medcom.id, Jakarta: Ambang batas presiden (presidential treshold) 20% dari jumlah kursi DPR atau 25% dari suara sah nasional yang diraih pada Pemilu 2014 bukan kepentingan pragmatis. Hal itu dimaksudkan agar partai sebagai peranti penting demokrasi dapat melakukan proses selektif kualitatif.
"Jadi, yang ditawarkan kepada rakyat ialah figur yang sejak pencalonan mendapat dukungan kuat dari parlemen atau parpol. Ini penting dalam membuat calon yang memiliki legitimasi politik," kata Sekretaris Fraksi Hanura di DPR Dadang Rusdiana seperti dilansir Media Indonesia, Senin 24 Juli 2017.
Di sisi lain, PPP menilai empat fraksi yang menyatakan menarik diri atau walk out dalam pengambilan keputusan UU Pemilu di Gedung DPR, Kamis 20 Juli malam, ikut bertanggung jawab terhadap UU tersebut karena keempatnya masuk dalam Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi UU Pemilu.
"Berdasarkan informasi terakhir yang saya terima, mereka ternyata masuk dan mengikuti pembahasan dalam rapat Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi seusai UU Pemilu disahkan," kata anggota Pansus UU Pemilu dari PPP Achmad Baidowi, kemarin.
Keempat fraksi tersebut ialah Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi PKS, dan Fraksi PAN. Mereka menginginkan ambang batas 0%. Sementara itu, enam fraksi lainnya: PDIP, Golkar, NasDem, PPP, Hanura, dan PKB memperjuangkan ambang batas 20%.
Instrumen lengkap
UU Pemilu yang baru disahkan menyediakan instrumen untuk menyelenggarakan pemilu secara serentak pada 2019. "Bagi partai politik, penyelenggara pemilu dan kandidat presiden telah disediakan semua dalam UU itu," kata Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi August Mellaz di Jakarta, kemarin.
Untuk partai politik, jelas August, RUU itu mengarahkan pada penyederhanaan sistem kepartaian melalui mekanisme parliemantary threshold dan sistem penghitungan suara sainte lague (murni).
Menurut dia, ambang batas parlemen akan membuat seleksi parpol untuk meraih kursi di DPR lebih kompetitif. Sistem sainte lague (murni), menurut dia, lebih menjamin distribusi kursi kepada parpol yang berhak ketimbang sistem sebelumnya.
medcom.id, Jakarta: Ambang batas presiden (presidential treshold) 20% dari jumlah kursi DPR atau 25% dari suara sah nasional yang diraih pada Pemilu 2014 bukan kepentingan pragmatis. Hal itu dimaksudkan agar partai sebagai peranti penting demokrasi dapat melakukan proses selektif kualitatif.
"Jadi, yang ditawarkan kepada rakyat ialah figur yang sejak pencalonan mendapat dukungan kuat dari parlemen atau parpol. Ini penting dalam membuat calon yang memiliki legitimasi politik," kata Sekretaris Fraksi Hanura di DPR Dadang Rusdiana seperti dilansir
Media Indonesia, Senin 24 Juli 2017.
Di sisi lain, PPP menilai empat fraksi yang menyatakan menarik diri atau walk out dalam pengambilan keputusan UU Pemilu di Gedung DPR, Kamis 20 Juli malam, ikut bertanggung jawab terhadap UU tersebut karena keempatnya masuk dalam Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi UU Pemilu.
"Berdasarkan informasi terakhir yang saya terima, mereka ternyata masuk dan mengikuti pembahasan dalam rapat Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi seusai UU Pemilu disahkan," kata anggota Pansus UU Pemilu dari PPP Achmad Baidowi, kemarin.
Keempat fraksi tersebut ialah Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi PKS, dan Fraksi PAN. Mereka menginginkan ambang batas 0%. Sementara itu, enam fraksi lainnya: PDIP, Golkar, NasDem, PPP, Hanura, dan PKB memperjuangkan ambang batas 20%.
Instrumen lengkap
UU Pemilu yang baru disahkan menyediakan instrumen untuk menyelenggarakan pemilu secara serentak pada 2019. "Bagi partai politik, penyelenggara pemilu dan kandidat presiden telah disediakan semua dalam UU itu," kata Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi August Mellaz di Jakarta, kemarin.
Untuk partai politik, jelas August, RUU itu mengarahkan pada penyederhanaan sistem kepartaian melalui mekanisme parliemantary threshold dan sistem penghitungan suara sainte lague (murni).
Menurut dia, ambang batas parlemen akan membuat seleksi parpol untuk meraih kursi di DPR lebih kompetitif. Sistem sainte lague (murni), menurut dia, lebih menjamin distribusi kursi kepada parpol yang berhak ketimbang sistem sebelumnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OJE)