Jakarta: Sejumlah elite partai politik (parpol) saling beranjangsana meski beberapa koalisi sudah terbentuk. Koalisi di Indonesia begitu cair dengan parpol yang berpikiran pragmatis.
"Parpol di Indonesia pragmatis, karena mereka melihat ikatan-ikatan itu ya dibuat cair saja, memudahkan untuk berinteraksi satu sama lain," kata Direktur Eksekutif Algoritma Aditya Perdana di Jakarta, Selasa, 23 Agustus 2022.
Koalisi yang sudah terbentuk adalah Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), Koalisi Gerindra-PKB, juga poros Nasdem-PKS-Demokrat. Kendati begitu, Aditya menilai belum ada kesepakatan yang jelas soal koalisi tersebut.
"Dalam bahasa mudahnya, masih saling lirik melirik, masih tahap awal, belum ada yang mengikat satu sama lain, meski secara formal mereka bilang, KIB ada, NasDem-PKS-Demokrat, belum ada pengantinnya belum ada," kata Aditya.
Meski telah bergabung dengan sebuah koalisi maupun merapat pada poros tertentu, parpol masih terus menjajaki peluang. Sehingga, bisa saja nantinya ada perubahan. Saat parpol sedang lirik melirik, kata dia, lembaga survei memasangkan sejumlah nama elite sebagai eksperimen.
"Eksperimen itu dalam konteks menggalang dukungan atau memastikan bahwa si A cocok dengan si B atau B cocok dengan yang lain. Mungkin bisa terjadi atau tidak," kata Aditya.
Dengan nama-nama yang beredar ini bisa menjadi panduan atau bahkan nilai tawar bagi elite tersebut dan parpolnya. "Pada dasarnya parpol belum punya satu kesamaan dan ideologis untuk memudahkan mereka untuk melekat satu sama lain, jadi masih sangat cair," tegas Aditya.
Dia menduga parpol maupun koalisinya masih akan menahan diri untuk mengumumkan capres dan cawapres mereka. Dia menduga pada awal tahun depan akan terang benderang ke mana arah dan pilihan mereka.
Memperbesar KIB
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (Indostrategic) A Khoirul Umam mengemukakan sejumlah analisis terkait kabar bergabungnya partai dalam gerbong KIB. Menurut dia, wacana tentang rencana masuknya parpol lain ke KIB masih sebatas wacana.
Kabar itu memang santer sejak bulan lalu. Namun, hingga pertemuan KIB di Jawa Timur, hal itu belum terbukti.
"Hal itu mengindikasikan, partai-partai masih belum yakin dan butuh menimbang ulang keputusan untuk bergabung dengan KIB," ujarnya.
Jika nantinya ada partai lain dalam gerbong KIB maka mendapati sejumlah keuntungan. Yakni memperbesar peluang memenangkan Pilpres 2024.
"Plus minus koalisi besar memang terletak pada potensi kemungkinan menangnya yang lebih besar dan dukungan parlemen yang kuat saat nanti di pemerintahan," kata dia.
Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) sebelumnya menanggapi Partai Demokrat yang mengungkapkan butuh koalisi besar untuk memenangkan Pemilu 2024 dan menjalankan pemerintahan. PAN, sebagai salah satu anggota KIB, menyetujui wacana koalisi besar dan mengajak Demokrat untuk bergabung bersama KIB dengan Golkar dan PPP.
Meski demikian, koalisi besar tidak menjamin penuh kemenangan. Sejarah Pilpres 2004 dan 2014 telah membuktikan. Saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) didukung koalisi kecil pada Pilpres 2004. Begitu pula Joko Widodo (Jokowi) pada Pilpres 2014. Keduanya menang berkat popularitas dan elektabilitas.
Jakarta: Sejumlah elite
partai politik (parpol) saling beranjangsana meski beberapa koalisi sudah terbentuk.
Koalisi di Indonesia begitu cair dengan
parpol yang berpikiran pragmatis.
"Parpol di Indonesia pragmatis, karena mereka melihat ikatan-ikatan itu ya dibuat cair saja, memudahkan untuk berinteraksi satu sama lain," kata Direktur Eksekutif Algoritma Aditya Perdana di Jakarta, Selasa, 23 Agustus 2022.
Koalisi yang sudah terbentuk adalah Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), Koalisi Gerindra-PKB, juga poros Nasdem-PKS-Demokrat. Kendati begitu, Aditya menilai belum ada kesepakatan yang jelas soal koalisi tersebut.
"Dalam bahasa mudahnya, masih saling lirik melirik, masih tahap awal, belum ada yang mengikat satu sama lain, meski secara formal mereka bilang, KIB ada, NasDem-PKS-Demokrat, belum ada pengantinnya belum ada," kata Aditya.
Meski telah bergabung dengan sebuah koalisi maupun merapat pada poros tertentu, parpol masih terus menjajaki peluang. Sehingga, bisa saja nantinya ada perubahan. Saat parpol sedang lirik melirik, kata dia, lembaga survei memasangkan sejumlah nama elite sebagai eksperimen.
"Eksperimen itu dalam konteks menggalang dukungan atau memastikan bahwa si A cocok dengan si B atau B cocok dengan yang lain. Mungkin bisa terjadi atau tidak," kata Aditya.
Dengan nama-nama yang beredar ini bisa menjadi panduan atau bahkan nilai tawar bagi elite tersebut dan parpolnya. "Pada dasarnya parpol belum punya satu kesamaan dan ideologis untuk memudahkan mereka untuk melekat satu sama lain, jadi masih sangat cair," tegas Aditya.
Dia menduga parpol maupun koalisinya masih akan menahan diri untuk mengumumkan capres dan cawapres mereka. Dia menduga pada awal tahun depan akan terang benderang ke mana arah dan pilihan mereka.
Memperbesar KIB
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (Indostrategic) A Khoirul Umam mengemukakan sejumlah analisis terkait kabar bergabungnya partai dalam gerbong KIB. Menurut dia, wacana tentang rencana masuknya parpol lain ke KIB masih sebatas wacana.
Kabar itu memang santer sejak bulan lalu. Namun, hingga pertemuan KIB di Jawa Timur, hal itu belum terbukti.
"Hal itu mengindikasikan, partai-partai masih belum yakin dan butuh menimbang ulang keputusan untuk bergabung dengan KIB," ujarnya.
Jika nantinya ada partai lain dalam gerbong KIB maka mendapati sejumlah keuntungan. Yakni memperbesar peluang memenangkan Pilpres 2024.
"Plus minus koalisi besar memang terletak pada potensi kemungkinan menangnya yang lebih besar dan dukungan parlemen yang kuat saat nanti di pemerintahan," kata dia.
Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) sebelumnya menanggapi Partai Demokrat yang mengungkapkan butuh koalisi besar untuk memenangkan Pemilu 2024 dan menjalankan pemerintahan. PAN, sebagai salah satu anggota KIB, menyetujui wacana koalisi besar dan mengajak Demokrat untuk bergabung bersama KIB dengan Golkar dan PPP.
Meski demikian, koalisi besar tidak menjamin penuh kemenangan. Sejarah Pilpres 2004 dan 2014 telah membuktikan. Saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) didukung koalisi kecil pada Pilpres 2004. Begitu pula Joko Widodo (Jokowi) pada Pilpres 2014. Keduanya menang berkat popularitas dan elektabilitas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(JMS)