Jakarta: Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) menyebut kelanjutan pilkada langsung ada di tangan publik. Keberlangsungan sistem pemilihan ini sedang menjadi sorotan.
"Kalau masyarakat menilai pilkada langsung lebih banyak manfaatnya ya kita teruskan. Tapi kalau mudaratnya lebih banyak ya kita setop," kata Bamsoet di Jakarta, Senin, 11 November 2019.
Politikus Partai Golkar itu mengamini gesekan yang terjadi di akar rumput akibat pilkada langsung memang luar biasa. Selain itu, sistem pemilihan ini juga tak sukses membendung potensi korupsi yang meluas di daerah-daerah akibat biaya politik yang begitu tinggi.
"Kita enggak bisa menutup mata itu," jelas dia.
Menurut dia, jika kondisi ini terus dibiarkan, masyarakat akan dirugikan. Pasalnya, publik tak bisa lagi berharap kepada kepala daerah untuk bekerja sebaik-baiknya demi kepentingan rakyat bila biaya pilkada begitu meroket.
Saat menjadi ketua DPR di 2018-2019, Bamsoet mengaku sempat mendorong berbagai pihak untuk mengevaluasi pilkada langsung. Pasalnya, DPR menerima banyak keluhan atas pilkada langsung.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian meminta sistem pemilu dikaji ulang. Tito menilai sistem pemilu saat ini berpotensi menimbulkan korupsi.
"Lakukan riset akademik tentang dampak negatif dan positif pemilihan langsung," kata Tito di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu, 6 November 2019.
Tito menyebut salah satu sisi negatif sistem pemilu saat ini ialah tingginya biaya politik. Hal itu dinilai berdampak pada niat kepala daerah setelah terpilih.
"Tidak punya Rp30 miliar mau jadi bupati? Mana berani dia?" ujar Tito.
Dia pun tidak terkejut kepala daerah terjaring operasi tangkap tangan (OTT). Pasalnya, korupsi menjadi jalan pintas untuk menutup tingginya biaya pemilu.
Tito mencontohkan kepala daerah mengeluarkan biaya Rp30 miliar buat pilkada. Sementara itu, total pendapatan per bulan Rp200 juta.
"Lima tahun menjabat hasilnya Rp12 miliar, mau rugi tidak? Apa benar ingin mengabdi pada nusa dan bangsa terus rugi? Omong kosong kalau pendapat saya," ujar dia.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/xkE9EXMk" frameborder="0" scrolling="no" allowfullscreen></iframe>
Jakarta: Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) menyebut kelanjutan pilkada langsung ada di tangan publik. Keberlangsungan sistem pemilihan ini sedang menjadi sorotan.
"Kalau masyarakat menilai pilkada langsung lebih banyak manfaatnya ya kita teruskan. Tapi kalau mudaratnya lebih banyak ya kita setop," kata Bamsoet di Jakarta, Senin, 11 November 2019.
Politikus Partai Golkar itu mengamini gesekan yang terjadi di akar rumput akibat pilkada langsung memang luar biasa. Selain itu, sistem pemilihan ini juga tak sukses membendung potensi korupsi yang meluas di daerah-daerah akibat biaya politik yang begitu tinggi.
"Kita enggak bisa menutup mata itu," jelas dia.
Menurut dia, jika kondisi ini terus dibiarkan, masyarakat akan dirugikan. Pasalnya, publik tak bisa lagi berharap kepada kepala daerah untuk bekerja sebaik-baiknya demi kepentingan rakyat bila biaya pilkada begitu meroket.
Saat menjadi ketua DPR di 2018-2019, Bamsoet mengaku sempat mendorong berbagai pihak untuk mengevaluasi pilkada langsung. Pasalnya, DPR menerima banyak keluhan atas pilkada langsung.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian meminta sistem pemilu dikaji ulang. Tito menilai sistem pemilu saat ini berpotensi menimbulkan korupsi.
"Lakukan riset akademik tentang dampak negatif dan positif pemilihan langsung," kata Tito di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu, 6 November 2019.
Tito menyebut salah satu sisi negatif sistem
pemilu saat ini ialah tingginya biaya politik. Hal itu dinilai berdampak pada niat kepala daerah setelah terpilih.
"Tidak punya Rp30 miliar mau jadi bupati? Mana berani dia?" ujar Tito.
Dia pun tidak terkejut kepala daerah terjaring operasi tangkap tangan (OTT). Pasalnya, korupsi menjadi jalan pintas untuk menutup tingginya biaya pemilu.
Tito mencontohkan kepala daerah mengeluarkan biaya Rp30 miliar buat pilkada. Sementara itu, total pendapatan per bulan Rp200 juta.
"Lima tahun menjabat hasilnya Rp12 miliar, mau rugi tidak? Apa benar ingin mengabdi pada nusa dan bangsa terus rugi? Omong kosong kalau pendapat saya," ujar dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)