan mencari bukti dan saksi terkait masalah ini.
"Karena permasalahan hukum itu hanya bisa adil kalau diselesaikan dengan hukum saat itu, masyarakat saat itu," jelas Wiranto.
Lembaga non-pemerintah Amerika Serikat National Security Archive membuka dokumen rahasia terkait tragedi pembunuhan massal 1965. Dokumen ini berisi telegram rahasia yang dikirim Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia kepada Pemerintah Amerika.
Status rahasia dokumen ini dicabut oleh National Declassification Center setelah 52 tahun pasca-kejadian. NDC merupakan sebuah divisi dari lembaga pemerintah AS, National Archives and Records Administration (NARA).
Berdasarkan telegram yang dikirim sejak Oktober 1965 hingga Maret 1966 itu, disebut terjadi pembunuhan massal terhadap sekitar 500 ribu jiwa yang diduga terlibat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dokumen ini juga menyebut adanya pemenjaraan terhadap jutaan orang yang dianggap sebagai simpatisan komunis di Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DEN)