Jakarta: Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly menegaskan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden di revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bukan untuk membungkam kritik. Masyarakat tetap bisa mengkritik kinerja pemerintah.
"Saya selalu katakan, kalau saya dikritik, Menkumham enggak becus, lapas, imigrasi (bermasalah), that's fine with me," kata Yasonna dalam rapat kerja (raker) bersama Komisi III di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 9 Juni 2021.
Dia menegaskan ketentuan di Pasal 218 dan 219 revisi KUHP hanya menyasar pernyataan bernada penghinaan terhadap pribadi pimpinan negara. Sikap tersebut tak boleh dibiarkan.
Yasonna memahami Indonesia menganut sistem demokrasi. Namun, kebebasan berpendapat ada batasan dan koridor yang harid diikuti. Bukan kebebasan tanpa batas.
"Saya kira, kita harus ada batas-batas yang harus kita jaga sebagai masyarakat Indonesia yang beradab," ungkap dia.
(Baca: Pasal Penghinaan Presiden Diusulkan Masuk Ranah Perdata)
Dia menegaskan pasal tersebut tak hanya untuk melindungi Presiden Joko Widodo (Jokowo) semata. Namun, melindungi martabat kepala negara selanjutnya.
Kementerian Hukum dan HAM telah berusaha menyusun ketentuan tersebut agar tak menjadi pasal karet. Caranya, mengubah sifat delik menjadi aduan.
"Sekarang bedanya dia (pasal penghinaan presiden dan wakil presiden) menjadi delik aduan," ujar dia.
Revisi KUHP memuat ketentuan pasal penghinaan presiden. Pasal 218 ayat 1 berbunyi, "Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV."
Hukum pidana ditambah satu tahun bila penghinaan disampaikan melalu media sosial. Hal itu termaktub pada Pasal 219.
Sedangkan sifat delik aduan termaktub pada Pasal 220 ayat (1). Pengaduan dapat dilakukan secara tertulis oleh presiden atau wakil presiden.
Jakarta: Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly menegaskan pasal
penghinaan presiden dan wakil presiden di revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (
KUHP) bukan untuk membungkam kritik. Masyarakat tetap bisa mengkritik kinerja pemerintah.
"Saya selalu katakan, kalau saya dikritik, Menkumham enggak becus, lapas, imigrasi (bermasalah),
that's fine with me," kata Yasonna dalam rapat kerja (raker) bersama Komisi III di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 9 Juni 2021.
Dia menegaskan ketentuan di Pasal 218 dan 219 revisi KUHP hanya menyasar pernyataan bernada penghinaan terhadap pribadi pimpinan negara. Sikap tersebut tak boleh dibiarkan.
Yasonna memahami Indonesia menganut sistem demokrasi. Namun, kebebasan berpendapat ada batasan dan koridor yang harid diikuti. Bukan kebebasan tanpa batas.
"Saya kira, kita harus ada batas-batas yang harus kita jaga sebagai masyarakat Indonesia yang beradab," ungkap dia.
(Baca:
Pasal Penghinaan Presiden Diusulkan Masuk Ranah Perdata)
Dia menegaskan pasal tersebut tak hanya untuk melindungi Presiden Joko Widodo (Jokowo) semata. Namun, melindungi martabat kepala negara selanjutnya.
Kementerian Hukum dan HAM telah berusaha menyusun ketentuan tersebut agar tak menjadi pasal karet. Caranya, mengubah sifat delik menjadi aduan.
"Sekarang bedanya dia (pasal penghinaan presiden dan wakil presiden) menjadi delik aduan," ujar dia.
Revisi KUHP memuat ketentuan pasal penghinaan presiden. Pasal 218 ayat 1 berbunyi, "Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV."
Hukum pidana ditambah satu tahun bila penghinaan disampaikan melalu media sosial. Hal itu termaktub pada Pasal 219.
Sedangkan sifat delik aduan termaktub pada Pasal 220 ayat (1). Pengaduan dapat dilakukan secara tertulis oleh presiden atau wakil presiden.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)